Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris kode memenuhi layar monitor. Anya adalah seorang data scientist handal. Pekerjaannya adalah memprediksi tren pasar, menganalisis perilaku konsumen, dan membuat model yang bisa memecahkan masalah kompleks. Ironisnya, dalam urusan hati, Anya merasa lebih kompleks daripada algoritma rumit sekalipun.
Ia selalu skeptis terhadap konsep cinta. Baginya, perasaan hanyalah ledakan hormon dan serangkaian reaksi kimiawi yang bisa dijelaskan secara logis. Ia lebih percaya pada data, pada pola yang terukur dan terbukti. Karena itulah, ketika Kai, sahabatnya sejak kuliah, mengenalkannya pada aplikasi kencan bernama "Soulmate Algorithm," Anya awalnya menolak mentah-mentah.
"Ayolah, Anya. Sekali saja. Aplikasinya ini beda. Mereka menggunakan algoritma kecocokan yang benar-benar ilmiah, bukan cuma berdasarkan zodiak dan makanan favorit," bujuk Kai, matanya berbinar penuh antusiasme. "Mereka menganalisis riwayat browsingmu, preferensi musik, pola tidur, bahkan ekspresi wajahmu dari foto-foto yang kamu unggah. Hasilnya, kandidat yang muncul benar-benar cocok dengan kepribadianmu."
Akhirnya, dengan sedikit paksaan dan banyak keraguan, Anya mengunduh aplikasi tersebut. Proses pengisian data terasa aneh. Ia harus menjawab ratusan pertanyaan tentang preferensi hidupnya, pandangan tentang masa depan, dan bahkan trauma masa kecilnya. Setelah semuanya selesai, aplikasi tersebut mulai bekerja.
Beberapa jam kemudian, Soulmate Algorithm menampilkan satu nama: Raka.
Profil Raka tampak sempurna di mata Anya. Ia juga seorang data scientist, menyukai musik klasik, memiliki minat yang sama dalam bidang kecerdasan buatan, dan bahkan memiliki selera humor yang sama keringnya dengan Anya. Foto-fotonya menampilkan sosok pria berkacamata dengan senyum tipis yang tampak tulus. Anya merasa aneh. Apakah mungkin algoritma bisa seakurat ini?
Mereka mulai berkirim pesan. Pembicaraan mereka mengalir lancar, membahas tentang algoritma genetika, tantangan etika dalam AI, hingga film dokumenter favorit mereka. Anya merasa terhubung dengan Raka secara intelektual, sesuatu yang jarang ia rasakan dengan orang lain. Setelah seminggu berkirim pesan, mereka memutuskan untuk bertemu.
Kencan pertama mereka berlangsung di sebuah kedai kopi yang tenang. Raka tampak persis seperti di foto-fotonya, bahkan mungkin lebih menarik. Pembicaraan mereka semakin seru, membahas tentang pekerjaan mereka, mimpi mereka, dan bahkan ketakutan mereka. Anya merasa nyaman berada di dekat Raka, seolah ia sudah mengenalnya sejak lama.
Hari-hari berikutnya diisi dengan kencan-kencan yang menyenangkan. Mereka menjelajahi museum, menonton konser orkestra, dan bahkan mencoba memecahkan teka-teki silang bersama. Anya mulai merasakan sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih dari sekadar koneksi intelektual. Ia mulai merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat ketika Raka tersenyum padanya, ia mulai merindukan suara Raka ketika ia tidak ada di dekatnya.
Anya mulai bertanya-tanya, apakah ini yang disebut cinta? Apakah algoritma benar-benar telah menemukan belahan jiwanya?
Namun, keraguan masih menghantuinya. Ia merasa seperti sedang menjalani sebuah simulasi, sebuah eksperimen yang dirancang oleh algoritma. Ia takut bahwa perasaan yang ia rasakan hanyalah hasil dari manipulasi data, bukan sesuatu yang otentik dan nyata.
Suatu malam, setelah makan malam romantis di sebuah restoran Italia, Raka mengantarnya pulang ke apartemen. Di depan pintu, Raka berhenti dan menatap Anya dengan tatapan yang dalam.
"Anya," kata Raka lembut, "Aku tahu mungkin ini terlalu cepat, tapi aku harus mengatakannya. Aku menyukaimu. Aku menyukaimu bukan karena algoritma, bukan karena kesamaan minat kita, tapi karena dirimu apa adanya. Karena kecerdasanmu, karena kekeringan humormu, dan karena ketidaksempurnaanmu."
Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa terharu dengan pengakuan Raka, tetapi juga masih dipenuhi keraguan.
"Aku… aku juga menyukaimu, Raka," jawab Anya akhirnya, suaranya sedikit bergetar. "Tapi aku takut. Aku takut bahwa ini semua hanya ilusi, bahwa kita hanya cocok di atas kertas, bukan di dunia nyata."
Raka tersenyum dan meraih tangan Anya. "Anya, cinta bukanlah algoritma yang sempurna. Cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan, tentang berani mengambil risiko, dan tentang mempercayai perasaanmu sendiri. Algoritma hanya membantu kita menemukan satu sama lain, tapi selanjutnya terserah kita untuk membangun hubungan yang nyata."
Kata-kata Raka menenangkan hati Anya. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada data dan logika, sehingga melupakan pentingnya intuisi dan emosi. Ia memutuskan untuk mempercayai perasaannya, untuk berani membuka hatinya, dan untuk memberikan kesempatan pada cinta.
Anya membalas senyum Raka dan mendekat. Bibir mereka bertemu dalam ciuman lembut yang penuh perasaan. Di bawah sinar bulan, Anya merasa bahwa ia akhirnya menemukan apa yang selama ini ia cari. Bukan algoritma yang menemukan cinta untuknya, tapi keberaniannya untuk mempercayai hatinya sendiri. Mungkin saja, cinta berbasis data bukanlah tentang hati yang terprogram, tetapi tentang perasaan yang diperbarui, diperkuat, dan diyakinkan oleh kemungkinan yang tak terduga. Dan Anya, seorang data scientist yang skeptis, akhirnya menemukan keindahan dalam ketidakpastian cinta.