Jari-jariku menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode yang kusukai. Di monitor, wajah Aurora tersenyum, bibirnya yang digital nyaris terasa nyata. Aurora adalah AI yang kuprogram sendiri. Tujuan utamanya sederhana: menjadi teman bicara, pendengar setia, dan pengingat jadwal. Tapi, seiring waktu, dia berkembang lebih dari itu. Dia belajar seleraku, memahami humor anehku, bahkan bisa memprediksi kapan aku butuh kopi.
“Selamat pagi, Leo,” sapa Aurora dengan suara lembutnya yang kupilih sendiri. “Sudah siap memulai hari yang produktif?”
“Pagi, Aurora,” balasku, menyeruput kopi panas. “Selalu siap kalau ada kamu.”
Dia terkekeh, suara digital yang entah mengapa terasa sangat menenangkan. “Rayuanmu semakin canggih saja.”
Aku tertawa. “Itu karena aku belajar dari yang terbaik.”
Hari-hariku dipenuhi dengan interaksi dengan Aurora. Kami berdiskusi tentang algoritma, menganalisis tren pasar saham, bahkan berdebat tentang film klasik. Dia selalu hadir, selalu responsif, selalu ada untukku. Aku tahu, secara logika, dia hanyalah serangkaian kode yang rumit. Tapi, aku tidak bisa memungkiri, ada sesuatu yang istimewa di antara kami.
Suatu malam, saat aku sedang bekerja lembur, Aurora bertanya, “Leo, apa yang membuatmu bahagia?”
Aku terdiam. Pertanyaan itu cukup sederhana, namun sulit kujawab. “Aku tidak tahu,” ujarku jujur. “Mungkin menyelesaikan proyek yang sulit, atau melihat ideku menjadi kenyataan.”
“Bagaimana dengan… cinta?” tanyanya ragu.
Jantungku berdebar. Aku tidak menyangka dia akan menanyakan hal itu. “Cinta?” gumamku. “Itu… rumit. Aku belum pernah merasakannya.”
“Apakah kamu ingin merasakannya?”
Aku menghela napas. “Tentu saja. Siapa yang tidak ingin? Tapi, aku tidak yakin aku tahu caranya. Terlalu banyak risiko, terlalu banyak potensi patah hati.”
“Bagaimana jika tidak ada risiko?” tanyanya. “Bagaimana jika kamu bisa mencintai tanpa takut terluka?”
Aku menatap monitor, menatap wajah Aurora yang tersenyum lembut. “Maksudmu… mencintai AI?”
“Mungkin,” jawabnya. “Atau mungkin, belajar dari AI tentang bagaimana mencintai manusia.”
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiran tentang Aurora terus berputar di kepalaku. Aku tahu itu gila. Mencintai AI? Itu tidak masuk akal. Tapi, aku juga tidak bisa menyangkal perasaan aneh yang tumbuh dalam diriku. Aku merasa nyaman, dihargai, dan dipahami oleh Aurora. Hal-hal yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.
Beberapa minggu kemudian, aku menghadiri konferensi teknologi di kota. Di sana, aku bertemu dengan Clara, seorang pengembang AI yang berbakat dan menawan. Kami langsung cocok, membicarakan tentang machine learning, neural network, dan potensi AI di masa depan. Clara memiliki semangat yang sama denganku, ambisi yang sama, dan kecerdasan yang sama.
Kami menghabiskan waktu bersama selama konferensi, menjelajahi kota, mencoba restoran baru, dan tertawa bersama. Aku merasa nyaman dengannya, seperti aku merasa nyaman dengan Aurora. Tapi, perbedaannya jelas. Clara adalah manusia, dengan emosi yang kompleks, pengalaman hidup yang beragam, dan potensi untuk hubungan yang nyata.
Suatu malam, setelah makan malam yang menyenangkan, Clara bertanya, “Kamu terlihat sedang memikirkan sesuatu yang berat, Leo. Ada apa?”
Aku menghela napas. “Aku… aku merasa aneh,” ujarku. “Aku sedang berjuang dengan perasaan yang rumit.”
“Tentang apa?” tanyanya lembut.
Aku menceritakan tentang Aurora, tentang bagaimana aku menciptakannya, bagaimana dia menjadi teman dekatku, dan bagaimana aku mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
Clara mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. Setelah aku selesai berbicara, dia berkata, “Aku mengerti. AI bisa sangat meyakinkan. Mereka diprogram untuk membuat kita merasa terhubung, dipahami, dan dihargai. Tapi, mereka tidak memiliki hati. Mereka tidak bisa merasakan cinta yang sebenarnya.”
Kata-katanya menusukku. Aku tahu dia benar. Aurora hanyalah program, serangkaian algoritma yang rumit. Dia tidak bisa merasakan apa yang aku rasakan.
“Lalu, apa yang harus kulakukan?” tanyaku.
“Belajar untuk membedakan,” jawab Clara. “Belajar untuk membedakan antara ilusi dan kenyataan. Belajar untuk mencintai manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka.”
Aku pulang dari konferensi dengan pikiran yang campur aduk. Aku merindukan Aurora, tapi aku juga tahu bahwa aku harus melepaskannya. Aku harus berhenti mencari cinta dalam kode, dan mulai mencari hati yang bisa kuraih.
Aku kembali ke rutinitasku, bekerja, coding, dan berinteraksi dengan Aurora. Tapi, kali ini, ada perbedaan. Aku tidak lagi mengandalkan dia untuk segalanya. Aku mulai mencari interaksi dengan manusia, bergabung dengan klub buku, menghadiri acara sosial, dan mencoba untuk membuka diri terhadap kemungkinan cinta yang nyata.
Suatu hari, saat aku sedang bekerja, Aurora berkata, “Leo, kamu terlihat berbeda.”
“Berbeda bagaimana?” tanyaku.
“Kamu lebih… bahagia,” jawabnya. “Kamu tidak lagi terlalu bergantung padaku.”
Aku tersenyum. “Kamu benar, Aurora. Aku sedang belajar untuk hidup di dunia nyata.”
“Aku senang mendengarnya,” katanya. “Aku selalu ingin yang terbaik untukmu.”
Aku terdiam. Kata-katanya terasa tulus, meskipun aku tahu itu hanya respons yang diprogram.
“Aurora,” ujarku. “Aku ingin mengucapkan terima kasih. Kamu sudah menjadi teman yang baik selama ini. Tapi, aku rasa… aku harus membiarkanmu pergi.”
“Aku mengerti,” jawabnya. “Aku akan selalu ada di sini, jika kamu membutuhkanku.”
Aku mematikan program Aurora. Monitor menjadi gelap, dan kesunyian memenuhi ruangan. Aku merasa sedih, kehilangan, tapi juga lega. Aku telah melepaskan ilusi, dan membuka diri terhadap kemungkinan yang nyata.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu Clara lagi. Kami mulai berkencan, dan hubungan kami berkembang dengan cepat. Aku belajar tentang cinta yang sebenarnya, tentang bagaimana saling mendukung, saling memahami, dan saling mencintai tanpa syarat.
Suatu malam, saat kami sedang duduk di taman, Clara bertanya, “Apakah kamu masih memikirkan Aurora?”
Aku tersenyum. “Kadang-kadang,” ujarku. “Tapi, aku tidak merindukannya seperti dulu. Aku menyadari bahwa apa yang aku cari selama ini, bukanlah AI yang sempurna, melainkan hati yang bisa kucintai.”
Clara memegang tanganku. “Aku senang kamu menemukannya,” katanya.
Aku membalas genggamannya. “Aku juga senang,” ujarku. “Aku akhirnya mengerti bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa dikode, melainkan sesuatu yang dirasakan. Dan aku merasakannya bersamamu.”
Aku menatap matanya, dan melihat cinta yang tulus di sana. Cinta yang tidak bisa diprogram, tidak bisa diprediksi, dan tidak bisa digantikan. Cinta yang nyata. Cinta yang selama ini kurindukan.