AI: Jodoh Algoritma, Cinta yang Ter-Update Otomatis?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:00:59 wib
Dibaca: 169 kali
Aplikasi "Soulmate AI" bergetar di pergelangan tangannya, notifikasi halus yang sudah menjadi bagian dari rutinitasnya. Anya menghela napas, meraih pergelangan tangannya dan menatap hologram kecil yang menampilkan wajah seorang pria dengan senyum simpul. "Potensi kecocokan: 98%." Tertulis di bawahnya.

"Lagi?" gumam Anya. Ini sudah pria kelima bulan ini yang diprediksi Soulmate AI sebagai "jodoh ideal". Semuanya tampan, berpendidikan tinggi, dan memiliki minat yang sejalan dengan profilnya. Tapi, tidak ada satu pun yang berhasil memicu percikan itu. Percikan yang membuatnya merasa hidup, merasa dilihat, merasa… dicintai.

Di era di mana algoritma bisa memesan makanan, mengatur jadwal kerja, bahkan mendiagnosis penyakit dengan akurasi nyaris sempurna, mencari cinta pun turut dioptimalkan. Soulmate AI adalah puncak teknologi perjodohan. Ia mengumpulkan data dari setiap aspek kehidupan pengguna: kebiasaan belanja, interaksi media sosial, riwayat kesehatan, bahkan gelombang otak saat tidur. Semua diolah menjadi algoritma kompleks yang katanya mampu menemukan pasangan yang paling kompatibel.

Anya dulu percaya pada janji itu. Setelah patah hati yang menyakitkan dengan seorang seniman yang lebih mencintai kanvasnya daripada dirinya, ia menyerah pada pencarian konvensional. Logika Soulmate AI terdengar menenangkan. Cinta bukan lagi urusan hati yang bergejolak, tapi persamaan matematis yang elegan.

Pria dengan potensi kecocokan 98% itu bernama Rian. Seorang arsitek lanskap yang, sesuai prediksi AI, menyukai kopi tanpa gula, musik jazz klasik, dan novel fiksi ilmiah distopia. Kencan pertama mereka di sebuah kafe bertema futuristik berjalan lancar. Rian berbicara dengan lancar tentang rencananya membangun taman vertikal di pusat kota, Anya membalas dengan pengetahuannya tentang efek terapi warna pada desain interior. Mereka tertawa di saat yang tepat, saling bertukar pandang penuh minat.

Namun, saat Rian dengan sempurna mengutip baris favorit Anya dari novel "The Giver", sesuatu terasa aneh. Seolah mereka sedang memainkan peran, membaca naskah yang sudah dituliskan oleh algoritma. Anya tidak merasakan kehangatan, kegembiraan, atau sedikit pun rasa penasaran. Hanya keheningan hampa.

Malam itu, Anya mematikan notifikasi Soulmate AI. Ia mencoba melupakan kencan dengan Rian, menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai desainer interior. Tapi bayangan Rian, atau lebih tepatnya bayangan algoritma di balik Rian, terus menghantuinya.

"Apa yang salah denganku?" tanyanya pada dirinya sendiri, menatap refleksi dirinya di layar laptop. "Kenapa aku tidak bisa merasakan apa pun?"

Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk mengunjungi neneknya, Bu Ratna, yang tinggal di desa kecil di pinggiran kota. Bu Ratna, dengan rambut putihnya yang disanggul rapi dan senyumnya yang menenangkan, adalah sumber kebijaksanaannya.

"Nenek, apakah cinta itu bisa ditemukan lewat algoritma?" tanya Anya, sambil membantu Bu Ratna menyiram tanaman di kebunnya.

Bu Ratna berhenti menyiram dan menatap Anya dengan mata yang penuh kasih. "Cinta itu seperti menanam bunga, Nya. Kamu bisa mencari bibit yang paling unggul, pupuk yang paling mahal, tapi kalau kamu tidak merawatnya dengan hati, tidak memberinya air dan sinar matahari yang cukup, bunga itu tidak akan pernah mekar."

