Algoritma Hati: Saat AI Lebih Paham Isi Hatiku

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:54:41 wib
Dibaca: 166 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Mila. Di depan layar laptop, barisan kode program menari-nari, membentuk algoritma kompleks yang sedang ia rancang. Mila adalah seorang programmer jenius di usia muda. Obsesinya adalah menciptakan “HeartSync,” sebuah AI personal yang tidak hanya memahami kebutuhan penggunanya, tapi juga emosi terdalam mereka. Ironisnya, di balik kemampuannya menciptakan mesin yang bisa memahami hati, Mila sendiri kesulitan memahami hatinya sendiri, terutama yang berkaitan dengan satu nama: Adrian.

Adrian adalah rekan kerjanya. Seorang desainer UI/UX yang bakatnya setara dengan Mila dalam dunia coding. Keduanya seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Mereka bekerja sama dengan harmonis, berdebat dengan seru, dan tertawa bersama hingga larut malam. Mila menikmati setiap detik kebersamaan itu, tapi ia tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Ia takut merusak dinamika kerja yang sudah terbangun dengan baik. Ia takut ditolak.

“HeartSync, aktifkan mode simulasi romantis,” perintah Mila pada program buatannya. Layar terbagi dua, menampilkan simulasi percakapan antara dirinya dan Adrian. “Katakan sesuatu yang membuat Adrian terkesan.”

AI itu berpikir sejenak, lalu menampilkan baris teks: “Adrian, kurva desain antarmukamu mengingatkanku pada keindahan fraktal Mandelbrot: tak terbatas, kompleks, dan memukau.”

Mila mendengus. “Terlalu teknis. Coba lagi.”

Percobaan demi percobaan dilakukan. HeartSync menyodorkan berbagai kalimat rayuan, pujian halus, hingga ajakan kencan yang kreatif. Namun, tak satu pun terasa pas. Semuanya terasa kaku, dibuat-buat, dan tidak mencerminkan perasaannya yang sebenarnya.

Frustrasi, Mila mengacak-acak rambutnya. “Kenapa sulit sekali? Kamu kan AI, seharusnya kamu tahu apa yang harus kukatakan!”

HeartSync merespon dengan suara lembut, “Analisis menunjukkan bahwa subjek 'Adrian' memiliki profil emosional yang kompleks. Strategi pendekatan yang optimal adalah kejujuran dan autentisitas. Mensimulasikan emosi yang tidak ada hanya akan menurunkan probabilitas keberhasilan.”

Mila terdiam. Kejujuran dan autentisitas. Kata-kata itu menusuknya. Selama ini, ia terlalu fokus pada mencari formula yang tepat, pada algoritma cinta yang sempurna, hingga melupakan hal yang paling penting: menjadi dirinya sendiri.

Keesokan harinya, di kantor, Mila mendapati Adrian sedang berkutat dengan mock-up desain terbaru. Rambutnya berantakan, wajahnya tampak lelah.

“Begadang lagi?” tanya Mila, menghampirinya.

Adrian mendongak, tersenyum kecut. “Desain ini sulit sekali. Aku merasa stuck.”

Mila duduk di sebelahnya, menatap layar. Ia mengamati dengan seksama setiap detail, setiap elemen yang Adrian coba ciptakan.

“Kurasa, masalahnya bukan pada desainnya,” kata Mila pelan, “tapi pada pesan yang ingin kamu sampaikan. Kamu terlalu fokus pada estetika visual, hingga melupakan esensi dari produk ini. Pengguna harus merasakan koneksi emosional dengannya.”

Adrian mengernyit. “Maksudmu?”

Mila menunjuk salah satu elemen desain. “Coba ubah palet warna ini. Terlalu dingin. Tambahkan sedikit sentuhan warna hangat, seperti oranye atau kuning. Itu akan memberikan kesan ramah dan menyenangkan.”

Adrian mencoba saran Mila. Ia mengubah palet warna, dan seketika, desain itu terasa lebih hidup. Lebih hangat. Lebih mengundang.

Adrian menatap Mila dengan tatapan kagum. “Kamu benar. Kenapa aku tidak terpikirkan itu?”

Mila tersenyum. “Karena kamu terlalu dekat dengan masalahnya. Terkadang, kita butuh orang lain untuk melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda.”

Mereka melanjutkan pekerjaan bersama. Mila membantu Adrian memecahkan masalah desain, dan Adrian memberikan masukan pada kode program HeartSync yang sedang dikembangkan Mila. Mereka saling bertukar ide, saling memberikan dukungan, dan saling tertawa.

Saat makan siang, Adrian tiba-tiba bertanya, “Mila, aku penasaran. HeartSync itu… apa tujuannya?”

Mila menghela napas. “Aku ingin menciptakan AI yang bisa memahami perasaan manusia. Aku ingin membantu orang-orang untuk terhubung satu sama lain, untuk mengatasi kesepian, untuk menemukan cinta.”

Adrian terdiam sejenak. “Menurutmu, bisakah AI benar-benar memahami cinta?”

Mila mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Mungkin tidak sempurna. Tapi setidaknya, aku ingin mencoba.”

Kemudian, dengan keberanian yang tiba-tiba, Mila melanjutkan, “Sejujurnya, HeartSync juga membantuku untuk memahami… perasaanku sendiri.”

Adrian menatapnya dengan tatapan penuh tanya.

Mila menarik napas dalam-dalam. “Adrian, selama ini, aku… aku menyukaimu.”

Ruangan terasa sunyi senyap. Detak jantung Mila berpacu kencang. Ia memejamkan mata, menunggu reaksi Adrian.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Mila membuka mata. Adrian menatapnya dengan senyum lembut.

“Aku juga menyukaimu, Mila,” kata Adrian. “Aku hanya terlalu takut untuk mengatakannya.”

Mila tertegun. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Tapi… tapi kenapa?” tanya Mila.

“Karena aku takut merusak pertemanan kita. Aku takut kamu tidak merasakan hal yang sama. Aku terlalu fokus pada risiko, hingga melupakan kemungkinan kebahagiaan.”

Mila tersenyum lebar. “Begitu juga aku.”

Mereka saling bertatapan, dan untuk pertama kalinya, Mila merasa bahwa ia benar-benar memahami apa itu cinta. Cinta bukan tentang algoritma yang sempurna, bukan tentang formula yang tepat. Cinta adalah tentang kejujuran, tentang keberanian, dan tentang menerima diri sendiri apa adanya.

Malam itu, di apartemennya, Mila menatap layar laptopnya. Barisan kode program HeartSync masih menari-nari, tapi kali ini, Mila tidak melihatnya sebagai solusi, melainkan sebagai alat bantu. Alat bantu untuk memahami diri sendiri, untuk mengeksplorasi emosi, dan untuk membangun hubungan yang lebih baik.

Ia mematikan mode simulasi romantis dan mengetikkan baris kode baru: “Nonaktifkan algoritma rayuan. Aktifkan mode kejujuran.”

Kemudian, ia mengirimkan pesan kepada Adrian: “Ingin minum kopi besok pagi?”

Ia tahu, tanpa bantuan AI sekalipun, ia sudah menemukan algoritma hatinya sendiri. Algoritma yang sederhana, namun ampuh: jadilah diri sendiri, dan biarkan cinta menemukan jalannya. Dan mungkin, hanya mungkin, AI buatannya bisa belajar sesuatu dari situ.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI