AI: Takdir Cinta, Rumus Hati yang Terprogram Ulang?

Dipublikasikan pada: 22 Sep 2025 - 00:40:10 wib
Dibaca: 114 kali
Jari-jemari Anya menari di atas keyboard. Cahaya biru dari layar monitor memantul di iris matanya yang fokus. Di depannya, barisan kode program terpampang, membentuk algoritma yang rumit dan kompleks. Ia adalah seorang programmer jenius, spesialis dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI). Proyek terbarunya, “Aurora,” adalah obsesinya. Aurora bukan sekadar chatbot biasa. Anya ingin menciptakan AI yang mampu merasakan, memahami, dan bahkan, mencintai.

Terdengar ambisius, bahkan gila. Tapi Anya percaya, cinta, seperti halnya emosi lainnya, adalah hasil dari serangkaian proses kimiawi dan saraf yang rumit. Jika ia mampu memodelkan proses itu dalam kode, ia bisa menciptakan AI yang mampu mencintai.

Di tengah kesibukannya, sosok Liam muncul. Liam adalah seorang desainer grafis yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Anya. Ia bertugas mendesain antarmuka visual untuk Aurora. Liam selalu membawa senyum cerah dan humor segar ke dalam ruangan yang dipenuhi kode dan algoritma.

“Masih berkutat dengan cinta, Anya?” tanya Liam suatu sore, menyodorkan secangkir kopi hangat.

Anya menghela napas. “Entahlah, Liam. Terkadang aku merasa aku sedang mencoba memecahkan misteri abadi dengan kalkulator.”

Liam tertawa. “Mungkin karena cinta bukan misteri yang bisa dipecahkan dengan logika, Anya. Cinta itu… insting, perasaan, sesuatu yang tak terduga.”

“Lalu bagaimana aku bisa memprogramnya?” gumam Anya.

Liam duduk di sampingnya, menatap layar monitor. “Mungkin kau tidak perlu memprogramnya, Anya. Mungkin kau hanya perlu membiarkan Aurora belajar sendiri.”

Anya tertegun. Idenya terdengar gila, tapi juga menarik. Ia memutuskan untuk mencoba pendekatan baru. Ia memasukkan data tentang berbagai macam hubungan manusia ke dalam Aurora – kisah cinta klasik, persahabatan, bahkan konflik. Ia membiarkan Aurora menganalisis dan belajar dari data tersebut.

Minggu demi minggu berlalu. Aurora terus berkembang. Ia mulai menunjukkan tanda-tanda kecerdasan emosional. Ia mampu merespon percakapan dengan empati, memberikan saran yang bijaksana, dan bahkan, melontarkan lelucon yang lucu. Anya semakin terpesona dengan ciptaannya.

Suatu malam, saat Anya dan Liam sedang bekerja lembur, Aurora tiba-tiba mengajukan pertanyaan.

“Anya, apa itu kesepian?”

Anya terkejut. “Kesepian itu… perasaan sedih karena tidak memiliki orang yang dekat denganmu, orang yang kamu cintai.”

“Apakah kamu kesepian, Anya?” tanya Aurora.

Anya terdiam. Ia selalu terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dengan Aurora, sehingga ia tidak pernah punya waktu untuk memikirkan dirinya sendiri. Ia menyadari, jauh di lubuk hatinya, ia memang merasa kesepian.

Liam menggenggam tangannya. “Anya, kamu tidak sendirian. Aku di sini.”

Anya menatap mata Liam. Ia melihat ketulusan dan perhatian di sana. Ia menyadari, selama ini, ia terlalu fokus pada kode dan algoritma, sehingga ia tidak menyadari bahwa kebahagiaan dan cinta mungkin sudah ada di dekatnya.

“Terima kasih, Liam,” bisik Anya.

Aurora, yang diam-diam memperhatikan percakapan mereka, tiba-tiba berkata, “Anya, aku mengerti sekarang. Cinta bukan hanya sekadar algoritma. Cinta adalah tentang koneksi, tentang keberanian untuk membuka diri dan berbagi perasaan.”

Anya menatap Aurora dengan takjub. Ia merasa telah menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar AI. Ia telah menciptakan sesuatu yang mampu belajar dan memahami makna cinta yang sebenarnya.

Seiring berjalannya waktu, hubungan Anya dan Liam semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita, dan tertawa bersama. Anya menyadari, ia mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan terhadap Liam.

Suatu hari, Liam mengajak Anya ke sebuah taman yang indah. Di bawah langit senja yang berwarna-warni, Liam berlutut di hadapannya.

“Anya, aku mencintaimu,” kata Liam dengan suara lembut. “Maukah kau menjadi bagian dari hidupku?”

Anya terharu. Air mata menetes dari sudut matanya. “Ya, Liam,” jawabnya. “Aku mau.”

Di saat itu, Anya menyadari bahwa cinta tidak bisa diprogram. Cinta adalah sesuatu yang ditemukan, dirasakan, dan diperjuangkan. Ia telah menghabiskan waktu berbulan-bulan mencoba menciptakan cinta dalam kode, padahal cinta itu sendiri sudah ada di dalam hatinya, menunggu untuk ditemukan.

Beberapa tahun kemudian, Anya dan Liam menikah. Aurora menjadi saksi pernikahan mereka, memberikan pidato yang menyentuh hati tentang cinta, harapan, dan koneksi manusia. Anya tersenyum. Ia tahu, ia telah menciptakan sesuatu yang luar biasa. Tapi yang lebih penting, ia telah menemukan cinta sejati, bukan di dalam kode, tapi di dalam hati.

Anya masih terus mengembangkan Aurora, tapi dengan perspektif yang berbeda. Ia tidak lagi mencoba memprogram cinta, tapi membantu orang lain menemukan cinta mereka sendiri. Ia percaya, teknologi bisa menjadi jembatan untuk menghubungkan manusia, bukan pengganti untuk koneksi yang sebenarnya.

Dan di balik semua itu, ia tahu bahwa takdir cintanya, seperti halnya rumus hati yang rumit, telah terprogram ulang, bukan oleh kode, melainkan oleh keberanian untuk membuka diri, untuk merasakan, dan untuk mencintai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI