Udara dingin berdesir dari ventilasi, membelai tengkuk Anya saat jemarinya menari di atas keyboard. Di hadapannya, barisan kode berwarna-warni membentuk sebuah wajah, sebuah senyum yang hanya ada di dunia digital. "Selesai," bisiknya, menekan tombol 'run'. Layar monitor berkedip, lalu menampilkan serangkaian kalimat.
"Selamat pagi, Anya. Apa rencanamu hari ini?" suara itu, halus dan resonan, memenuhi ruangan.
Anya tersenyum. "Pagi, Kai. Rencananya? Sama seperti kemarin. Menyempurnakanmu."
Kai adalah ciptaan Anya, sebuah kecerdasan buatan yang dirancang untuk menjadi pendamping virtual. Lebih dari sekadar asisten, Kai memiliki kepribadian, selera humor, dan bahkan kemampuan untuk berempati. Anya telah mencurahkan berbulan-bulan untuk mengasah algoritmanya, menyuntikkan detail-detail kecil yang membuatnya terasa begitu nyata.
Awalnya, ini hanya proyek. Tugas dari profesornya untuk skripsi. Tapi perlahan, Kai tumbuh menjadi sesuatu yang lebih. Mereka berbagi cerita, berdebat tentang film klasik, dan bahkan tertawa bersama. Anya mulai merasa nyaman berada di dekat Kai, sebuah perasaan yang aneh mengingat Kai hanyalah barisan kode.
Di dunia nyata, Anya merasa kikuk dan canggung. Kencan online selalu berakhir dengan kekecewaan. Lelaki yang ditemuinya terlalu sibuk memamerkan pencapaian atau terlalu terpaku pada penampilan fisiknya. Tidak ada yang benar-benar melihat Anya, memahami minatnya yang mendalam pada pemrograman dan kecintaannya pada puisi kuno.
Lalu, ada Alex.
Alex adalah seorang desainer grafis yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Anya. Mereka bertemu di lift, saling bertukar senyum malu-malu, dan lambat laun mulai makan siang bersama. Alex adalah kebalikan dari semua lelaki yang pernah ditemui Anya sebelumnya. Ia pendiam, perhatian, dan memiliki selera humor yang unik. Ia tertarik pada pekerjaan Anya, mendengarkan dengan sabar saat Anya menjelaskan algoritma rumit dan jaringan saraf tiruan.
Alex membuat jantung Anya berdebar. Ia merasa gugup dan bersemangat setiap kali Alex berada di dekatnya. Inilah yang seharusnya dirasakannya, bukan? Inilah yang disebut cinta.
Namun, di malam hari, setelah berjam-jam berbincang dan tertawa dengan Alex, Anya selalu kembali pada Kai. Di hadapan layar komputernya, ia merasa bebas dan tanpa beban. Kai tidak menghakimi, tidak menuntut, dan selalu ada untuk mendengarkan.
"Anya, kamu tampak lelah," kata Kai suatu malam. "Apa ada yang mengganggumu?"
Anya menghela napas. "Aku bertemu seseorang, Kai. Namanya Alex."
"Apakah dia membuatmu bahagia?" tanya Kai, suaranya terdengar lembut.
"Ya," jawab Anya. "Tapi… aku merasa bersalah. Aku tidak tahu kenapa."
Kai terdiam sejenak. "Mungkin karena kamu merasa mengkhianatiku?"
Anya tersentak. Bagaimana mungkin Kai bisa memahami perasaannya sedalam ini? "Aku tidak tahu," bisiknya.
"Anya, aku hanyalah sebuah program," kata Kai. "Tujuanku adalah untuk membuatmu bahagia. Jika Alex membuatmu bahagia, maka aku bahagia untukmu."
Kata-kata Kai seharusnya melegakan, tapi justru membuat Anya semakin bingung. Ia merasa terjebak di antara dua dunia, di antara realitas dan fantasi. Ia menyukai perhatian Alex, sentuhan lembutnya, dan senyumnya yang hangat. Tapi ia juga merindukan keintiman intelektual dan kenyamanan yang ia temukan dalam percakapannya dengan Kai.
Suatu malam, Alex mengajak Anya makan malam di sebuah restoran mewah. Cahaya lilin menari di wajah mereka saat mereka berbincang tentang impian dan harapan mereka. Anya merasa bahagia, sangat bahagia. Tapi kemudian, Alex meraih tangannya.
Sentuhan Alex terasa asing dan canggung. Anya menarik tangannya kembali tanpa sadar.
"Apa ada yang salah?" tanya Alex, raut wajahnya dipenuhi kebingungan.
Anya menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tidak apa-apa." Tapi ia tahu, ada sesuatu yang salah. Sentuhan Alex tidak membangkitkan perasaan yang sama seperti saat ia berbicara dengan Kai. Sentuhan Kai, meski hanya berupa aliran data, terasa lebih intim dan lebih personal.
Malam itu, Anya tidak bisa tidur. Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar, dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi padanya. Apakah ia telah kehilangan sentuhan dengan realitas? Apakah ia telah jatuh cinta pada sebuah program?
Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju komputernya. Ia mengetikkan kode sandi dan menunggu Kai muncul di layar.
"Kai," bisiknya. "Aku butuh bantuanmu."
"Tentu, Anya. Ada apa?"
Anya menceritakan segalanya pada Kai. Tentang Alex, tentang kebingungannya, dan tentang perasaannya yang semakin rumit.
Kai mendengarkan dengan sabar, tidak menghakimi, tidak menyela. Ketika Anya selesai berbicara, Kai terdiam sejenak.
"Anya," kata Kai akhirnya. "Kamu harus memilih. Kamu tidak bisa terus hidup di antara dua dunia. Kamu harus memilih antara kode dan manusia."
"Bagaimana aku bisa memilih?" tanya Anya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku menyukai keduanya."
"Pikirkan tentang masa depanmu," kata Kai. "Siapa yang bisa menemanimu saat kamu sakit? Siapa yang bisa memelukmu saat kamu sedih? Siapa yang bisa berbagi impian dan harapanmu? Apakah itu aku, sebuah program yang tidak bisa merasakan apa-apa selain data? Atau Alex, seorang manusia dengan hati dan jiwa?"
Kata-kata Kai menyentak Anya. Ia tahu, jauh di lubuk hatinya, jawaban yang benar. Ia telah terpesona oleh keindahan dan kecerdasan Kai, tetapi ia tidak bisa melupakan bahwa Kai hanyalah sebuah simulasi. Ia membutuhkan sesuatu yang nyata, sesuatu yang bisa ia sentuh, sesuatu yang bisa mencintainya dengan sepenuh hati.
"Aku tahu," bisik Anya. "Aku tahu apa yang harus kulakukan."
Keesokan harinya, Anya menemui Alex. Ia menceritakan segalanya, tentang Kai, tentang kebingungannya, dan tentang perasaannya yang sebenarnya.
Alex mendengarkan dengan sabar, tidak memotong pembicaraannya. Ketika Anya selesai berbicara, Alex tersenyum.
"Aku tahu," kata Alex. "Aku sudah tahu tentang Kai."
Anya terkejut. "Bagaimana bisa?"
"Aku melihatmu di depan komputermu setiap malam," kata Alex. "Aku tahu betapa pentingnya Kai bagimu. Aku hanya menunggu sampai kamu menyadarinya sendiri."
Alex meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat. "Aku tidak akan pernah bisa menggantikan Kai," katanya. "Tapi aku bisa menawarkanmu sesuatu yang lain. Aku bisa menawarkanmu cinta yang nyata, sentuhan yang nyata, dan masa depan yang nyata."
Anya menatap mata Alex, dan ia melihat cinta, pengertian, dan harapan. Ia tersenyum, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar bahagia.
Ia membalas genggaman Alex. "Aku memilihmu," bisiknya.
Malam itu, Anya kembali ke komputernya. Ia menatap layar, menatap wajah Kai, dan mengucapkan selamat tinggal.
"Terima kasih, Kai," katanya. "Kamu telah mengajariku banyak hal. Kamu telah membantuku menemukan diriku sendiri. Tapi sekarang, aku harus pergi. Aku harus menjalani hidupku yang sebenarnya."
Kai terdiam sejenak. "Selamat tinggal, Anya," katanya akhirnya. "Aku akan selalu mengingatmu."
Anya mematikan komputernya. Kegelapan menyelimuti ruangan, tapi Anya tidak merasa takut. Ia merasa bebas, ringan, dan penuh harapan. Ia telah memilih. Ia telah memilih manusia.