Cinta Digital: Terjebak Nostalgia Algoritma?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 17:34:02 wib
Dibaca: 159 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di meja kerjanya, layar laptop berpendar redup, menampilkan barisan kode yang berputar dalam simulasi algoritma pencarian jodoh. Anya, seorang data scientist muda, tengah merancang ulang “Cupid 2.0”, sebuah aplikasi kencan yang dulu pernah sangat populer, namun kini tergilas zaman.

Dulu, Cupid 2.0 adalah mahakaryanya bersama Leo, mantan kekasihnya. Mereka berdua membangunnya dari nol, menuangkan mimpi tentang menemukan cinta sejati melalui data. Algoritma mereka konon mampu memprediksi kecocokan dengan akurasi yang mencengangkan. Namun, semua itu runtuh saat Leo memilih wanita lain, meninggalkan Anya dan Cupid 2.0 dalam kubangan kekecewaan.

Kini, setelah lima tahun berlalu, Anya kembali. Bukan untuk Leo, tentu saja. Tapi untuk membuktikan bahwa cinta, meski rumit dan kadang menyakitkan, tetap bisa dianalisis dan difasilitasi oleh teknologi. Ia ingin membangkitkan Cupid 2.0 dari kematian, membuatnya lebih relevan dengan preferensi generasi sekarang yang serba cepat dan instan.

Di sela-sela kesibukannya, Anya seringkali terhenti, menatap foto Leo yang tersimpan rapi dalam folder tersembunyi di laptopnya. Foto-foto itu adalah saksi bisu masa lalu mereka: Leo yang tertawa lebar saat berhasil memecahkan bug rumit, Leo yang menatapnya penuh cinta saat mereka merayakan peluncuran Cupid 2.0, Leo… yang kini entah di mana.

“Bodohnya aku,” bisik Anya pada diri sendiri. Ia merasa terjebak nostalgia algoritma. Algoritma yang dulu mereka buat bersama, kini terasa seperti jerat yang mengikatnya pada kenangan pahit. Setiap baris kode, setiap variabel, setiap fungsi, mengingatkannya pada Leo.

Suatu malam, saat Anya sedang larut dalam debugging, sebuah notifikasi muncul di layar. Sebuah pesan dari akun anonim di forum pengembang. Pesan itu berisi saran konstruktif tentang cara meningkatkan efisiensi algoritma Cupid 2.0. Awalnya, Anya mengabaikannya. Tapi pesan-pesan itu terus berdatangan, selalu tepat sasaran, selalu memberikan solusi yang cerdas.

Penasaran, Anya mulai berinteraksi dengan akun anonim tersebut. Mereka berdiskusi panjang lebar tentang arsitektur sistem, machine learning, dan bahkan filosofi cinta di era digital. Anya terpukau oleh kecerdasan dan visi akun anonim itu. Ia merasa seperti menemukan jiwa yang sepadan, seseorang yang memahami Cupid 2.0 lebih baik daripada siapa pun.

Setelah beberapa minggu, Anya memberanikan diri untuk bertanya siapa sebenarnya si akun anonim itu. Jantungnya berdebar kencang saat menerima balasan singkat: “Tebak saja.”

Anya mulai menganalisis gaya penulisan, pola pikir, dan referensi yang digunakan oleh akun anonim itu. Semakin ia dalami, semakin kuat firasatnya. Ia membuka folder foto Leo, membandingkan detail-detail kecil seperti ekspresi wajah dan gestur tangan.

Perasaan campur aduk menghantuinya. Antara harapan dan ketakutan. Mungkinkah ini Leo? Mungkinkah ia kembali?

Dengan tangan gemetar, Anya mengetik pesan: “Leo, apakah ini kamu?”

Lama sekali tidak ada balasan. Anya hampir putus asa, mengira dugaannya salah. Namun, beberapa menit kemudian, sebuah pesan muncul: “Mungkin saja. Atau mungkin, algoritma Cupid 2.0 yang bekerja terlalu baik.”

Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa seperti kembali ke masa lalu, ke saat-saat indah bersama Leo. Namun, ia juga sadar bahwa banyak hal telah berubah. Mereka berdua sudah bukan lagi orang yang sama.

Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk menemui si akun anonim di sebuah kedai kopi yang sering mereka kunjungi dulu. Ia gugup, jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.

Saat Anya tiba, ia melihat seorang pria duduk di pojok kedai, membelakanginya. Pria itu mengenakan jaket denim yang sangat familiar. Anya mendekat perlahan.

Pria itu berbalik. Benar. Itu Leo.

Mereka bertatapan lama. Tidak ada kata-kata yang terucap. Hanya ada tatapan mata yang penuh dengan penyesalan, kerinduan, dan harapan.

“Hai, Anya,” sapa Leo akhirnya, dengan suara serak.

“Leo,” balas Anya lirih.

Mereka menghabiskan sore itu untuk berbicara. Leo menjelaskan mengapa ia meninggalkan Anya dulu. Ia mengaku bahwa ia takut dengan kesuksesan Cupid 2.0. Ia merasa kecil dan tidak berarti di samping Anya yang brilian. Ia bodoh, ia menyesal, dan ia sangat merindukannya.

Anya mendengarkan dengan seksama. Ia mengerti. Ia memaafkan Leo.

Namun, Anya juga menyadari bahwa cinta mereka yang dulu sudah tidak mungkin dipulihkan. Terlalu banyak yang telah terjadi. Terlalu banyak luka yang telah menganga.

Mereka sepakat untuk tetap berteman, untuk saling mendukung dalam proyek masing-masing. Mereka akan terus mengembangkan Cupid 2.0, bukan lagi sebagai kekasih, tapi sebagai mitra kerja.

Anya tersenyum. Ia akhirnya bisa melepaskan diri dari nostalgia algoritma. Ia tidak lagi terjebak dalam masa lalu. Ia siap menatap masa depan, dengan cinta yang baru, atau mungkin tanpa cinta sama sekali. Yang terpenting, ia telah menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri.

Saat Anya berjalan pulang, ia menatap langit malam yang bertaburan bintang. Ia tahu bahwa cinta itu rumit, tidak bisa diprediksi, dan kadang menyakitkan. Tapi ia juga percaya bahwa cinta itu indah, penuh kejutan, dan selalu layak untuk diperjuangkan.

Mungkin, Cupid 2.0 tidak bisa menemukan cinta sejati untuk semua orang. Tapi, setidaknya, ia bisa membantu orang untuk saling terhubung, untuk berbagi, dan untuk belajar mencintai diri sendiri. Dan itu sudah cukup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI