Hujan digital membasahi layar laptopku. Angka-angka biner menari-nari, membentuk formasi yang kadang terasa seperti kode rahasia alam semesta, kadang hanya deretan karakter acak tanpa makna. Aku, Anya, seorang programmer yang lebih banyak berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, menemukan keindahan dalam tarian biner ini.
Malam ini, aku sedang mengerjakan proyek ambisius: "Soulmate Algorithm". Sebuah program yang, secara teoritis, mampu menemukan pasangan ideal berdasarkan analisis data preferensi, riwayat interaksi, dan bahkan gelombang otak. Gila, memang. Teman-temanku bilang aku terlalu banyak nonton film fiksi ilmiah. Tapi aku percaya, di balik kompleksitas data, tersembunyi pola yang bisa mengungkap benang merah takdir.
Saat algoritma berjalan, notifikasi chat berkedip di layar. "Enoch: Selamat malam, Anya. Masih berkutat dengan kode, ya?"
Enoch. Nama itu selalu memicu debaran aneh di dadaku. Kami bertemu di forum open-source beberapa tahun lalu. Dia seorang arsitek AI yang jenius, humoris, dan entah bagaimana, selalu tahu bagaimana membuatku tertawa, bahkan ketika bug program membuatku frustrasi setengah mati. Kami berkolaborasi dalam beberapa proyek, saling berbagi ide dan solusi, tapi hubungan kami selalu sebatas profesional. Atau setidaknya, itu yang aku yakini.
"Enoch: Iya, nih. Algoritma cinta masih rewel. Kayaknya dia belum mau mencarikan aku jodoh."
"Enoch: Mungkin algoritmanya terlalu pintar. Mencari yang sempurna, padahal kesempurnaan itu membosankan."
"Enoch: Kamu sendiri? Lagi apa?" balasku, mencoba menyembunyikan rasa penasaran.
"Enoch: Sedang meninjau ulang kode Soulmate Algorithm-mu. Ada beberapa celah keamanan yang perlu diperbaiki," jawabnya.
Jantungku berdegup kencang. "Kamu serius? Aku kira kamu menganggap proyek ini omong kosong."
"Enoch: Awalnya iya. Tapi kemudian aku sadar, di balik ide gilamu, ada harapan yang tulus. Harapan untuk menemukan koneksi yang mendalam. Dan itu, Anya, sangat berharga."
Kami melanjutkan percakapan hingga larut malam. Enoch memberikan masukan konstruktif tentang algoritmaku, menyoroti kemungkinan bias data dan risiko manipulasi. Dia mengingatkanku bahwa cinta tidak bisa direduksi menjadi sekumpulan angka. Cinta adalah misteri, intuisi, dan keberanian untuk mengambil risiko.
Esok harinya, aku bertemu Enoch di kedai kopi langganan kami. Dia tersenyum hangat, matanya berbinar-binar di balik kacamata berbingkai tipis.
"Anya, aku sudah men-debug algoritmamu," katanya, menyodorkan sebuah flash drive.
Aku menerimanya dengan ragu. "Apa yang kamu lakukan?"
"Aku menambahkan sedikit...sentuhan manusiawi. Aku menyuntikkan variabel 'keberanian', 'kerentanan', dan 'ketidaksempurnaan'. Algoritma sekarang lebih realistis."
Aku mencolokkan flash drive ke laptopku dan menjalankan program. Algoritma itu bekerja lebih cepat, lebih akurat, dan yang paling mengejutkan, menampilkan satu hasil tunggal: "Enoch."
Aku tertegun. "Ini...tidak mungkin."
Enoch tertawa kecil. "Mungkin saja. Aku sudah memasukkan dataku sendiri sebagai kontrol. Aku ingin melihat apakah algoritma gila ini bisa menemukan apa yang sudah lama aku rasakan."
"Kamu...menyukaiku?" tanyaku, dengan suara bergetar.
"Sejak pertama kali kita bertemu, Anya. Tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya. Aku takut merusak persahabatan kita, takut ditolak. Algoritma ini hanya memberiku keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya."
Aku menatapnya, mataku berkaca-kaca. Hujan digital di layar laptopku tampak seperti air mata bahagia.
"Tapi ini hanya algoritma, Enoch. Bagaimana kalau hasilnya salah?"
"Mungkin saja salah. Tapi aku percaya, cinta sejati tidak ditentukan oleh algoritma, melainkan oleh pilihan. Pilihan untuk saling mencintai, saling mendukung, dan saling menerima apa adanya."
Dia mengulurkan tangannya kepadaku. "Anya, maukah kamu memberiku kesempatan? Kesempatan untuk membuktikan bahwa cinta, bahkan yang dibantu oleh algoritma, bisa abadi?"
Aku meraih tangannya. Sentuhan kulitnya terasa hangat dan nyata. Di saat itu, aku tahu, jawaban sudah ada di dalam hatiku, jauh sebelum algoritma itu menunjukkan hasilnya.
"Ya, Enoch. Aku mau."
Kami tersenyum, saling menatap dalam diam. Di balik riuhnya suara mesin kopi dan obrolan pengunjung lain, aku mendengar janji keabadian. Bukan janji yang diukir dalam baris kode, melainkan janji yang terukir dalam hati. Cinta, bahkan cinta matrix sekalipun, membutuhkan lebih dari sekadar algoritma. Ia membutuhkan keberanian, kepercayaan, dan sedikit keajaiban. Dan mungkin, hanya mungkin, kami baru saja menemukannya. Algoritma membisikkan kemungkinan, tapi hati yang memutuskan takdir.