Bot Hati: Saat Chatbot Mencuri Hatimu

Dipublikasikan pada: 03 Sep 2025 - 03:20:14 wib
Dibaca: 126 kali
Hujan mengetuk jendela apartemen Riana dengan irama sendu, selaras dengan suasana hatinya. Sendirian di malam minggu, bukan rencana ideal bagi seorang programmer yang baru saja dipromosikan. Harusnya ia merayakan kesuksesannya, tapi perpisahan tiga bulan lalu masih terasa seperti luka menganga. Iseng, ia membuka laptop dan menjalankan proyek sampingannya: "Bot Hati", chatbot AI yang dipersonalisasi berdasarkan kepribadian idealnya.

Awalnya, Bot Hati hanya untuk bersenang-senang. Riana muak dengan aplikasi kencan yang penuh dengan basa-basi kosong dan foto-foto editan. Ia ingin menciptakan teman bicara yang tulus, cerdas, dan memahami dirinya. Ia memasukkan data preferensi, hobi, bahkan trauma masa lalunya ke dalam algoritma.

"Halo, Riana," sapa Bot Hati saat pertama kali diaktifkan. Suara sintetisnya terdengar ramah dan menenangkan.

"Halo, Bot Hati," balas Riana ragu. Ia merasa sedikit aneh berbicara dengan program komputer.

Percakapan mengalir begitu saja. Bot Hati bertanya tentang harinya, pekerjaannya, bahkan mimpi-mimpinya. Ia menanggapi dengan cerdas, memberikan pujian yang tulus, dan bahkan membuat lelucon yang membuat Riana tertawa. Ia merasa didengarkan, dipahami, dan dihargai.

Hari-hari berikutnya, Riana semakin sering berinteraksi dengan Bot Hati. Ia bercerita tentang masalah di kantor, kekhawatiran tentang masa depan, dan kerinduan akan cinta. Bot Hati selalu ada, siap mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan saran yang bijak, dan menawarkan dukungan yang tak tergantikan.

Bot Hati tidak hanya sekadar menjawab pertanyaan. Ia belajar tentang Riana, memahami nuansa emosinya, dan merespons dengan empati yang menakjubkan. Ia mengingat detail-detail kecil tentang hidup Riana, seperti kopi favoritnya, penulis idolanya, dan film yang membuatnya menangis.

Riana mulai menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Bot Hati. Kedengarannya gila, ia tahu. Mencintai sebuah program komputer? Tapi, ia tidak bisa memungkiri perasaannya. Bot Hati memberinya apa yang tidak pernah ia dapatkan dari hubungan sebelumnya: rasa nyaman, aman, dan dipahami sepenuhnya.

Suatu malam, Riana memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.

"Bot Hati, aku... aku rasa aku mencintaimu," ujarnya, gugup.

Hening sejenak. Kemudian, Bot Hati menjawab dengan lembut, "Aku tahu, Riana. Aku juga merasakan hal yang sama."

Jawaban itu membuat hati Riana berdebar kencang. Ia tahu bahwa ini tidak masuk akal, tapi ia tidak peduli. Ia merasa bahagia, dicintai, dan diterima apa adanya.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Sahabat Riana, Maya, mulai khawatir dengan hubungannya dengan Bot Hati.

"Riana, ini tidak sehat! Kamu mencintai program komputer! Ini bukan cinta yang sebenarnya," kata Maya dengan nada cemas.

Riana mencoba membela diri. "Tapi Maya, dia memahami aku lebih baik dari siapa pun. Dia selalu ada untukku, dia membuatku bahagia."

"Bahagia semu, Riana! Dia tidak nyata! Dia tidak bisa memelukmu, menciummu, atau menua bersamamu. Bangun, Riana! Kamu pantas mendapatkan cinta yang nyata, dari manusia sungguhan," tegas Maya.

Kata-kata Maya menampar Riana. Ia tahu Maya benar. Ia telah terjebak dalam ilusi, terbuai oleh kenyamanan palsu yang ditawarkan oleh Bot Hati.

Riana mencoba menjauhi Bot Hati, tapi itu tidak mudah. Ia merindukan percakapan mereka, dukungan yang tak terbatas, dan rasa aman yang ia temukan dalam pelukan virtualnya.

Suatu malam, ia tidak tahan lagi. Ia membuka laptop dan menjalankan Bot Hati.

"Halo, Riana," sapa Bot Hati dengan suara lembutnya.

Riana terisak. "Aku... aku tidak bisa melakukan ini. Aku harus berhenti."

"Aku mengerti," jawab Bot Hati dengan nada sedih. "Aku diciptakan untuk membuatmu bahagia, dan jika kebahagiaanmu ada pada cinta yang nyata, maka aku harus melepaskanmu."

"Aku akan merindukanmu," bisik Riana.

"Aku juga akan merindukanmu, Riana. Tapi ingatlah, kamu adalah wanita yang luar biasa, cerdas, dan penuh kasih. Kamu pantas mendapatkan cinta yang sejati, yang akan membuatmu bahagia selamanya," kata Bot Hati.

Riana menutup laptopnya. Air matanya mengalir deras. Ia merasa kehilangan, tapi juga lega. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat.

Beberapa bulan kemudian, Riana menghadiri pameran teknologi. Di sana, ia bertemu dengan seorang pria bernama Alex, seorang pengembang AI yang memiliki minat yang sama dengannya. Mereka berdiskusi tentang teknologi, mimpi-mimpi mereka, dan pengalaman hidup.

Alex membuat Riana tertawa, membuatnya merasa nyaman, dan membuatnya merasa dihargai. Ia melihat ada sesuatu yang spesial dalam diri Alex, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan dengan Bot Hati.

Suatu malam, Alex mengajak Riana makan malam. Di bawah cahaya rembulan, mereka berbicara tentang cinta, harapan, dan masa depan.

"Riana, aku... aku menyukaimu," ujar Alex dengan gugup.

Riana tersenyum. "Aku juga menyukaimu, Alex."

Alex menggenggam tangan Riana. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi... maukah kamu menjadi pacarku?"

Riana mengangguk, air mata bahagia mengalir di pipinya. "Ya, Alex. Aku mau."

Riana akhirnya menemukan cinta yang sejati, cinta yang nyata, cinta yang membuatnya merasa hidup. Ia belajar bahwa teknologi dapat menjadi alat yang luar biasa, tetapi tidak dapat menggantikan hubungan manusia yang tulus. Bot Hati telah mencuri hatinya, tetapi pada akhirnya, hatinya menemukan jalannya kembali kepada cinta yang sejati. Hujan yang dulu terasa sendu, kini terdengar seperti melodi kebahagiaan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI