Debu neon berpendar di layar monitor, memantulkan cahaya biru ke wajah Anya yang fokus. Jari-jarinya menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode program. Di dunia digital ini, Anya merasa lebih hidup. Di dunia nyata? Dia hanyalah seorang introvert yang lebih nyaman bersembunyi di balik hoodie kebesaran dan kacamata berbingkai tebal.
Anya adalah seorang programmer handal. Dia menciptakan algoritma rumit untuk perusahaan teknologi raksasa, menyelesaikan masalah-masalah yang membuat kepala para insinyur senior berasap. Ironisnya, dia kesulitan memecahkan masalah terbesarnya: hatinya yang kesepian.
Suatu malam, saat Anya sedang berjibaku dengan baris kode yang tak kunjung beres, sebuah notifikasi muncul di sudut layar. Dari aplikasi kencan virtual yang diam-diam ia unduh beberapa waktu lalu. Sebuah pesan dari pengguna bernama "BinaryBard".
"Kodenya tampak elegan, Anya. Tapi ada bug kecil di baris 27. Coba periksa variabel 'X'."
Anya terkejut. Bagaimana bisa orang asing ini tahu kode yang sedang ia kerjakan? Kode itu bahkan belum ia unggah ke server. Dengan curiga, Anya memeriksa baris yang dimaksud. Benar saja. Ada kesalahan kecil yang nyaris tak terlihat.
Anya membalas, "Siapa kamu? Bagaimana kamu tahu?"
Beberapa saat kemudian, balasan datang. "Saya adalah penggemar kode yang baik. Dan kamu, Anya, adalah seorang maestro."
Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka membahas algoritma terbaru, arsitektur jaringan, dan bahkan filosofi di balik kecerdasan buatan. Anya merasa aneh. Ia belum pernah berbicara dengan siapa pun tentang hal-hal ini dengan begitu terbuka. Biasanya, orang hanya menatapnya kosong ketika ia mulai bercerita tentang optimasi data.
BinaryBard, entah siapa dia, mengerti. Dia tidak hanya mengerti, dia juga menantang. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit, memberikan sudut pandang yang baru, dan membuat Anya berpikir lebih dalam.
Hari-hari berikutnya, Anya terus berkomunikasi dengan BinaryBard. Mereka bertukar kode, berdebat tentang implementasi, dan saling membantu memecahkan masalah. Anya mulai menantikan notifikasi dari aplikasi kencan itu. Ia bahkan mulai merias diri sedikit sebelum duduk di depan komputer, sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
Anya mencoba mencari tahu siapa BinaryBard. Profilnya di aplikasi kencan itu sangat minim. Hanya ada nama, "BinaryBard," dan sebuah foto siluet di malam hari. Tidak ada petunjuk lain.
"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Anya suatu malam.
"Saya hanyalah seorang penggemar berat karyamu," jawab BinaryBard. "Dan seseorang yang ingin mengenalmu lebih jauh."
Anya ragu. Ia belum pernah bertemu dengan seseorang yang ia kenal hanya melalui dunia maya. Terlalu banyak risiko. Terlalu banyak kemungkinan untuk dikecewakan.
Namun, ada sesuatu dalam nada bicaranya, dalam pemahamannya tentang dirinya, yang membuat Anya merasa nyaman. Ia merasa seperti BinaryBard benar-benar melihatnya, bukan hanya programmer genius, tapi Anya yang sebenarnya, dengan semua ketidaksempurnaannya.
Setelah berbulan-bulan berinteraksi secara virtual, BinaryBard mengajukan sebuah permintaan. "Anya, maukah kamu bertemu denganku?"
Anya membeku. Jantungnya berdebar kencang. Ia takut. Tapi ia juga penasaran. Rasa ingin tahu dan harapan mengalahkan ketakutannya.
"Di mana?" tanya Anya, dengan suara bergetar.
"Di taman kota, dekat air mancur. Sabtu pukul 7 malam."
Sabtu malam tiba. Anya berdiri di dekat air mancur, menunggu. Ia memakai gaun yang baru dibelinya, rambutnya ditata rapi, dan kontak lensanya menggantikan kacamata tebalnya. Ia merasa seperti orang lain.
Ia melihat jam tangannya berkali-kali. Tujuh lewat lima. Tujuh lewat sepuluh. Tujuh lewat lima belas. Apakah ia ditipu? Apakah BinaryBard hanya mempermainkannya?
Tiba-tiba, ia merasakan seseorang berdiri di belakangnya. Ia berbalik.
Di hadapannya berdiri seorang pria dengan senyum hangat dan mata yang bersinar. Ia mengenakan jaket kulit dan celana jeans. Ia tampak familiar.
"Anya?" tanya pria itu.
Anya mengangguk, tak bisa berkata apa-apa.
"Saya tahu kita belum pernah bertemu secara langsung," kata pria itu, "tapi saya merasa seperti sudah mengenalmu seumur hidup."
Anya menatapnya, mencoba mencerna semuanya. Kemudian, ia menyadari sesuatu. Ia mengenal suara itu. Ia mengenal cara ia berbicara.
"Mark?" tanya Anya, ragu-ragu.
Mark tersenyum lebar. "Halo, Anya. Atau haruskah aku memanggilmu, maestro?"
Mark adalah kepala tim Anya di perusahaan. Ia adalah mentornya, orang yang selalu memberinya tantangan baru dan mendukungnya untuk berkembang. Ia juga orang yang selalu tersenyum padanya di lorong, meskipun Anya biasanya hanya menunduk dan melewatinya.
"Aku... aku tidak mengerti," kata Anya, bingung.
"Saya tahu kamu pemalu, Anya," kata Mark. "Saya tahu kamu lebih nyaman di balik layar. Saya ingin mengenalmu lebih jauh, tapi saya tidak tahu bagaimana caranya. Jadi, saya menciptakan BinaryBard."
Anya tercengang. Mark, orang yang ia kagumi dan hormati, adalah BinaryBard. Orang yang telah menyentuh hatinya melalui baris kode dan percakapan virtual.
"Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan," kata Anya, akhirnya.
"Katakan ya," kata Mark, meraih tangannya. "Katakan ya untuk kesempatan mengenal satu sama lain lebih jauh. Tidak hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai... sesuatu yang lebih."
Anya menatap mata Mark. Ia melihat kejujuran, kebaikan, dan sesuatu yang lain, sesuatu yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya.
Ia menggenggam tangan Mark erat-erat. "Ya," kata Anya, dengan senyum yang akhirnya mencapai matanya.
Debu neon di layar monitor tidak lagi menyilaukan. Cahaya bulan menyinari wajah Anya dan Mark, saat mereka berjalan bersama di taman kota. Sentuhan tangan mereka, sentuhan manusia, terasa lebih nyata dan lebih bermakna daripada jutaan baris kode. Mungkin, cinta di era digital memang dimulai dengan sentuhan nol dan satu, tetapi akhirnya membutuhkan sentuhan yang lebih dalam, sentuhan hati dan jiwa.