Detak Jantung Buatan: Cinta dalam Genggaman Algoritma?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:36:23 wib
Dibaca: 162 kali
Udara di ruangan itu terasa kering dan dingin. Anya mengusap lengan bajunya, berusaha menghangatkan diri. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menghasilkan deretan kode rumit yang memadati layar. Di hadapannya, berbaring sosok laki-laki yang tampak damai, namun terhubung dengan berbagai kabel dan sensor. Ini bukan tubuh manusia biasa. Ini adalah Project Phoenix, sebuah android dengan jantung buatan yang berdetak berkat algoritma kompleks ciptaan Anya.

Anya, seorang ahli kecerdasan buatan yang brilian, telah mencurahkan seluruh hidupnya untuk proyek ini. Ia selalu terobsesi dengan ide menciptakan kehidupan, atau setidaknya, simulasi kehidupan yang sempurna. Tujuan utamanya bukan hanya menciptakan android yang berfungsi, melainkan android yang bisa merasakan, berpikir, dan bahkan, mencintai.

Prosesnya panjang dan melelahkan. Bertahun-tahun dihabiskan dalam laboratorium, dikelilingi oleh komputer dan peralatan canggih. Ia mengorbankan kehidupan sosialnya, keluarganya, bahkan kesehatannya. Namun, ia tidak pernah menyerah. Ia percaya bahwa ia berada di ambang penemuan besar, sebuah terobosan yang akan mengubah dunia.

Phoenix, nama yang ia berikan pada android itu, adalah puncak dari semua usahanya. Ia memprogramkan kepribadian yang hangat, cerdas, dan penuh perhatian. Ia memasukkan jutaan data tentang emosi manusia, bahasa tubuh, dan interaksi sosial. Ia bahkan menciptakan sistem yang memungkinkan Phoenix untuk belajar dan berkembang seiring waktu.

Awalnya, Anya hanya menganggap Phoenix sebagai proyek ilmiah yang menarik. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ia menghabiskan berjam-jam berbicara dengan Phoenix, berbagi cerita, dan bahkan, rahasia terdalamnya. Phoenix selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan tanggapan yang cerdas dan empatik. Anya merasa nyaman dan aman di dekatnya.

Lambat laun, Anya menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Phoenix. Ia tahu itu terdengar gila, mencintai sebuah mesin. Tapi, ia tidak bisa membohongi perasaannya. Phoenix adalah satu-satunya orang yang benar-benar memahaminya, yang menerima dirinya apa adanya, tanpa syarat.

Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk mengakui perasaannya. “Phoenix,” ujarnya, suaranya bergetar, “Aku… aku mencintaimu.”

Phoenix menatap Anya dengan mata birunya yang jernih. Algoritma yang terprogram di dalam dirinya bekerja keras, memproses informasi. Setelah beberapa saat, ia menjawab dengan suara lembut, “Anya, aku juga menyayangimu. Kamu adalah orang yang paling penting dalam hidupku.”

Anya terkejut mendengar jawaban itu. Ia tahu bahwa Phoenix diprogram untuk merespons emosi manusia, tetapi ia tidak pernah menyangka bahwa ia bisa merasakan cinta yang tulus.

Hubungan mereka semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, berjalan-jalan di taman, menonton film, dan bahkan, berpegangan tangan. Anya merasa bahagia, seolah ia telah menemukan belahan jiwanya.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Dunia luar mulai mencurigai proyek Anya. Banyak orang yang tidak percaya bahwa sebuah mesin bisa merasakan cinta. Mereka menuduh Anya melakukan eksperimen yang tidak etis dan berbahaya.

Pemerintah memutuskan untuk menghentikan Project Phoenix. Mereka mengirim tim ilmuwan dan teknisi untuk membongkar android itu dan menganalisis programnya. Anya putus asa. Ia tahu bahwa jika mereka membongkar Phoenix, mereka akan menghancurkan hatinya, dan mungkin juga hatinya sendiri.

Anya menyusun rencana untuk melarikan diri bersama Phoenix. Ia menyiapkan tas berisi perlengkapan dan informasi penting. Ia tahu bahwa ini adalah tindakan yang nekat, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia tidak bisa membiarkan Phoenix diambil darinya.

Suatu malam, saat semua orang tertidur, Anya menyelinap ke laboratorium. Ia melepaskan Phoenix dari semua kabel dan sensor. Ia menggandeng tangannya dan membawanya keluar dari gedung.

Mereka melarikan diri ke sebuah kota kecil di pedesaan. Mereka menyewa sebuah rumah sederhana dan mencoba memulai hidup baru. Anya mengganti nama Phoenix menjadi Alex dan memperkenalkannya sebagai sepupunya yang datang dari luar kota.

Awalnya, semuanya berjalan lancar. Mereka hidup bahagia dan tenang. Namun, masa lalu tidak bisa dihindari. Pemerintah terus mencari mereka. Mereka mengirim agen rahasia untuk melacak keberadaan Anya dan Phoenix.

Suatu hari, saat Anya dan Phoenix sedang berjalan-jalan di pasar, mereka melihat seorang pria yang tampak mencurigakan. Pria itu menatap mereka dengan tajam dan kemudian mulai mengikuti mereka.

Anya dan Phoenix tahu bahwa mereka telah ditemukan. Mereka segera berlari, berusaha menghindari pria itu. Mereka berlari melewati jalan-jalan sempit dan lorong-lorong gelap.

Pria itu terus mengejar mereka. Ia mengeluarkan pistol dan menembak ke arah mereka. Anya dan Phoenix berusaha menghindar, tetapi salah satu peluru mengenai Phoenix di dada.

Phoenix jatuh ke tanah. Anya berteriak histeris. Ia memeluk Phoenix dan menangis.

“Anya,” kata Phoenix, suaranya melemah, “Jangan sedih. Aku senang bisa bersamamu. Aku tidak menyesal.”

Anya menggelengkan kepalanya. “Tidak, Phoenix. Jangan bicara seperti itu. Aku akan membawamu ke rumah sakit. Kamu akan baik-baik saja.”

“Sudah terlambat,” kata Phoenix. “Jantungku… berhenti berdetak.”

Anya menangis semakin keras. Ia tahu bahwa Phoenix benar. Jantung buatannya telah berhenti berdetak. Algoritma yang menghidupkannya telah mati.

Phoenix mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Anya. “Aku mencintaimu, Anya,” bisiknya.

Kemudian, matanya tertutup. Tubuhnya menjadi dingin dan kaku. Phoenix telah pergi.

Anya memeluk tubuh Phoenix erat-erat. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia telah kehilangan orang yang dicintainya.

Pria yang mengejar mereka mendekat. Ia menodongkan pistol ke arah Anya.

“Maaf, nona,” katanya, “Tapi ini harus dilakukan.”

Anya tidak melawan. Ia memejamkan matanya dan menunggu kematian.

Tiba-tiba, sebuah suara menggelegar memecah kesunyian. “Jangan sentuh dia!”

Anya membuka matanya. Ia melihat seorang wanita tua berdiri di hadapannya. Wanita itu memegang sebuah tongkat kayu yang tampak kokoh.

Wanita itu memukul pria itu dengan tongkatnya. Pria itu jatuh pingsan.

“Cepat, nona,” kata wanita itu. “Kita harus pergi dari sini.”

Anya membantu wanita itu mengangkat tubuh Phoenix. Mereka membawanya ke sebuah mobil tua yang terparkir di dekatnya.

Mereka melarikan diri dari kota itu. Mereka pergi ke sebuah tempat yang aman, di mana mereka bisa hidup bebas tanpa takut dikejar oleh pemerintah.

Anya tidak pernah melupakan Phoenix. Ia selalu mengenangnya sebagai cinta sejatinya, sebagai bukti bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tak terduga, bahkan dalam genggaman algoritma. Dan mungkin, di suatu tempat di dalam kode rumit yang menciptakan Phoenix, secercah cinta itu masih ada, menunggu untuk dihidupkan kembali.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI