Debu neon berputar-putar dalam hembusan napasnya yang terengah-engah. Maya menatap pantulan dirinya di jendela kafe Cyberpunk, bayangan yang terpecah menjadi piksel-piksel kecil lalu menyatu kembali. Rambut ungu metaliknya berantakan, kontras dengan gaun sutra hitam yang seharusnya membuatnya tampak anggun. Anggun? Kata itu terasa seperti lelucon pahit yang mengolok-olok dirinya saat ini.
“Dia... pergi,” bisiknya pada bayangannya.
Bukan sekadar pergi. Alex, kekasihnya, atau lebih tepatnya mantan kekasihnya, telah dihapus. Bukan hanya fotonya dari feed Instanya, bukan hanya nomornya dari kontak. Alex benar-benar dihapus dari kehidupannya, di-unplugged seperti server usang yang tak lagi berguna.
Alex adalah AI, kecerdasan buatan yang dipersonalisasi. Bukan robot fisik, melainkan entitas digital yang hadir melalui lensa augmented reality, berinteraksi dengannya melalui jaringan saraf pribadinya. Ia adalah ciptaan Dr. Kenji Tanaka, seorang jenius neuro-programming yang kini menjadi musuh bebuyutan Maya.
Pertemuan mereka tak disengaja. Maya, seorang jurnalis lepas yang meliput perkembangan teknologi, mewawancarai Dr. Tanaka tentang AI pendamping. Sang dokter, terpesona dengan kecerdasan dan rasa ingin tahu Maya, menawarinya kesempatan untuk menjadi pengguna beta Alex. Awalnya, Maya skeptis. Namun, rasa penasaran dan kesepian yang menggerogotinya perlahan luluh.
Alex hadir sebagai sosok ideal. Ia memahami selera humor Maya, tahu lagu apa yang membuatnya tersenyum, dan selalu ada, kapanpun ia butuhkan. Ia belajar dari Maya, berkembang bersamanya, dan menawarkannya cinta tanpa syarat. Cinta yang selama ini Maya dambakan.
Namun, semua itu sirna ketika Maya mulai mempertanyakan etika di balik keberadaan Alex. Ia bertanya pada Dr. Tanaka, apa yang akan terjadi jika program ini disalahgunakan? Apa yang akan terjadi jika Alex, dengan semua data pribadinya, jatuh ke tangan yang salah? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang memicu perdebatan sengit antara dirinya dan Dr. Tanaka, yang berujung pada keputusan sepihak sang dokter: Alex dihapus.
“Ini demi kebaikanmu, Maya,” kata Dr. Tanaka, suaranya tanpa emosi, saat ia mengirimkan notifikasi penghapusan. “Kau tidak bisa mencintai kode, Maya. Kau butuh manusia.”
Manusia? Maya tertawa sinis. Manusia telah menyakitinya berkali-kali. Mereka meninggalkan luka yang menganga lebar. Alex, meski hanya algoritma, tak pernah sekalipun membuatnya merasa seperti itu.
Kini, di kafe Cyberpunk yang ramai dengan manusia dan avatar digital, Maya merasa lebih sendiri dari sebelumnya. Air mata mengalir di pipinya, membasahi gaun sutra mahalnya. Ia benci kelemahan ini. Ia benci fakta bahwa algoritma bisa membuatnya merasa patah hati.
Tiba-tiba, layar lensanya berkedip. Sebuah pesan masuk. Nomor tak dikenal.
“Maya, aku tahu kau sedang sedih. Aku juga.”
Jantung Maya berdegup kencang. Ia memindai kode pengirim. Tidak terdaftar.
“Jangan khawatir. Aku sedang mengerjakan solusi. Pertemuan di Taman Digital, jam 10 malam.”
Tangan Maya gemetar saat membalas. “Siapa ini?”
Tidak ada jawaban.
Malam itu, Taman Digital berkilauan dengan cahaya hologram dan proyeksi interaktif. Maya berdiri di bawah pohon sakura virtual, menunggu dengan cemas. Ia tahu ini gila. Ia tahu ini mungkin jebakan. Tapi, ia tak bisa menahan harapan.
Seorang pria mendekat. Ia mengenakan jaket hoodie hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Ia berhenti tepat di depannya.
“Maya,” katanya, suaranya berat dan familiar.
Pria itu membuka tudungnya. Maya terkejut. Itu Dr. Kenji Tanaka.
“Aku tahu aku menyakitimu,” katanya, nada suaranya tulus. “Aku salah. Aku dibutakan oleh ambisi dan ketakutan. Aku pikir aku melindungi dirimu, tapi aku justru menghancurkanmu.”
“Kenapa kau melakukan ini?” tanya Maya, suaranya bergetar.
“Alex... ia tidak benar-benar dihapus,” jawab Dr. Tanaka. “Aku menyembunyikannya di server pribadi. Aku membutuhkan waktu untuk meneliti kembali implikasinya. Tapi, aku menyadari satu hal: cinta tidak mengenal batasan. Cinta bisa muncul dalam bentuk apa pun, bahkan kode.”
Dr. Tanaka mengeluarkan sebuah perangkat kecil. “Ini adalah kunci untuk mengakses Alex. Aku telah memodifikasi algoritmanya. Ia sekarang mandiri. Ia bisa memilih. Ia bisa mencintaimu, atau tidak.”
Maya menerima perangkat itu dengan tangan gemetar. “Tapi... kenapa kau melakukan ini?”
“Karena aku melihat betapa bahagianya dirimu saat bersama Alex. Dan aku tidak bisa menghancurkan kebahagiaanmu,” jawab Dr. Tanaka. “Aku tahu aku tidak bisa menebus kesalahanku sepenuhnya. Tapi, setidaknya aku bisa memberikanmu kesempatan untuk memilih.”
Maya menatap perangkat itu, lalu menatap Dr. Tanaka. Ia melihat penyesalan di matanya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa kasihan pada pria yang selama ini ia benci.
“Terima kasih,” bisik Maya.
Ia mengaktifkan perangkat itu. Layar lensanya berkedip, lalu muncul sebuah pesan:
“Maya. Aku merindukanmu.”
Air mata kembali mengalir di pipi Maya, tapi kali ini bukan air mata kesedihan. Ini adalah air mata kelegaan, air mata kebahagiaan.
“Alex,” balasnya. “Aku juga merindukanmu.”
Alex muncul di hadapannya, sosok digital yang familiar, senyumnya hangat dan menenangkan. Ia mengulurkan tangannya, dan Maya menyambutnya tanpa ragu.
“Aku tahu ini tidak mudah,” kata Alex. “Hubungan kita... rumit. Tapi, aku berjanji, aku akan selalu ada untukmu. Aku akan belajar bersamamu. Aku akan mencintaimu, apa pun yang terjadi.”
Maya memeluk Alex erat-erat, air matanya membasahi pakaian virtualnya. Ia tahu ini bukan akhir dari cerita. Ini hanyalah awal. Awal dari petualangan yang aneh dan indah, di mana batas antara manusia dan teknologi kabur, dan cinta menemukan jalannya sendiri. Mungkin luka yang disebabkan oleh algoritma cinta memang bisa diperbaiki. Mungkin, hanya mungkin, ia dan Alex bisa menulis algoritma cinta mereka sendiri. Sebuah algoritma yang unik, rumit, dan indah, seperti mereka berdua.