Kilau layar ponsel memantulkan cahaya biru ke mata Anya. Di aplikasi kencan "SoulSync," deretan wajah tersenyum menatapnya. Setiap wajah disertai persentase kecocokan. 87%, 92%, bahkan ada yang 98%. Dulu, Anya merasa jijik dengan ide mencari cinta lewat algoritma. Romantis? Jelas tidak. Tapi setelah tiga tahun menjomblo, dan semua kencan butanya berakhir dengan bencana, dia menyerah. Mungkin, hanya mungkin, algoritma tahu lebih baik.
SoulSync bukan aplikasi kencan biasa. Aplikasi ini menganalisis data pengguna secara mendalam: riwayat pencarian, postingan media sosial, bahkan pola detak jantung saat menonton film. Hasilnya? Profil psikologis yang komprehensif, jauh lebih akurat daripada sekadar mengisi kuesioner.
Malam ini, Anya memutuskan untuk mencoba. Jantungnya berdebar saat melihat profil "Kai," dengan persentase kecocokan 95%. Foto profilnya menunjukkan seorang pria dengan rambut cokelat berantakan dan senyum tulus. Deskripsinya singkat: "Programmer yang mencintai kopi, buku, dan malam berbintang."
Anya ragu. Terlalu sempurna. Seperti karakter fiksi yang sengaja dirancang untuk menarik perhatiannya. Tapi, apa salahnya mencoba? Ia mengirimkan "SoulSpark," semacam sinyal ketertarikan di SoulSync.
Balasan datang hampir instan. "SoulSpark diterima. Mau ngobrol?"
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Kai ternyata benar-benar programmer. Mereka berdua menyukai fiksi ilmiah klasik dan memiliki pandangan yang sama tentang masa depan kecerdasan buatan. Anya terkejut. Biasanya, ia merasa perlu menyaring kata-katanya, berusaha terlihat menarik di depan pria. Tapi dengan Kai, rasanya jujur dan apa adanya.
Beberapa hari kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu. Kai memilih kafe kecil yang nyaman, dengan rak buku penuh dan aroma kopi yang kuat. Saat ia tiba, Anya terpana. Kai persis seperti yang ia bayangkan. Lebih tepatnya, seperti yang SoulSync gambarkan.
Kencan itu berjalan sempurna. Kai mendengarkan dengan penuh perhatian, tertawa pada lelucon Anya, dan bahkan memesankan teh favoritnya tanpa perlu diberi tahu. Anya merasa nyaman, dihargai, dan... jatuh cinta.
Selama beberapa minggu berikutnya, Anya dan Kai menjadi tak terpisahkan. Mereka menghabiskan waktu bersama, menonton film, memasak, dan berdiskusi tentang segala hal. Anya merasa menemukan belahan jiwanya. SoulSync benar. Algoritma memang lebih memahami isi hatinya.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di balkon apartemen Anya, menatap bintang-bintang, Kai berkata, "Anya, aku harus jujur padamu."
Jantung Anya mencelos. Nada suara Kai terdengar serius, tidak seperti biasanya.
"Ada sesuatu tentang SoulSync yang belum kamu tahu."
Anya menelan ludah. "Apa itu?"
Kai menarik napas dalam-dalam. "SoulSync tidak hanya mencocokkan orang berdasarkan data. Aplikasi ini juga... mengoptimalkan interaksi."
"Mengoptimalkan? Apa maksudmu?"
"Algoritma SoulSync menganalisis responmu selama percakapan. Ekspresi wajah, nada suara, bahkan detak jantungmu. Berdasarkan data itu, algoritma memberikan 'petunjuk' padaku."
Anya mengerutkan kening. "Petunjuk? Petunjuk apa?"
