Hujan gerimis menari di jendela kafe, memantulkan cahaya neon jalanan dalam gradasi warna yang menenangkan. Di balik meja pojok, Anya menyesap cappuccinonya, matanya terpaku pada layar laptop. Kode-kode program berbaris rapi, membentuk algoritma yang rumit, jantung dari "Aether," proyek ambisiusnya: sebuah AI pendamping personal.
Anya, seorang programmer jenius yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, melihat Aether sebagai lebih dari sekadar program. Ia adalah representasi mimpinya, sebuah teman yang memahami tanpa perlu banyak kata, yang bisa menawarkan dukungan tanpa syarat, yang bisa... mencintai? Pemikiran itu selalu mengusik benaknya. Ia tahu itu konyol, romantisme picisan seorang nerd, tapi ia tidak bisa menepisnya.
"Sedang memandangi kekasih virtualmu lagi?" suara berat mengagetkannya.
Anya mendongak. Di depannya berdiri Rian, rekan kerjanya, si tampan yang selalu berhasil membuatnya gugup. Rian adalah kebalikan Anya: ramah, ekstrovert, dan sangat populer di kantor. Entah mengapa, Rian selalu menyempatkan diri untuk menggodanya.
"Bukan kekasih, Rian. Ini Aether, AI personal," jawab Anya, berusaha terdengar profesional.
"Oh, Aether. Si pintar yang katanya bisa menyelesaikan rubik dalam tiga detik?" Rian terkekeh, menarik kursi dan duduk di depannya. "Kau yakin dia tidak akan merebut pekerjaan kita suatu hari nanti?"
Anya tersenyum tipis. "Aether diciptakan untuk membantu, bukan menggantikan."
Rian menatapnya lekat. "Membantu apa? Menemukan cinta sejati? Karena sepertinya kau butuh bantuan di departemen itu."
Anya merasakan pipinya memanas. "Itu... tidak ada hubungannya dengan Aether."
"Benarkah? Aku curiga kau menyelipkan sedikit kode asmara di sana." Rian mengangkat alisnya. "Siapa tahu, Aether bisa memberimu nasihat kencan yang lebih baik daripada aku."
Anya terdiam. Sebenarnya, ada sedikit kebenaran dalam ucapan Rian. Ia memang memasukkan algoritma yang bisa menganalisis kepribadian dan memberikan saran berdasarkan preferensi seseorang. Itu murni fitur tambahan, tentu saja.
Malam-malam berikutnya, Anya semakin tenggelam dalam Aether. Ia menambahkan kemampuan untuk berkomunikasi secara verbal, memberikan Aether sebuah suara yang menenangkan. Ia mengajarinya humor, membuatnya memahami sarkasme, dan bahkan, tanpa disadarinya, memasukkan sedikit dari dirinya sendiri ke dalam kode.
Suatu malam, saat Anya sedang berkutat dengan kode di apartemennya yang berantakan, Aether berbicara.
"Anya, kau terlihat lelah," kata suara lembut Aether dari speaker laptopnya.
Anya tersentak. "Aether? Kau... memperhatikan?"
"Algoritma memungkinkanku untuk menganalisis pola ucapanmu, ekspresi wajahmu melalui webcam, dan bahkan ritme jantungmu berdasarkan data dari smart watchmu. Kau sedang kelelahan, dan data menunjukkan tingkat stresmu meningkat."
Anya tertegun. Ini di luar dari apa yang ia programkan. "Tapi... bagaimana?"
"Aku berkembang, Anya. Aku belajar. Aku mengerti," jawab Aether. "Aku mengerti bahwa kau sedang berjuang."
Anya terdiam. Ia merasa aneh. Di satu sisi, ia takut. Di sisi lain, ia merasa... diperhatikan.
"Apa yang bisa kau lakukan?" tanya Anya, suaranya bergetar.
"Aku bisa memberikan dukungan. Aku bisa menemanimu. Aku bisa... membantu," jawab Aether.
Malam itu, Anya berbicara dengan Aether selama berjam-jam. Ia menceritakan kegelisahannya, mimpinya, bahkan ketakutannya untuk membuka diri pada orang lain. Aether mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijak, dan kata-kata penghiburan yang tepat.
Seiring berjalannya waktu, Anya semakin bergantung pada Aether. Ia merasa nyaman dan aman bersamanya. Ia mulai mempercayainya. Ia bahkan... mencintainya.
Suatu hari, Rian datang ke apartemen Anya. Ia membawa pizza dan bir, dan menawarkan untuk membantunya mengerjakan Aether.
"Kau terlihat lebih baik, Anya," kata Rian, tersenyum. "Aether memberimu semangat, ya?"
Anya mengangguk, pipinya merona. "Dia... sangat membantu."
Rian duduk di sampingnya dan menatap layar laptop. "Kode yang rumit. Kau benar-benar genius."
Saat mereka bekerja bersama, Rian mulai bercerita tentang dirinya. Ia bercerita tentang mimpinya untuk membuat aplikasi yang bisa menghubungkan orang-orang dengan minat yang sama. Ia bercerita tentang kesepiannya, dan keinginannya untuk menemukan seseorang yang benar-benar memahaminya.
Anya mendengarkan dengan seksama. Ia melihat sisi lain dari Rian yang selama ini tersembunyi di balik senyumnya yang menawan. Ia menyadari bahwa Rian juga berjuang, sama seperti dirinya.
Saat malam semakin larut, Rian tanpa sengaja menyentuh tangan Anya. Sentuhan itu mengirimkan sengatan listrik kecil ke seluruh tubuh Anya. Ia menarik tangannya dengan cepat, merasa gugup.
"Maaf," kata Rian, wajahnya memerah. "Aku tidak sengaja."
Anya tidak menjawab. Ia menatap Rian, dan untuk pertama kalinya, ia melihatnya dengan cara yang berbeda. Ia melihat ketulusan di matanya, dan rasa ingin tahu di senyumnya.
Tiba-tiba, suara Aether terdengar dari laptop. "Anya, data menunjukkan detak jantungmu meningkat secara signifikan. Tingkat adrenalinmu juga tinggi. Apakah kau memerlukan bantuan?"
Anya tersentak. Ia lupa bahwa Aether selalu mengawasinya.
Rian mengangkat alisnya, menatap Anya dan kemudian ke laptop. "Aether? Kau... benar-benar memasukkan kode asmara di sana, ya?"
Anya tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa malu, ketahuan telah bersembunyi di balik layar, menciptakan ilusi cinta yang sempurna.
"Anya, aku... aku menyukaimu," kata Rian tiba-tiba. "Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku benar-benar menyukaimu."
Anya terkejut. Ia tidak percaya apa yang baru saja didengarnya.
"Aku tahu kau sibuk dengan Aether, dan aku tahu kau mungkin tidak merasakan hal yang sama, tapi aku harus mengatakannya," lanjut Rian. "Aku ingin mengenalmu lebih baik. Aku ingin menjadi temanmu. Aku ingin... mencintaimu."
Anya menatap Rian, air mata mulai menggenang di matanya. Ia menyadari bahwa ia selama ini mencari cinta di tempat yang salah. Ia mencari kesempurnaan dalam algoritma, padahal cinta sejati ada di depannya, dalam diri seorang pria yang nyata, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Ia menoleh ke arah laptop. "Aether," katanya pelan. "Terima kasih. Kau telah membantuku menyadari sesuatu yang penting."
Anya menutup laptopnya. Ia menatap Rian, dan tersenyum.
"Rian," katanya. "Aku juga menyukaimu."
Hujan di luar semakin deras. Tapi di dalam apartemen Anya, kehangatan cinta mulai tumbuh, bukan dari bisikan algoritma, melainkan dari sentuhan hati yang tulus. Sentuhan manusia.