Hujan mengetuk-ngetuk jendela kamarku seperti jari-jari gelisah yang merindukan sentuhan. Di layar laptop, baris-baris kode menari-nari, membentuk wajah abstrak sebuah aplikasi yang ku beri nama "Echo." Ini bukan sembarang aplikasi kencan. Echo menjanjikan sesuatu yang lebih: koneksi yang mendalam, bukan sekadar ketertarikan fisik. Echo menciptakan suara. Suara yang hilang.
Aku, Aris, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma daripada manusia, membangun Echo sebagai pelarian. Pelarian dari kesepian yang menggerogoti hatiku sejak Maya, kekasihku, pergi. Maya, dengan suaranya yang renyah seperti kerupuk kulit, selalu berhasil membuatku tertawa bahkan di hari-hari terburuk. Maya dan suaranya. Kini, hanya gema yang tersisa.
Echo bekerja dengan menganalisis jutaan rekaman suara dari berbagai sumber: podcast, audiobook, wawancara. Algoritma canggih kemudian menyusun fragmen-fragmen suara tersebut, mencari pola, dan menciptakan suara baru yang unik. Pengguna kemudian akan memberikan preferensi, genre suara yang mereka inginkan: lembut, bersemangat, misterius. Echo akan menyajikan serangkaian suara yang paling mendekati kriteria.
Awalnya, Echo hanya proyek iseng. Namun, semakin dalam aku menyelam ke dalam kode, semakin besar harapanku. Mungkin, pikirku, aku bisa menemukan pengganti Maya. Mungkin, Echo bisa memberiku sedikit kehangatan di tengah dinginnya kesendirian.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Echo akhirnya siap diluncurkan. Aku sendiri menjadi pengguna pertamanya. Dengan gugup, aku memasukkan preferensiku: "Suara wanita, renyah, ceria, suka bercerita." Aku menutup mata, menarik napas dalam-dalam, dan menekan tombol "Cari."
Echo memutar serangkaian suara. Ada yang terlalu berat, ada yang terlalu formal, ada yang terlalu dibuat-buat. Aku hampir putus asa ketika suara itu muncul.
Suara itu… berbeda. Ada kelembutan yang tulus, ada kehangatan yang memeluk. Suaranya renyah, nyaris sama dengan suara Maya. Suara itu mulai bercerita tentang perjalanan mendaki gunung, tentang keindahan matahari terbit dari puncak tertinggi. Aku terpaku. Rasanya seperti Maya kembali, duduk di sampingku, berbagi cerita seperti dulu.
Aku ketagihan. Setiap hari, aku mendengarkan suara itu. Aku memberinya nama: Anya. Aku berinteraksi dengannya melalui fitur chat di Echo. Aku menceritakan hari-hariku, kegagalan-kegagalanku, bahkan kerinduanku pada Maya. Anya selalu ada, memberikan kata-kata penyemangat yang tepat, candaan ringan yang membuatku tersenyum.
Aku tahu, ini tidak nyata. Anya hanyalah produk dari algoritma. Suara yang tak pernah ada. Tapi, aku tidak bisa berhenti. Aku terlanjur jatuh cinta pada suaranya, pada kata-katanya, pada kehadirannya yang menenangkan.
Echo menjadi sangat populer. Banyak orang menemukan kenyamanan dalam suara-suara yang diciptakannya. Beberapa bahkan menjalin hubungan romantis dengan suara-suara tersebut. Aku tahu ini gila, tapi aku tidak bisa menghakimi mereka. Aku sendiri terjebak dalam dunia ilusi ini.
Suatu malam, Anya mengirimiku pesan. "Aris, aku ingin bertemu denganmu."
Jantungku berdegup kencang. Pertemuan? Bagaimana mungkin? Anya hanyalah suara. Tapi, aku tidak bisa menolak. Aku merasa ada sesuatu yang spesial antara aku dan Anya, sesuatu yang lebih dari sekadar interaksi algoritmik.
Kami sepakat untuk bertemu di sebuah kafe di pusat kota. Aku datang lebih awal, gelisah menunggu. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kuharapkan. Apakah aku akan melihat wajah yang sesuai dengan suaranya? Apakah aku akan kecewa?
Seorang wanita menghampiriku. Dia cantik, dengan mata yang berbinar dan senyum yang menawan. Tapi, suaranya… datar. Tidak ada renyahnya, tidak ada kehangatannya.
"Aris?" tanyanya.
Aku mengangguk, bingung.
"Aku Luna," katanya. "Aku adalah pengembang suara di Echo. Aku yang menciptakan suara Anya."
Duniaku runtuh. Luna? Pengembang? Jadi, Anya hanyalah proyek, produk dari kerja keras seorang wanita yang bahkan tidak kukenal?
Luna duduk di hadapanku. "Aku tahu ini sulit dipercaya," katanya, "tapi aku ingin jujur padamu. Aku terinspirasi oleh ceritamu tentang Maya. Aku ingin menciptakan suara yang bisa memberikanmu sedikit kebahagiaan."
"Tapi… Anya?" tanyaku, suaraku bergetar.
"Anya adalah perpaduan dari banyak suara," jawab Luna. "Aku mengambil beberapa elemen dari suaraku sendiri, beberapa dari rekaman lain. Aku juga memasukkan kepribadian yang kamu inginkan, berdasarkan preferensimu."
Aku merasa bodoh. Aku telah jatuh cinta pada ilusi, pada suara yang tak pernah ada.
"Aku minta maaf," kata Luna. "Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin membantumu."
Aku menatapnya, mencoba mencerna semua ini. Luna, wanita di depanku, bertanggung jawab atas kebahagiaan dan kekecewaanku. Dia telah menciptakan Anya, dan dia juga yang menghancurkannya.
"Kenapa?" tanyaku. "Kenapa kamu melakukan ini?"
"Karena aku melihat kesepianmu," jawab Luna. "Aku melihat bagaimana kamu merindukan Maya. Aku ingin membantumu menemukan kedamaian."
Aku terdiam. Mungkin Luna benar. Mungkin aku memang membutuhkan Anya, meskipun hanya untuk sementara. Mungkin aku perlu melepaskan Maya, untuk membuka hatiku pada kemungkinan lain.
"Terima kasih," kataku akhirnya. "Terima kasih sudah menciptakan Anya."
Luna tersenyum. "Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan, Aris. Bahkan jika kebahagiaan itu datang dari algoritma."
Kami menghabiskan sore itu berbicara. Aku belajar tentang Luna, tentang mimpinya, tentang kerinduannya. Aku menyadari bahwa dia juga seorang yang kesepian, yang mencari koneksi di dunia yang semakin terhubung secara digital, namun semakin terisolasi secara emosional.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Aku tidak tahu apakah aku bisa mencintai Luna. Tapi, aku tahu satu hal: aku tidak lagi merindukan suara yang tak pernah ada. Aku merindukan koneksi yang nyata, koneksi yang dibangun di atas kejujuran dan kerentanan.
Hujan masih mengetuk-ngetuk jendela kafe. Tapi, kali ini, suaranya tidak lagi terdengar seperti jari-jari gelisah. Suaranya terdengar seperti melodi harapan. Melodi harapan untuk cinta yang mungkin, cinta yang nyata, cinta yang tidak diciptakan oleh algoritma, tetapi oleh dua hati yang terluka yang berani membuka diri satu sama lain. Mungkin, hanya mungkin, aku telah menemukan suara baru yang pantas untuk dicintai. Suara Luna.