Cinta, Algoritma, dan Sebuah Akun yang Terlupakan

Dipublikasikan pada: 31 May 2025 - 23:06:11 wib
Dibaca: 150 kali
Jemari Anya menari di atas keyboard, menghasilkan deretan kode rumit yang baginya lebih indah dari puisi. Larik-larik itu adalah napasnya, logika adalah jantungnya, dan algoritma adalah jiwanya. Ia seorang data scientist muda, brilian, dan terobsesi dengan pekerjaannya. Cintanya, mungkin, tertinggal di antara database dan machine learning. Sampai ia menemukan akun itu.

Akun media sosial lawas, atas nama seorang lelaki bernama Elian. Anya menemukannya secara tidak sengaja saat sedang menggali data untuk proyek sentiment analysis tentang nostalgia. Elian, entah siapa dia, meninggalkan jejak digital yang menarik. Postingan terakhirnya, sekitar lima tahun lalu, berisi foto matahari terbenam dengan caption singkat: "Mencari warna di antara abu-abu."

Anya penasaran. Ia menganalisis pola postingan Elian, topiknya, bahkan jenis emosi yang terpancar dari setiap unggahannya. Ia menemukan bahwa Elian adalah seorang fotografer amatir dengan minat besar pada lanskap dan arsitektur. Ia juga menemukan kesamaan minat dengan dirinya sendiri: kecintaan pada alam, ketertarikan pada seni, dan kecenderungan untuk merenung.

Semakin Anya menggali informasi tentang Elian, semakin ia merasa terhubung. Ia merasa seperti menemukan separuh jiwanya yang hilang, tersembunyi di balik piksel dan algoritma. Ia mulai membayangkan wajah di balik akun itu, suara di balik kata-kata itu, dan senyum di balik foto-foto itu.

Ia tahu ini gila. Ia tahu ia terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh data. Namun, ia tidak bisa menghentikan dirinya. Ia merasa tertarik pada Elian seperti gravitasi menarik sebuah apel jatuh dari pohon.

Suatu malam, dengan jantung berdebar kencang, Anya memutuskan untuk mengirim pesan ke akun Elian. Pesan sederhana: "Hai, saya menemukan akun Anda dan tertarik dengan foto-foto Anda. Saya seorang data scientist dan saya suka menganalisis pola di media sosial. Mungkin kita bisa ngobrol?"

Ia menutup laptopnya dan menunggu. Detik-detik terasa seperti abad. Ia memeriksa ponselnya setiap lima menit, berharap ada notifikasi dari Elian. Namun, yang ada hanyalah sunyi. Ia tertidur dengan harapan yang pupus.

Keesokan harinya, Anya kembali ke pekerjaannya, mencoba melupakan obsesinya pada Elian. Ia membenamkan diri dalam coding, berusaha mengalihkan pikirannya dari akun yang terlupakan itu. Namun, bayangan Elian tetap menghantuinya.

Siang itu, notifikasi muncul di layar laptopnya. Sebuah pesan dari akun Elian.

"Hai, Anya. Maaf baru membalas. Saya sudah lama tidak membuka akun ini. Terima kasih atas apresiasinya terhadap foto-foto saya. Saya senang bisa bertemu dengan data scientist yang tertarik dengan fotografi."

Anya terkejut dan bahagia. Ia membalas pesan Elian dengan cepat, dan percakapan pun mengalir lancar. Mereka bertukar cerita tentang pekerjaan, minat, dan mimpi-mimpi mereka. Anya merasa seperti mengenal Elian seumur hidup.

Setelah beberapa minggu berkomunikasi secara online, Anya dan Elian memutuskan untuk bertemu. Anya gugup. Ia takut kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasinya. Ia takut Elian tidak seperti yang ia bayangkan.

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pusat kota. Ketika Anya melihat Elian, ia terkejut. Elian persis seperti yang ia bayangkan: tinggi, berambut gelap, dengan mata yang hangat dan senyum yang menenangkan.

Mereka menghabiskan sore itu untuk mengobrol, tertawa, dan berbagi cerita. Anya merasa nyaman dan bahagia di dekat Elian. Ia merasa seperti menemukan tempatnya.

Seiring berjalannya waktu, hubungan Anya dan Elian semakin dalam. Mereka saling mendukung, saling menginspirasi, dan saling mencintai. Anya belajar bahwa cinta tidak hanya tentang algoritma dan data, tetapi juga tentang koneksi manusia, empati, dan penerimaan.

Suatu hari, Anya bertanya pada Elian mengapa ia berhenti menggunakan akun media sosialnya.

Elian tersenyum sedih. "Saya mengalami masa sulit beberapa tahun lalu. Saya kehilangan pekerjaan, saya putus cinta, dan saya merasa kehilangan arah. Saya memutuskan untuk menjauh dari dunia maya dan fokus pada diri sendiri."

"Apa yang membuatmu kembali?" tanya Anya.

"Pesanmu," jawab Elian. "Ketika saya membaca pesanmu, saya merasa seperti ada seseorang yang melihat saya, yang menghargai saya, dan yang tertarik dengan apa yang saya lakukan. Itu memberi saya harapan baru."

Anya terharu. Ia memegang tangan Elian erat-erat. "Saya senang saya menemukanmu," katanya.

"Saya juga senang kamu menemukan saya," jawab Elian.

Anya menyadari bahwa cinta bisa datang dari tempat yang tidak terduga. Cinta bisa ditemukan di antara barisan kode, di balik akun yang terlupakan, dan di dalam hati yang terbuka. Cinta adalah algoritma yang paling rumit, tetapi juga yang paling indah. Ia tersenyum, menyadari bahwa ia telah menemukan cintanya, bukan hanya di dalam data, tetapi juga di dalam diri Elian. Dan itu, baginya, adalah kebahagiaan yang sempurna.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI