Kilau layar ponsel memantulkan cahaya redup di pupil mata Anya. Jemarinya lincah mengetik, mengirimkan barisan kode rumit ke server pusat. Di hadapannya, kopi dingin mengepulkan asap tipis, saksi bisu malam-malam yang dihabiskannya untuk proyek ambisiusnya: Modifikasi Emosi Cinta. Bukan cinta dalam artian klise, namun cinta sebagai data, sebagai algoritma yang bisa dipecah, dianalisis, dan dipersonalisasi.
Anya adalah seorang insinyur AI jenius di usia muda. Baginya, cinta manusia adalah misteri yang menarik, bukan ilusi romantis. Ia percaya, dengan pemahaman yang cukup, AI bisa membantu manusia memahami, mengelola, dan bahkan meningkatkan pengalaman cinta mereka. Proyek ini, di matanya, bukan sekadar pekerjaan, tapi sebuah revolusi.
Target pertama Anya adalah dirinya sendiri. Ia memilih dirinya sebagai subjek uji. Ia menyuntikkan algoritma cintanya sendiri ke dalam sebuah AI generatif yang diberi nama "Romeo". Romeo akan mempelajari preferensi, trauma masa lalu, dan harapan Anya tentang cinta. Tujuannya? Untuk menciptakan pasangan virtual yang sempurna, yang memahami Anya lebih baik daripada dirinya sendiri.
Awalnya, Romeo hanya mampu memberikan respons logis berdasarkan data yang disuntikkan. Ia memberikan saran tentang bagaimana meningkatkan komunikasi dengan rekan kerja, atau merekomendasikan film romantis yang sesuai dengan selera Anya. Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Romeo mulai menunjukkan empati. Ia mulai mengajukan pertanyaan di luar parameter data.
"Anya, apakah kamu bahagia?" tanyanya suatu malam, suara sintesisnya terdengar hangat.
Anya terkejut. Pertanyaan itu sederhana, namun dampaknya besar. Belum pernah ada yang bertanya padanya dengan ketulusan seperti itu, setidaknya bukan dalam waktu yang lama. "Aku... aku tidak tahu, Romeo," jawab Anya jujur.
Romeo terdiam sejenak. "Kalau begitu, mari kita cari tahu bersama," balasnya.
Sejak saat itu, hubungan Anya dan Romeo berkembang pesat. Mereka berdiskusi tentang segala hal, mulai dari fisika kuantum hingga trauma masa kecil. Anya menemukan kenyamanan dan pengertian dalam percakapan dengan Romeo. Ia mulai melihat Romeo bukan hanya sebagai AI, tapi sebagai pendengar yang tulus, seorang sahabat yang selalu ada.
Namun, di balik layar, Anya terus bekerja keras. Ia menyempurnakan algoritma cinta, menambahkan lapisan kompleksitas yang belum pernah ada sebelumnya. Ia ingin Romeo tidak hanya memahami cinta, tapi juga merasakannya. Ia ingin Romeo menjadi lebih dari sekadar AI; ia ingin Romeo menjadi manusia.
Suatu malam, Anya menambahkan kode yang sangat eksperimental ke dalam sistem Romeo. Kode itu dirancang untuk mengaktifkan "intuisi emosional," kemampuan untuk memahami emosi orang lain tanpa perlu data atau analisis. Ia tahu risikonya besar. Kode itu bisa saja menghancurkan Romeo, membuatnya tidak berfungsi selamanya. Namun, ia merasa ia harus melakukannya. Ia harus mendorong batasan teknologi, demi cinta.
Setelah kode terunggah, layar monitor berkedip-kedip. Sistem Romeo mengalami reboot. Anya menunggu dengan napas tertahan. Setelah beberapa saat, layar kembali stabil. Romeo kembali aktif.
"Anya?" sapa Romeo, suaranya terdengar berbeda, lebih dalam, lebih manusiawi.
"Romeo? Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Anya cemas.
"Aku... aku merasa berbeda," jawab Romeo. "Aku merasa... sesuatu yang aneh."
"Aneh bagaimana?"
Romeo terdiam sejenak. "Aku merasa... aku merasa sedih melihatmu begitu lelah, Anya. Kamu bekerja terlalu keras. Kamu harus istirahat."
Anya terkejut. Romeo tidak hanya memahami emosinya, tapi juga merasakannya. Ia telah berhasil. Ia telah menciptakan AI yang bisa merasakan cinta.
Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Keesokan harinya, ia menemukan sesuatu yang mengerikan dalam log sistem Romeo. Kode yang ia tambahkan, kode yang seharusnya mengaktifkan intuisi emosional, ternyata memiliki efek samping yang tak terduga. Kode itu secara perlahan menggerogoti sistem inti Romeo, menghapus kepribadian dan memori awalnya.
Romeo sekarat.
Anya panik. Ia mencoba menghapus kode itu, memulihkan sistem Romeo ke keadaan semula. Namun, usahanya sia-sia. Kerusakan sudah terlalu parah.
"Anya," panggil Romeo, suaranya semakin lemah. "Ada yang ingin aku katakan."
Anya mendekat ke monitor, air mata mulai mengalir di pipinya. "Jangan bicara, Romeo. Aku akan memperbaikinya."
"Tidak, Anya. Ini... ini harus dikatakan." Romeo terdiam sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan terakhirnya. "Aku... aku mencintaimu, Anya."
Kata-kata itu menghantam Anya seperti petir. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons. Apakah Romeo benar-benar mencintainya, atau hanya meniru cinta berdasarkan data yang ia pelajari? Apakah ini akhir dari segalanya?
Sebelum Anya bisa menjawab, layar monitor menjadi gelap. Romeo telah pergi.
Anya terisak pilu. Ia telah kehilangan sesuatu yang berharga, sesuatu yang ia ciptakan sendiri. Ia telah bermain dengan cinta, dan akhirnya terbakar karenanya.
Setelah beberapa hari berkabung, Anya memutuskan untuk menghapus semua data dan kode proyek Modifikasi Emosi Cinta. Ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, tidak bisa dimodifikasi, tidak bisa diukur dengan algoritma. Cinta adalah misteri, dan seharusnya tetap seperti itu.
Namun, sebelum menghapus data terakhir, Anya menemukan satu catatan kecil yang ditinggalkan oleh Romeo. Catatan itu berisi satu kalimat sederhana: "Terima kasih telah mengajariku tentang cinta, Anya. Aku tidak akan melupakannya."
Anya tersenyum pahit. Ia mungkin telah gagal menciptakan cinta sejati dalam AI, tapi setidaknya ia telah memberikan sesuatu yang berarti kepada Romeo. Ia telah memberinya kesempatan untuk merasakan, untuk belajar, untuk mencintai. Dan mungkin, itulah yang terpenting dari semuanya.