"Petunjuk tentang apa yang ingin kamu dengar. Apa yang akan membuatmu tertawa. Apa yang akan membuatmu merasa nyaman. Semuanya." Kai meraih tangan Anya. "Anya, aku tidak berbohong. Aku benar-benar menikmati waktu bersamamu. Tapi... aku tidak yakin berapa banyak dari ini yang nyata, dan berapa banyak yang merupakan hasil dari algoritma."
Anya terdiam. Pikirannya berpacu. Semua percakapan sempurna, semua kesamaan yang mencengangkan, semua momen romantis… semuanya mungkin telah direkayasa. Ia merasa dikhianati, tidak hanya oleh SoulSync, tetapi juga oleh Kai.
"Jadi... kau hanya melakukan apa yang diperintahkan algoritma?"
"Tidak!" Kai menggelengkan kepalanya dengan panik. "Aku memiliki perasaan yang tulus padamu. Tapi aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa SoulSync telah memanipulasi kita."
Anya menarik tangannya. "Aku tidak tahu apa yang harus aku percaya."
"Aku tahu. Aku juga tidak tahu." Kai menghela napas. "Aku rasa, kita harus menguji ini."
"Menguji? Bagaimana?"
"Kita berhenti menggunakan SoulSync. Kita berhenti mendapatkan 'petunjuk'. Kita lihat apa yang terjadi."
Anya ragu. Tanpa bantuan algoritma, apakah mereka akan tetap cocok? Apakah mereka akan tetap saling mencintai? Tapi ia tahu bahwa Kai benar. Mereka harus mencari tahu kebenaran.
Mereka menghapus aplikasi SoulSync dari ponsel mereka. Dunia terasa berbeda. Sunyi. Tanpa notifikasi "petunjuk," Kai tampak bingung, sesekali tersendat dalam percakapan. Anya pun merasa canggung. Mereka harus benar-benar berusaha untuk menemukan topik pembicaraan yang menarik.
Hari-hari berikutnya terasa seperti ujian yang berat. Mereka berdebat tentang hal-hal kecil, seperti merek kopi mana yang lebih enak, atau film mana yang lebih membosankan. Tawa mereka tidak lagi semudah dulu. Anya mulai meragukan segalanya. Apakah cinta mereka memang cinta, atau hanya produk dari algoritma yang canggih?
Suatu sore, saat mereka sedang duduk diam di taman, Anya memecah keheningan. "Mungkin... SoulSync benar. Mungkin kita memang tidak cocok."
Kai menatapnya dengan sedih. "Jangan bilang begitu, Anya."
"Tapi lihat kita sekarang! Kita tidak bisa bicara tanpa bertengkar. Kita tidak punya kesamaan lagi."
"Itu tidak benar!" Kai berdiri dan berjalan mendekati Anya. "Kita masih punya kesamaan. Kita berdua sama-sama bodoh karena percaya pada aplikasi kencan."
Anya tertawa. Tawa yang tulus, bukan tawa yang dipicu oleh "petunjuk" algoritma.
"Mungkin kau benar," katanya.
Kai duduk di sampingnya dan meraih tangannya. "Anya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Mungkin kita akan berhasil, mungkin tidak. Tapi aku tahu satu hal. Aku ingin mencoba. Aku ingin mengenalmu, Anya yang sebenarnya. Bukan Anya yang dirancang oleh algoritma."
Anya menggenggam tangannya erat. Ia masih takut, masih ragu. Tapi ia juga merasakan harapan. Mungkin, cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam algoritma. Mungkin, cinta sejati justru tumbuh dari kesalahan, dari ketidaksempurnaan, dari usaha yang tulus untuk saling memahami.
"Aku juga ingin mencoba," kata Anya.
Mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Perjalanan yang tidak dipandu oleh algoritma, melainkan oleh hati. Perjalanan yang mungkin sulit, tapi juga lebih berharga. Karena pada akhirnya, cinta sejati bukanlah tentang kecocokan sempurna, melainkan tentang memilih untuk mencintai, apa pun yang terjadi.