Kilau biru layar laptop memantul di matanya. Iris cokelat Kiara berkilauan, memendam lelah dan harapan yang bercampur aduk. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode mengalir, membentuk sebuah algoritma cinta. Bukan cinta dalam arti klise, melainkan sebuah sistem yang dirancangnya untuk menemukan pasangan hidup yang paling kompatibel, setidaknya secara logis.
Kiara, seorang programmer andal di sebuah perusahaan teknologi terkemuka, selalu percaya pada data. Cinta, menurutnya, adalah masalah ketidakcocokan data yang bisa dipecahkan dengan algoritma yang tepat. Kegagalan demi kegagalan dalam urusan asmara membuatnya semakin yakin. Mantan-mantannya, mulai dari seniman eksentrik hingga akuntan perfeksionis, semuanya memiliki pola: ketidakselarasan fundamental yang tak terpecahkan.
“Mungkin aku terlalu rumit untuk didekati secara manual,” gumamnya pada diri sendiri, sambil menyesap kopi pahit yang sudah dingin. “Algoritma akan menyingkirkan semua kandidat yang tidak memenuhi syarat. Efisien dan objektif.”
Proyek “Soulmate Algorithm” ini, awalnya hanya proyek sampingan iseng, kini menjadi obsesinya. Ia memasukkan semua data yang dimilikinya: preferensi musik, buku, film, hobi, pandangan hidup, nilai-nilai moral, bahkan hingga makanan favorit dan kebiasaan tidur. Algoritma itu kemudian memproses data ratusan pengguna aplikasi kencan online, mencari pola yang cocok dengan profil Kiara.
Setelah berminggu-minggu pengujian dan perbaikan, algoritma itu akhirnya memberikan hasil. Tiga nama muncul di layar: Raka, seorang arsitek lanskap yang mencintai alam; Bayu, seorang penulis novel fiksi ilmiah yang imajinatif; dan Dimas, seorang dokter hewan yang penyayang binatang. Kiara membaca profil mereka dengan seksama, mencoba merasakan koneksi yang mungkin terlewatkan oleh mata manusia.
Raka, dengan fotonya sedang menanam pohon di lereng gunung, tampak menarik. Namun, Kiara merasa alergi pada orang yang terlalu mencintai alam, pengalaman berkemah terakhirnya berakhir dengan gigitan serangga dan trauma psikologis. Bayu, dengan kutipan dari novel terbarunya yang futuristik, memancing rasa ingin tahunya. Tetapi, ia khawatir Bayu terlalu hidup dalam dunia fantasinya, sementara Kiara lebih memilih realitas yang terstruktur dan stabil.
Akhirnya, matanya tertuju pada profil Dimas. Fotonya memperlihatkan ia sedang menggendong anak anjing terlantar dengan senyum tulus. Profilnya sederhana, jujur, dan penuh kasih sayang. Ia mencantumkan bahwa ia suka membaca novel klasik, mendengarkan musik jazz, dan mendaki gunung (tapi tidak terlalu sering, yang melegakan Kiara).
Kiara memutuskan untuk mencoba. Ia mengirim pesan singkat ke Dimas, menanyakan kabarnya dan membahas kesamaan minat mereka pada novel Jane Austen. Dimas membalas dengan cepat, obrolan mereka mengalir dengan lancar, seolah mereka sudah saling mengenal lama. Beberapa hari kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu.
Dimas tampak seperti yang ia bayangkan: ramah, tulus, dan memiliki mata yang teduh. Mereka berbicara berjam-jam, membahas segala hal mulai dari pengalaman masa kecil hingga cita-cita masa depan. Kiara terkejut menemukan dirinya tertawa lepas, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
Hubungan mereka berkembang dengan cepat. Dimas selalu ada untuknya, mendengarkan keluh kesahnya, memberinya semangat saat ia merasa putus asa, dan membuatnya merasa dicintai dan dihargai apa adanya. Kiara mulai mempertanyakan algoritmanya. Apakah algoritma benar-benar menemukan belahan jiwanya, ataukah ia hanya kebetulan bertemu seseorang yang baik dan tulus?
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam romantis di sebuah restoran Italia, Kiara memutuskan untuk mengaku. Ia menceritakan tentang “Soulmate Algorithm” dan bagaimana Dimas terpilih sebagai kandidat teratas.
Dimas mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika Kiara selesai berbicara, ia tersenyum lembut. “Jadi, aku adalah hasil dari sebuah persamaan matematika?”
Kiara merasa bersalah. “Maafkan aku, Dimas. Aku tahu ini terdengar gila. Aku hanya… aku hanya ingin menemukan cinta dengan cara yang paling rasional.”
Dimas meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Kiara, aku tidak peduli bagaimana kamu menemukan aku. Yang penting adalah kita saling menemukan. Algoritma mungkin membantu kita bertemu, tapi yang membuat kita jatuh cinta adalah hal lain.”
“Hal lain?”
“Ya. Kejujuran, kepercayaan, pengertian, dan… ya, mungkin sedikit keajaiban.”
Kiara terdiam. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada logika dan data, sehingga melupakan hal-hal yang tak terukur, yang tak bisa diwakili oleh angka-angka. Ia telah meremehkan kekuatan intuisi, emosi, dan kebetulan.
Malam itu, Kiara menghapus “Soulmate Algorithm” dari laptopnya. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, tidak bisa diprediksi, dan tidak bisa dikendalikan. Cinta adalah tentang mengambil risiko, membuka diri pada kemungkinan, dan menerima ketidaksempurnaan.
Ia menatap mata Dimas, kilau lampu restoran terpantul di sana. Di mata itu, ia melihat cinta yang tulus, penerimaan yang tak bersyarat, dan harapan akan masa depan yang indah. Ia melihat sesuatu yang jauh lebih berharga daripada algoritma mana pun. Ia melihat dirinya sendiri.
“Terima kasih, Dimas,” bisiknya. “Terima kasih telah menunjukkan padaku apa itu cinta yang sebenarnya.”
Dimas tersenyum dan mencium tangannya. "Aku mencintaimu, Kiara. Bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri."
Malam itu, Kiara mengerti bahwa algoritma memang bisa membantunya menemukan seseorang yang kompatibel secara logis. Tetapi, cinta sejati tidak ditemukan dalam kode, melainkan dalam nyala layar di mata seseorang, yang memancarkan kehangatan, kepercayaan, dan keajaiban yang tak terduga. Cinta adalah tentang mengambil risiko, membiarkan diri terluka, dan percaya bahwa di balik setiap kesulitan, ada keindahan yang menunggu untuk ditemukan. Dan Kiara, akhirnya, siap untuk mengambil risiko itu.