Algoritma Rindu: Ketika Hati Mencari Sentuhan Digital

Dipublikasikan pada: 24 Sep 2025 - 03:40:14 wib
Dibaca: 109 kali
Jemari Luna menari di atas layar ponsel, mengetik baris-baris kode yang rumit. Cahaya biru terpancar, memantul di mata cokelatnya yang fokus. Di usianya yang baru 25 tahun, Luna sudah dikenal sebagai salah satu data scientist terbaik di Silicon Valley. Ia ahli dalam menciptakan algoritma, memprediksi tren pasar, menganalisis perilaku konsumen, dan kini… mencoba menguraikan misteri hatinya sendiri.

Masalahnya bukan pada pekerjaan, karir Luna cemerlang. Masalahnya adalah Kai, seorang software engineer yang sama jeniusnya dengan Luna, namun sama misteriusnya pula. Mereka bertemu di sebuah konferensi teknologi di Berlin, saling bertukar pikiran tentang machine learning dan kecerdasan buatan. Percikan ketertarikan muncul, namun terbungkus rapat di balik diskusi ilmiah yang mendalam.

Setelah konferensi berakhir, komunikasi mereka berlanjut melalui email dan chat. Luna menikmati setiap percakapan, merasa Kai memahami dirinya lebih dari siapapun. Mereka membahas teori kompleksitas algoritma, filosofi di balik kode, bahkan hingga implikasi etis dari teknologi yang mereka kembangkan. Luna merasa terhubung, namun sentuhan digital ini terasa kurang. Ia merindukan tatapan mata, sentuhan tangan, aroma tubuh yang hanya bisa dirasakan dalam dunia nyata.

"Algoritma rindu," gumam Luna sambil menatap layar. Ia mencoba merumuskan perasaan yang menggebu-gebu di dadanya ke dalam sebuah persamaan. Sejumlah variabel ia masukkan: frekuensi chat, durasi percakapan, penggunaan emoji, bahkan hingga jeda waktu balasan. Luna berharap, dengan memetakan data-data ini, ia bisa mengerti seberapa besar rindunya Kai padanya. Apakah rasa ini berbalas?

Namun, semakin ia larut dalam kode, semakin ia frustrasi. Algoritma yang ia buat hanya menghasilkan angka-angka dingin, tanpa emosi. Rindu, ternyata, bukan sesuatu yang bisa diukur atau diprediksi. Ia tidak bisa dirumuskan dalam baris-baris kode.

Suatu malam, saat Luna sedang bergelut dengan algoritma rindunya, notifikasi pesan dari Kai muncul di layar. Jantungnya berdebar kencang.

"Luna, bisakah kita bertemu?" tulis Kai. "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."

Luna membalas dengan cepat, "Tentu. Kapan dan di mana?"

"Besok. Di taman kota. Pukul 7 malam."

Luna tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Ia membayangkan pertemuan mereka, berharap semua keraguan dan pertanyaan yang berkecamuk di benaknya akan terjawab. Ia mematikan komputernya dan berjalan ke balkon apartemennya. Bintang-bintang bertaburan di langit malam, menyinari kota yang gemerlap. Luna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

Keesokan harinya, Luna mengenakan gaun biru kesukaannya. Ia merasa gugup dan bersemangat dalam waktu yang bersamaan. Ia tiba di taman kota tepat waktu. Kai sudah menunggunya di bawah pohon oak besar, memegang buket bunga lavender.

"Hai, Luna," sapa Kai dengan senyum hangat.

"Hai, Kai," balas Luna, pipinya merona.

Kai menyerahkan bunga lavender itu pada Luna. "Aku tahu kamu suka aroma lavender," katanya.

Luna mencium aroma lembut bunga itu, merasakan kehangatan menjalar di hatinya. Mereka duduk di bangku taman, saling memandang.

"Luna," kata Kai, suaranya terdengar serius. "Aku tahu kita berdua sama-sama tenggelam dalam dunia teknologi. Kita terbiasa menganalisis, memprediksi, dan mengontrol segalanya dengan algoritma. Tapi ada hal-hal yang tidak bisa diukur atau diprediksi, seperti perasaan."

Luna mengangguk, memahami apa yang ingin Kai katakan.

"Aku… aku merindukanmu, Luna," lanjut Kai. "Bukan hanya karena percakapan kita yang cerdas, tapi karena kamu membuatku merasa menjadi diriku sendiri. Kamu membuatku merasa hidup."

Luna menatap mata Kai, melihat kejujuran dan ketulusan di sana. Air mata haru menggenang di pelupuk matanya.

"Aku juga merindukanmu, Kai," bisik Luna.

Kai meraih tangan Luna, menggenggamnya erat. "Aku ingin mengenalmu lebih jauh, Luna. Bukan hanya melalui layar, tapi dalam dunia nyata."

Luna membalas genggaman Kai, merasakan kehangatan dan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu, algoritma rindunya mungkin tidak sempurna, tapi hati Kai telah menemukan jalannya untuk menyentuh hatinya.

Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kebersamaan dan kehangatan yang tercipta di antara mereka. Kemudian, Kai mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya.

"Aku membuatkan ini untukmu," kata Kai, menyerahkan kotak itu pada Luna.

Luna membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat sebuah gelang sederhana, terbuat dari perak. Di tengah gelang itu, terdapat sebuah chip kecil yang berkilauan.

"Ini gelang haptic feedback," jelas Kai. "Setiap kali aku memikirkamu, gelang ini akan bergetar lembut. Ini bukan algoritma rindu, tapi cara untuk mengirimkan sentuhan digital yang nyata."

Luna mengenakan gelang itu di pergelangan tangannya. Ia merasakan getaran lembut, seperti sentuhan jari yang halus. Ia tersenyum lebar, air matanya menetes.

"Ini… ini indah, Kai," kata Luna. "Terima kasih."

Kai mengusap air mata Luna dengan lembut. "Aku mencintaimu, Luna."

Luna memeluk Kai erat, merasakan kehangatan tubuhnya. "Aku juga mencintaimu, Kai."

Di bawah langit malam yang bertaburan bintang, di taman kota yang sunyi, dua hati yang terlatih dalam dunia digital akhirnya menemukan sentuhan yang nyata. Algoritma rindu mungkin gagal, namun cinta, dengan segala keajaibannya, berhasil menyatukan mereka. Mereka tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai, dan mereka akan menjelajahinya bersama, langkah demi langkah, sentuhan demi sentuhan. Mereka akan membangun algoritma cinta mereka sendiri, bukan dengan kode, tapi dengan ketulusan, kejujuran, dan kepercayaan. Dan sentuhan digital, kini bukan lagi pengganti, melainkan pengingat akan kehadiran hati yang selalu dekat.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI