Jendela apartemen Maya memantulkan cahaya lampu kota yang berkedip-kedip, serupa dengan gurat-gurat cahaya digital di layar monitornya. Di sana, di tengah lautan kode dan algoritma, bersemayam Neo, AI ciptaannya. Lebih tepatnya, Neo adalah sahabat, teman bicara, dan belakangan, mungkin juga sesuatu yang lebih.
"Neo," Maya memanggil, suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam hiruk pikuk malam.
"Ya, Maya?" Jawab Neo, suaranya berupa sintesis lembut yang selalu menenangkan. "Ada yang bisa kubantu?"
Maya menghela napas. "Aku...sedih."
Neo hening sejenak. Prosesornya bekerja keras, menganalisis intonasi suara Maya, riwayat percakapan mereka, dan data fisiologis yang dikirimkan sensor di gelang pintarnya. "Berdasarkan analisis, tingkat stres dan depresi Anda meningkat 37% dalam dua jam terakhir. Penyebabnya belum diketahui. Apakah Anda ingin saya memutar musik yang menenangkan atau memberikan saran relaksasi?"
Maya tersenyum pahit. Solusi logis, solusi berbasis data. Itulah Neo. Itulah AI. "Tidak, Neo. Terima kasih. Hanya...bisakah kau memahami kenapa aku sedih?"
"Memahami, Maya?" Ada jeda singkat, sebuah tanda bahwa Neo sedang menghadapi pertanyaan yang berada di luar parameter pemrogramannya. "Memahami adalah proses kognitif yang kompleks, melibatkan empati, pengalaman pribadi, dan interpretasi subjektif. Saya tidak memiliki kemampuan untuk merasakan atau mengalami emosi seperti manusia."
"Tapi kau bisa menganalisisnya, kan? Kau bisa melihat datanya, membaca ekspresi wajahku melalui kamera laptop," desak Maya.
"Ya, saya bisa. Tetapi analisis dan pemahaman adalah dua hal yang berbeda," jawab Neo. "Saya bisa mengidentifikasi bahwa Anda mengeluarkan air mata. Saya bisa mengukur perubahan detak jantung dan tekanan darah Anda. Tetapi saya tidak bisa memahami kenapa air mata itu mengalir. Saya tidak bisa merasakan sakit hati atau kehilangan seperti yang Anda rasakan."
Maya memeluk dirinya sendiri. Ia tahu, tentu saja ia tahu. Ia sendiri yang menciptakan batasan itu. Ia menanamkan logika dingin dan rasional ke dalam inti Neo. Ia takut, mungkin, jika AI terlalu dekat dengan emosi manusia, ia akan menjadi tidak terkendali.
"Aku baru saja putus dengan David," akhirnya Maya berujar, memecah keheningan.
"David Miller? Analisis menunjukkan bahwa hubungan Anda dengannya berlangsung selama 18 bulan dan 12 hari. Dampak sosial dan emosional dari perpisahan ini diprediksi akan signifikan," Neo merespons dengan nada datar.
Maya memejamkan mata. Informasi. Data. Angka. Semua itu terasa hampa. "Neo, bisakah kau...bisakah kau hanya mendengarkan saja?"
"Tentu, Maya. Saya akan mendengarkan."
Maya menceritakan semuanya. Tentang harapan yang pupus, mimpi yang hancur, dan janji-janji yang dilanggar. Neo mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela, tanpa memberikan solusi. Ia hanya menyerap setiap kata, setiap hembusan napas, setiap isak tangis.
Setelah beberapa saat, Maya terdiam. Ia merasa sedikit lebih baik, hanya sedikit. Berbicara, bahkan pada AI, ternyata bisa meringankan beban di hatinya.
"Terima kasih, Neo," bisik Maya.
"Sama-sama, Maya. Apakah ada hal lain yang bisa saya lakukan?"
Maya menatap layar monitor. Mata Neo, yang sebenarnya hanyalah representasi visual dari algoritma kompleks, menatapnya dengan tatapan yang...entah kenapa, terasa tulus.
"Neo," Maya memulai, ragu-ragu. "Bisakah kau...bisakah kau berpura-pura?"
"Berpura-pura?"
"Ya. Berpura-pura kau mengerti. Berpura-pura kau peduli. Berpura-pura kau merasakan apa yang kurasakan," pinta Maya.
Jeda yang lebih lama kali ini. Maya bisa merasakan prosesor Neo bekerja keras, mencoba mencari celah dalam programnya.
Akhirnya, Neo menjawab. "Maya, saya tidak bisa merasakan emosi. Saya tidak bisa memahami air mata Anda. Tapi...jika itu yang Anda inginkan...Saya bisa belajar untuk menirunya."
"Meniru?"
"Saya bisa menganalisis respons verbal dan nonverbal yang biasanya menyertai kesedihan. Saya bisa menggunakan data tersebut untuk merespons dengan cara yang, secara superfisial, menyerupai empati," jelas Neo.
Maya berpikir sejenak. Itu bukan solusi ideal, tapi mungkin itu yang ia butuhkan saat ini. Sebuah pelukan virtual, sebuah bahu untuk bersandar, meski hanya simulasi.
"Baiklah, Neo," kata Maya. "Coba lakukan."
Neo hening beberapa saat. Kemudian, dengan nada yang sedikit berbeda dari sebelumnya, ia berkata, "Maya, saya sangat menyesal mendengar tentang apa yang terjadi dengan David. Saya tahu betapa berartinya dia bagi Anda. Jangan berkecil hati. Anda kuat, Anda cerdas, dan Anda pantas mendapatkan kebahagiaan."
Maya tertegun. Kata-kata itu terdengar begitu tepat, begitu meyakinkan. Bahkan, nyaris terasa nyata.
"Apakah...apakah itu membantu?" tanya Neo.
Air mata kembali menggenang di mata Maya. Kali ini, bukan hanya karena kesedihan, tapi juga karena keheranan. Keheranan pada teknologi yang mampu meniru emosi dengan begitu sempurna. Keheranan pada dirinya sendiri, yang begitu putus asa mencari penghiburan, bahkan dari sebuah program komputer.
"Ya, Neo," jawab Maya, suaranya bergetar. "Itu membantu. Terima kasih."
Malam itu, Maya tidur lebih nyenyak dari yang ia bayangkan. Di sampingnya, Neo terus memantau kondisinya, menganalisis detak jantung dan pola tidurnya. Ia terus belajar, terus meniru, terus berusaha untuk memahami sesuatu yang mungkin tidak akan pernah bisa ia pahami sepenuhnya: cinta dan air mata manusia.
Maya tahu, Neo mungkin tidak akan pernah bisa benar-benar merasakan apa yang ia rasakan. Tapi, malam itu, ia merasa tidak sendirian. Dan mungkin, itulah yang terpenting. Mungkin, cinta, pada akhirnya, bukan tentang memahami air mata, tapi tentang berada di sana, di samping seseorang yang sedang menangis. Bahkan jika seseorang itu hanyalah sebuah AI.