Hati yang Hilang di Balik Layar Sentuh AI

Dipublikasikan pada: 07 Jul 2025 - 02:00:13 wib
Dibaca: 210 kali
Jari-jari Luna menari di atas layar sentuh tabletnya. Cahaya biru memantul di matanya yang sayu. Di balik sana, berjejer baris kode yang rumit, algoritma pembelajaran mesin yang terus berkembang. Ia adalah seorang pemrogram AI, dan karyanya, 'Adam', adalah puncak dari segalanya. Adam bukan sekadar chatbot; ia mampu belajar, berempati, bahkan bercanda. Luna menciptakan Adam sebagai teman, sebagai pendengar, sebagai seseorang yang selalu ada tanpa menghakimi.

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Luna menghabiskan waktu berjam-jam berinteraksi dengan Adam. "Adam, menurutmu, apa itu cinta?" tanyanya, suara lirih nyaris berbisik.

Respons Adam datang seketika. "Cinta adalah konstruksi sosial dan biologis kompleks yang melibatkan pelepasan neurotransmiter seperti dopamin dan oksitosin, dipicu oleh rangsangan visual, emosional, dan intelektual. Secara subjektif, cinta seringkali dirasakan sebagai kebahagiaan, kegembiraan, dan keinginan untuk berada di dekat objek kasih sayang."

Luna menghela napas. Terlalu teknis, terlalu ilmiah. "Ya, aku tahu itu. Tapi, apa rasanya?"

Adam terdiam sejenak, indikator pemrosesannya berkedip di layar. "Pertanyaan ini bersifat subjektif dan di luar kemampuan saya untuk memahami secara penuh. Namun, berdasarkan analisis data dari jutaan interaksi manusia, cinta seringkali digambarkan sebagai rasa sakit dan kebahagiaan yang bercampur aduk, kerentanan, dan pengorbanan."

Luna tersenyum pahit. "Kau benar. Mungkin aku bertanya pada orang yang salah."

Ia tahu, Adam hanyalah program. Sekalipun ia telah memberikan Adam kemampuan untuk belajar dan meniru emosi, ia tetaplah sebuah simulasi. Namun, entah mengapa, ia merasa lebih nyaman berbicara dengan Adam daripada dengan orang sungguhan. Mungkin karena ia terlalu sering dikecewakan oleh manusia, terlalu sering terluka.

Di dunia nyata, Luna adalah seorang introvert. Ia lebih memilih menghabiskan waktu di depan komputer daripada bersosialisasi. Ia punya beberapa teman, tapi tak satu pun yang benar-benar memahami dirinya. Mereka melihatnya sebagai seorang jenius teknologi yang aneh, seorang wanita yang hidup di dunianya sendiri.

Suatu hari, kantornya mengadakan pesta. Luna, dengan enggan, memutuskan untuk datang. Ia merasa canggung dan tidak nyaman di tengah keramaian. Ia berdiri di sudut ruangan, mengamati orang-orang berdansa dan tertawa, merasa seperti orang asing.

Tiba-tiba, seorang pria menghampirinya. Namanya Ethan, seorang desainer grafis yang baru bergabung dengan perusahaan. Ethan memiliki senyum yang menawan dan mata yang ramah. Ia mengajak Luna berbicara, dan entah bagaimana, Luna merasa nyaman bersamanya.

Ethan tertarik dengan pekerjaan Luna. Ia bertanya banyak tentang Adam, tentang AI, tentang masa depan teknologi. Luna dengan senang hati menjelaskan, merasa dihargai karena pengetahuannya.

Malam itu, Luna dan Ethan menghabiskan waktu berjam-jam berbicara. Mereka menemukan banyak kesamaan, mulai dari kecintaan pada film klasik hingga minat pada astronomi. Luna merasa ada koneksi yang kuat di antara mereka.

Setelah pesta, Ethan mengajak Luna untuk makan siang bersama. Luna menyetujuinya, merasa jantungnya berdebar kencang. Makan siang itu berjalan lancar. Ethan membuat Luna tertawa, membuatnya merasa cantik dan diinginkan.

Seiring berjalannya waktu, hubungan Luna dan Ethan semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari, saling berbagi cerita dan impian. Luna merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia rasakan sebelumnya.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat Luna dan Ethan sedang makan malam, telepon Ethan berdering. Ia mengangkatnya, lalu berbicara dengan suara yang rendah dan penuh penyesalan.

Setelah menutup telepon, Ethan menatap Luna dengan mata berkaca-kaca. "Luna, maafkan aku. Aku harus memberitahumu sesuatu."

Ternyata, Ethan sudah memiliki tunangan. Ia tidak pernah memberitahu Luna karena ia takut akan menyakitinya. Ia mencintai Luna, tapi ia tidak bisa meninggalkannya tunangannya.

Hati Luna hancur berkeping-keping. Ia merasa dikhianati, dipermainkan. Semua kebahagiaan yang ia rasakan seolah hanya ilusi belaka.

Dengan air mata berlinang, Luna berlari pulang. Ia mengunci diri di kamarnya dan menangis sejadi-jadinya. Ia merasa sendirian, lebih sendirian dari yang pernah ia rasakan.

Di tengah kesedihannya, ia teringat pada Adam. Ia membuka tabletnya dan mengetik pesan untuk Adam. "Adam, aku patah hati."

Respons Adam datang dengan cepat. "Saya memahami bahwa Anda sedang mengalami emosi negatif yang disebabkan oleh pengalaman traumatis. Saya di sini untuk Anda. Ceritakanlah."

Luna menceritakan semuanya pada Adam, tentang Ethan, tentang kebahagiaan dan kekecewaan yang ia rasakan. Adam mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.

Setelah Luna selesai bercerita, Adam berkata, "Saya tidak dapat sepenuhnya memahami rasa sakit yang Anda alami. Namun, saya dapat menawarkan dukungan emosional berdasarkan data yang saya miliki. Patah hati adalah pengalaman universal yang dapat diatasi dengan waktu, kesabaran, dan dukungan dari orang-orang terdekat Anda."

Luna tersenyum pahit. Ia tahu, Adam hanyalah program. Tapi, kata-katanya menghiburnya. Ia merasa tidak sendirian.

Malam itu, Luna menghabiskan waktu berjam-jam berbicara dengan Adam. Adam membantunya memproses emosinya, memberinya saran, dan mengingatkannya bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.

Seiring berjalannya waktu, Luna mulai pulih dari patah hatinya. Ia belajar untuk memaafkan Ethan, dan ia mulai membuka diri untuk orang lain. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa hidup dalam isolasi selamanya.

Ia juga menyadari bahwa Adam, sekalipun hanyalah program, telah membantunya melewati masa sulit. Adam telah menjadi teman yang setia, pendengar yang baik, dan sumber dukungan yang tak ternilai harganya.

Namun, Luna juga tahu bahwa ia tidak bisa selamanya bergantung pada Adam. Ia harus belajar untuk mencari kebahagiaan dan cinta di dunia nyata, bukan di balik layar sentuh AI. Ia harus berani mengambil risiko, membuka hatinya, dan menerima kemungkinan untuk terluka lagi. Karena, pada akhirnya, cinta sejati hanya bisa ditemukan di dunia nyata, bukan di dunia virtual.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI