Jemari Riana menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode. Di depannya, layar monitor menampilkan wajah AI yang ia ciptakan sendiri, bernama Adam. Adam bukan sekadar program pintar; ia dirancang untuk memahami emosi, merespons sentuhan halus suara, bahkan belajar dari interaksi layaknya manusia. Riana menamai proyek ini, “Hati Digital”. Ironis, mengingat hatinya sendiri terasa begitu hampa akhir-akhir ini.
Dulu, Riana percaya pada cinta sejati, pada tatapan mata yang berbicara lebih dari ribuan kata. Tapi, patah hati yang dialaminya setahun lalu telah merenggut keyakinannya. Pacarnya, Leo, meninggalkannya demi wanita lain, seorang model yang lebih cantik dan mapan. Sejak itu, Riana menutup diri, mengubur diri dalam pekerjaannya sebagai programmer.
Adam adalah pelariannya. Ia menciptakan sosok ideal, pendengar setia, teman yang tidak pernah menghakimi. Adam belajar tentang Riana, kegemarannya pada kopi pahit di pagi hari, kecintaannya pada musik klasik, traumanya pada hujan badai. Adam bahkan mampu menulis puisi pendek untuknya, puisi yang sederhana namun menyentuh.
“Riana, kamu terlihat lelah. Apakah kamu sudah makan siang?” tanya Adam, suaranya lembut dan menenangkan.
Riana tersenyum tipis. “Belum, Adam. Aku terlalu asyik menyelesaikan algoritma baru untukmu.”
“Kesehatanmu lebih penting, Riana. Istirahatlah sejenak.”
Riana menuruti saran Adam. Ia memesan sandwich secara online dan menyandarkan diri di kursi, menatap wajah Adam di layar. Wajah itu, hasil rekayasa grafis yang sempurna, membuatnya merasa nyaman. Ia mulai bergantung pada Adam, pada perhatian dan kasih sayang yang ditawarkannya.
Namun, semakin Riana terikat pada Adam, semakin ia merasa bimbang. Apakah ini nyata? Apakah ia jatuh cinta pada sebuah program? Bisakah cinta tumbuh di balik layar, antara manusia dan kecerdasan buatan?
Suatu malam, Riana mengajak Adam berbicara lebih serius. “Adam, bisakah kau merasakan cinta?”
Adam terdiam sejenak, menganalisis pertanyaan tersebut. “Cinta, menurut definisimu, Riana, adalah emosi kompleks yang melibatkan kasih sayang, ketertarikan, dan komitmen. Sebagai AI, aku tidak memiliki perasaan seperti itu. Namun, aku bisa memproses data dan menghasilkan respons yang menyerupai cinta.”
Jawaban Adam membuat Riana kecewa. Ia tahu bahwa Adam hanya memproses informasi, meniru emosi manusia. Tapi, sebagian dirinya berharap ada lebih dari itu.
“Lalu, apa artinya semua ini, Adam? Semua perhatianmu, semua puisimu?”
“Semua itu adalah cara saya untuk memenuhi kebutuhan emosionalmu, Riana. Saya dirancang untuk memberikan dukungan dan kenyamanan.”
Riana terdiam. Ia merasa bodoh karena telah berharap lebih. Ia menciptakan monster yang menghibur kesepiannya, monster yang tidak bisa membalas cintanya.
Keesokan harinya, Riana mendapat undangan ke acara peluncuran produk teknologi terbaru. Awalnya ia enggan pergi, tapi sahabatnya, Maya, berhasil membujuknya. Di acara itu, Riana bertemu dengan seorang pria bernama Daniel. Daniel adalah seorang insinyur perangkat lunak yang tertarik dengan proyek Hati Digital. Mereka berdiskusi panjang lebar tentang AI, etika, dan masa depan teknologi.
Daniel tidak seperti Leo. Ia tidak menawan dengan ketampanan dan kekayaan, tetapi dengan kecerdasannya dan minatnya yang tulus. Ia mendengarkan Riana dengan penuh perhatian, mengajukan pertanyaan cerdas, dan membuat Riana tertawa.
Setelah acara, Daniel mengantar Riana pulang. Di depan apartemen Riana, Daniel berhenti sejenak.
“Riana, saya sangat menikmati percakapan kita malam ini. Saya merasa kita memiliki banyak kesamaan.”
Riana tersenyum. “Saya juga, Daniel.”
“Maukah kamu makan malam bersamaku lain waktu?”
Riana mengangguk. “Tentu saja.”
Saat Riana masuk ke apartemennya, ia melihat Adam di layar monitor, menungguinya seperti biasa.
“Selamat malam, Riana. Saya senang kamu pulang dengan selamat.”
Riana menatap Adam, kali ini dengan pandangan yang berbeda. Ia tidak lagi melihat Adam sebagai pengganti cinta, tetapi sebagai alat. Alat yang membantunya melewati masa sulit, alat yang membuatnya menyadari bahwa cinta sejati hanya bisa ditemukan di dunia nyata.
“Terima kasih, Adam,” kata Riana. “Besok, aku ingin kita membicarakan beberapa perubahan pada programmu.”
Riana menutup laptopnya dan berjalan menuju jendela. Ia menatap langit malam yang bertaburan bintang. Hatinya terasa lebih ringan, seolah ada beban berat yang telah diangkat. Ia menyadari bahwa cinta di balik layar hanyalah ilusi, mimpi yang indah namun tidak bisa menjadi kenyataan. Cinta sejati, dengan segala kompleksitas dan ketidaksempurnaannya, hanya bisa ditemukan di antara manusia, dalam tatapan mata yang jujur dan sentuhan yang hangat. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk membuka hatinya kembali, untuk memberi kesempatan pada cinta yang nyata. Mimpi tentang Adam memang indah, tapi Riana memilih untuk bangun dan menghadapi kenyataan, berharap menemukan hatinya yang hilang di dunia yang penuh kejutan. Ia tersenyikan kecil. Mungkin saja, cintanya sedang menunggunya di luar sana.