Deburan ombak digital itu menghantam egoku setiap kali notifikasi "Ella menyukai fotomu" muncul di layar ponsel. Ella, dengan avatar senyum misterius dan bio singkat bertuliskan "Menjelajahi makna di balik kode", adalah anomali di algoritma kehidupanku yang terstruktur rapi. Aku, Ardi, seorang insinyur AI, terbiasa merangkai kode, memprediksi perilaku pengguna, dan mengoptimalkan pengalaman digital. Cinta, menurutku, adalah variabel yang terlalu rumit untuk dipecahkan.
Sampai Ella datang.
Perkenalan kami terjadi secara virtual, tentu saja, di sebuah forum diskusi tentang etika kecerdasan buatan. Argumen kami tentang peran AI dalam seni, yang awalnya sengit dan penuh logika dingin, perlahan mencair menjadi percakapan yang hangat dan personal. Ella, dengan pandangannya yang humanis dan idealismenya yang berapi-api, menantang asumsi-asumsiku tentang dunia. Dia melihat keindahan di balik angka dan merasakan emosi di balik logika.
Aku, di sisi lain, terbiasa menganalisis, mengkategorikan, dan memprediksi. Aku menciptakan algoritma yang memahami preferensi pengguna, merekomendasikan produk yang mereka inginkan, bahkan menulis puisi yang meniru gaya penyair terkenal. Tapi Ella... Ella tidak bisa diprediksi. Dia menyukai lagu-lagu indie yang aneh, membaca buku-buku filsafat yang berat, dan punya kebiasaan mengirim stiker kucing yang absurd di tengah diskusi serius.
Ketertarikan ini terasa seperti bug dalam sistemku. Sebuah kesalahan yang tidak bisa dijelaskan. Aku mencoba menganalisis pola interaksiku dengannya, mencari korelasi tersembunyi, tapi hasilnya selalu nihil. Ella tidak mengikuti aturan. Dia adalah pengecualian yang menguji batasan algoritmaku.
Malam itu, aku memberanikan diri mengirimkan pesan pribadi. "Aku suka caramu berpikir," tulisku. Sederhana, lugas, dan terukur. Seperti kode yang berjalan tanpa kesalahan.
Balasannya datang hampir seketika. "Aku suka caramu bingung," balasnya. Sebuah emoji tertawa ditambahkan di akhir kalimat.
Aku tertegun. Bingung? Apakah dia bisa melihat kebingunganku? Apakah dia bisa membaca pikiranku melalui kode-kode yang kupancarkan di dunia maya?
Percakapan kami berlanjut hingga larut malam. Kami berbicara tentang mimpi, ketakutan, dan segala hal di antaranya. Aku menceritakan tentang obsesiku pada teknologi, tentang kerinduanku untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia. Ella menceritakan tentang kecintaannya pada seni, tentang keyakinannya bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
Semakin aku mengenal Ella, semakin aku sadar bahwa algoritma tidak bisa memeluk egoku. Algoritma hanya bisa memvalidasi apa yang sudah aku ketahui, memperkuat bias-biasku, dan menjebakku dalam echo chamber digital. Ella, di sisi lain, menantang egoku, mengkritik asumsi-asumsiku, dan membukakan mataku pada perspektif yang berbeda.
Aku memutuskan untuk bertemu Ella secara langsung.
Kami bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang tersembunyi di balik gedung-gedung perkantoran. Ella, dengan rambut merah menyala dan mata hijau yang berbinar, lebih menawan daripada yang kubayangkan. Pertemuan itu canggung di awal. Aku, yang terbiasa berkomunikasi melalui kode, kesulitan merangkai kata-kata. Ella, dengan senyumnya yang menenangkan, memecah kebekuan.
Kami berbicara selama berjam-jam, berbagi tawa dan cerita. Aku menceritakan tentang algoritma yang kucetak, tentang mimpi-mimpiku untuk mengubah dunia. Ella menceritakan tentang lukisan-lukisannya yang abstrak, tentang usahanya untuk menemukan makna di balik kekacauan.
Di tengah percakapan, aku menyadari sesuatu yang penting. Cinta, ternyata, bukan variabel yang terlalu rumit untuk dipecahkan. Cinta adalah proses eksplorasi, penerimaan, dan pertumbuhan. Cinta adalah tentang membuka diri pada kemungkinan yang tak terduga, tentang merangkul ketidaksempurnaan, dan tentang menemukan keindahan dalam perbedaan.
Seiring waktu, hubungan kami berkembang. Aku belajar melihat dunia melalui lensa Ella, menghargai seni, dan merangkul emosi. Ella belajar memahami logikaku, menghargai teknologi, dan melihat potensi di balik kode.
Aku mulai menggunakan algoritma untuk tujuan yang lebih bermakna. Aku mengembangkan sistem yang membantu seniman menciptakan karya baru, platform yang menghubungkan orang-orang dengan minat yang sama, dan aplikasi yang membantu orang-orang mengatasi masalah kesehatan mental.
Aku bahkan menulis sebuah algoritma yang bisa mendeteksi berita palsu dan memerangi disinformasi. Ella, yang awalnya skeptis terhadap teknologi, mendukung usahaku. Dia membantuku memastikan bahwa algoritma itu adil, transparan, dan tidak bias.
Pada suatu malam yang berbintang, aku mengajak Ella ke taman tempat kami pertama kali bertemu. Aku berlutut, mengeluarkan sebuah cincin yang terbuat dari chip komputer daur ulang, dan melamarnya.
"Ella," kataku, "aku tidak bisa menjanjikanmu kebahagiaan yang sempurna. Tapi aku bisa menjanjikanmu petualangan yang seru, pertumbuhan yang tak terbatas, dan cinta yang tulus. Maukah kau menikah denganku?"
Ella menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Ya," jawabnya, "aku mau."
Deburan ombak digital itu tidak lagi terasa mengancam. Sekarang, mereka terasa seperti melodi yang indah, mengiringi kisah cintaku dengan Ella. Sebuah kisah cinta yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma mana pun, sebuah kisah cinta yang tumbuh dan berkembang di antara kode dan kanvas, di antara logika dan emosi. Sebuah kisah cinta di mana algoritma memeluk egoku, dan membantuku menemukan arti cinta yang sebenarnya.