Anya terdiam, merenungkan kata-kata neneknya. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada mencari kecocokan yang sempurna di atas kertas, melupakan bahwa cinta adalah sesuatu yang tumbuh, yang membutuhkan waktu, usaha, dan penerimaan.

Minggu berikutnya, Anya kembali mengaktifkan Soulmate AI, tapi kali ini dengan mentalitas yang berbeda. Ia tidak lagi berharap algoritma akan menemukan "jodoh idealnya", tapi sebagai alat untuk memperluas lingkaran sosialnya.

Ia bertemu dengan beberapa pria lagi. Ada seorang programmer yang terlalu asyik dengan kode, seorang pengusaha yang terlalu sibuk dengan bisnisnya, dan seorang guru sejarah yang terlalu terpaku pada masa lalu. Anya tidak merasakan percikan dengan siapa pun, tapi ia menikmati percakapan dan pengalaman baru.

Suatu sore, Soulmate AI memperkenalkannya pada seorang pria bernama Leo. Potensi kecocokan mereka hanya 75%, jauh di bawah ambang batas yang biasanya Anya pertimbangkan. Leo adalah seorang musisi jalanan yang berpenampilan sederhana, dengan rambut gondrong yang sering menutupi matanya.

Anya ragu-ragu, tapi kemudian teringat kata-kata neneknya tentang merawat bunga. Ia memutuskan untuk memberikan Leo kesempatan.

Kencan pertama mereka tidak di kafe futuristik, tapi di taman kota yang ramai. Leo memainkan gitarnya, menyanyikan lagu-lagu ciptaannya sendiri. Lagu-lagunya sederhana, tapi jujur dan penuh emosi. Anya terpesona.

Setelah Leo selesai bermain, Anya bertanya tentang inspirasinya. Leo tersenyum malu-malu. "Dari kehidupan," jawabnya. "Dari orang-orang yang aku temui di jalan, dari cerita-cerita yang aku dengar, dari mimpi-mimpi yang aku punya."

Malam itu, Anya merasa sesuatu yang berbeda. Ia tidak merasakan ledakan kembang api, tapi kehangatan yang perlahan merayap di hatinya. Leo tidak sempurna, jauh dari gambaran "jodoh ideal" yang diprediksi Soulmate AI. Tapi, Leo nyata. Ia memiliki kekurangan, impian yang belum tercapai, dan hati yang tulus.

Anya dan Leo mulai menghabiskan waktu bersama. Mereka menjelajahi pasar loak, menonton film indie di bioskop kecil, dan berbagi cerita tentang masa lalu mereka. Anya belajar menghargai spontanitas Leo, sementara Leo belajar tentang ketelitian dan ambisi Anya.

Perlahan tapi pasti, cinta mereka tumbuh. Bukan cinta yang didasarkan pada algoritma, tapi cinta yang tumbuh dari penerimaan, pengertian, dan rasa saling menghormati. Cinta yang tidak ter-update otomatis, tapi terus berkembang seiring waktu.

Anya menyadari bahwa Soulmate AI hanyalah alat, bukan penentu takdir. Algoritma bisa membantunya menemukan seseorang, tapi hanya ia sendiri yang bisa memilih apakah akan merawat hubungan itu menjadi sesuatu yang indah.

Suatu malam, saat mereka duduk berdua di balkon apartemen Anya, Leo memegang tangannya. "Anya," katanya, suaranya lembut. "Aku tahu kita mungkin tidak sempurna, tapi aku mencintaimu apa adanya."

Anya tersenyum, menatap mata Leo. "Aku juga mencintaimu, Leo. Dengan semua ketidaksempurnaanmu."

Aplikasi Soulmate AI di pergelangan tangannya bergetar halus. Notifikasi baru. "Potensi kecocokan: 99%." Tapi Anya tidak peduli. Ia sudah menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak bisa diukur dengan algoritma apa pun. Cinta yang ter-update setiap hari, bukan oleh program, tapi oleh hati. Cinta yang nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI