Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python tersusun rapi. Anya adalah seorang data scientist, hidupnya berkutat dengan angka, algoritma, dan prediksi. Baginya, cinta sama rumitnya dengan memecahkan enkripsi tingkat tinggi. Sampai malam ini, ia terjebak dalam proyek kencan online berbasis kecerdasan buatan yang membuatnya merasa skeptis.
“Jodoh dari algoritma? Omong kosong,” gumamnya sambil menyeruput kopinya. Proyek ini, yang diberi nama “Soulmate AI,” bertujuan mencocokkan pengguna berdasarkan analisis mendalam terhadap data kepribadian, minat, bahkan ekspresi wajah. Anya bertugas menyempurnakan algoritma pencocokan, memastikan akurasi dan efektivitasnya. Ironisnya, Anya sendiri belum pernah merasakan manisnya cinta sejati.
Di sisi lain kota, di sebuah studio musik yang berantakan, duduklah Rian. Gitar akustiknya setia menemani setiap malam, melodi-melodi melankolis lahir dari jemarinya. Rian adalah seorang musisi idealis, hatinya dipenuhi mimpi dan nada. Baginya, cinta adalah inspirasi, sumber kekuatan yang tak ternilai harganya. Ia skeptis terhadap teknologi, lebih percaya pada kekuatan intuisi dan kebetulan.
Namun, desakan dari teman-temannya membuatnya menyerah dan mendaftar di “Soulmate AI.” Ia mengisi kuesioner dengan setengah hati, mengunggah foto seadanya, dan lupa begitu saja.
Suatu pagi, notifikasi aneh muncul di layar laptop Anya. Algoritma yang ia bangun sendiri menunjukkan hasil yang mengejutkan. Seorang pengguna, dengan profil yang deskriptif dan foto yang terkesan asal-asalan, memiliki tingkat kecocokan yang sangat tinggi dengannya. Nama pengguna itu: Rian_Melodi.
Anya tertegun. Ia memeriksa data Rian berulang kali, memastikan tidak ada kesalahan kode. Semakin ia menelusuri, semakin ia menemukan kesamaan yang tak terduga. Keduanya menyukai puisi Chairil Anwar, sama-sama pecinta film klasik, dan memiliki pandangan yang hampir identik tentang arti kebahagiaan.
Namun, Anya tetap ragu. Ini hanyalah algoritma, kumpulan angka dan probabilitas. Tidak mungkin sebuah program komputer bisa memahami kompleksitas emosi manusia. Ia memutuskan untuk mengabaikannya.
Beberapa hari kemudian, Anya menerima email dari Rian. “Halo Anya, saya Rian. Saya tahu ini aneh, tapi algoritma ‘Soulmate AI’ bilang kita cocok. Saya penasaran, apakah algoritma itu benar?”
Anya terdiam membaca email itu. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari Rian. Ketidaksempurnaan profilnya, nada bicaranya yang jujur dan lugu, menarik perhatiannya. Ia memutuskan untuk membalas.
“Halo Rian, saya Anya. Saya adalah salah satu pengembang ‘Soulmate AI.’ Sejujurnya, saya sendiri skeptis dengan semua ini. Tapi, saya juga penasaran.”
Dimulailah serangkaian email yang panjang dan intens. Anya dan Rian saling berbagi cerita, mimpi, dan ketakutan. Mereka berdiskusi tentang musik, seni, dan filosofi hidup. Anya mulai melihat Rian bukan hanya sebagai angka dalam database, tetapi sebagai manusia dengan hati dan jiwa yang tulus.
Rian, di sisi lain, terkejut dengan kecerdasan dan kebaikan Anya. Ia menyukai cara Anya berpikir, cara ia melihat dunia. Ia merasa ada koneksi yang kuat di antara mereka, lebih dari sekadar kecocokan algoritmik.
Setelah beberapa minggu berinteraksi online, Anya dan Rian sepakat untuk bertemu. Anya gugup bukan main. Ia takut kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasinya. Bagaimana jika semua ini hanya ilusi, tipuan algoritma?
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dengan lampu temaram dan alunan musik jazz yang lembut. Rian datang dengan gitar akustiknya, Anya dengan buku puisi Chairil Anwar di tangannya.
Saat mata mereka bertemu, semua keraguan Anya lenyap. Rian ternyata lebih tampan dan karismatik dari fotonya. Ia memiliki senyum yang hangat dan mata yang penuh dengan ketulusan.
Mereka berbicara selama berjam-jam, seolah sudah saling mengenal sejak lama. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling memahami. Anya menyadari bahwa algoritma hanyalah alat, jembatan yang mempertemukannya dengan Rian. Yang terpenting adalah koneksi yang mereka bangun, perasaan yang tumbuh secara alami.
Rian mengambil gitarnya dan memainkan sebuah lagu yang ia ciptakan sendiri. Liriknya tentang harapan, cinta, dan keajaiban pertemuan. Anya terpana dengan keindahan melodi dan ketulusan liriknya.
Malam itu, Anya menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Rian. Bukan karena algoritma, bukan karena data, tetapi karena hatinya telah memilihnya.
Beberapa bulan kemudian, Anya dan Rian menikah. Pernikahan mereka sederhana namun penuh dengan cinta dan kebahagiaan. Anya dan Rian membuktikan bahwa cinta bisa bersemi di era algoritma, asalkan ada hati yang terbuka dan keyakinan pada kekuatan takdir.
Anya tersenyum menatap Rian yang sedang bermain gitar untuk putri kecil mereka. Ia teringat pada proyek “Soulmate AI” yang membuatnya bertemu dengan belahan jiwanya. Ia tahu bahwa teknologi tidak bisa menggantikan cinta sejati, tetapi bisa menjadi jalan untuk menemukannya.
Cinta mereka adalah bukti bahwa di balik barisan kode dan algoritma yang rumit, masih ada ruang untuk keajaiban dan keindahan. Jodoh, mungkin saja, bisa ditemukan dari kode. Tetapi yang membuatnya abadi adalah cinta yang bersemi di antara dua hati yang saling menemukan.