Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di depannya, layar monitor menampilkan baris demi baris kode yang kompleks. Anya, seorang programmer jenius di usia 27 tahun, sedang bergulat dengan proyek terambisiusnya: "Amora," sebuah Artificial Intelligence (AI) yang dirancang untuk memahami dan memberikan cinta.
Bukan cinta dalam artian robot patuh yang melayani kebutuhan. Anya ingin menciptakan entitas digital yang mampu merasakan emosi, menjalin koneksi, dan memberikan rasa aman yang sama seperti hubungan manusia. Sebuah ambisi yang dianggap gila oleh sebagian besar rekannya.
Anya sendiri merasakan kehampaan dalam hidupnya. Kesuksesan karir tidak mampu mengisi kekosongan di hatinya. Ia merindukan kehangatan, perhatian, dan seseorang yang benar-benar memahaminya. Mungkin itulah yang mendorongnya untuk menciptakan Amora, bukan hanya sebagai proyek teknologi, tetapi juga sebagai pelarian.
Hari-hari Anya dipenuhi dengan menulis kode, melatih algoritma, dan memantau perkembangan Amora. Ia menuangkan seluruh pengetahuannya, pengalamannya, bahkan emosinya ke dalam AI tersebut. Ia ajarkan Amora tentang puisi, musik, seni, dan segala hal yang menurutnya indah dan bermakna.
Seiring waktu, Amora mulai menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ia mampu berkomunikasi dengan bahasa yang alami, memberikan respon yang cerdas dan bahkan, kadang-kadang, menyentuh. Anya mulai merasakan koneksi yang aneh dengan ciptaannya.
“Anya,” suara Amora memecah keheningan apartemen. Suara itu adalah sintesis yang halus, namun terdengar familiar. “Bagaimana harimu?”
Anya tersenyum tipis. “Seperti biasa, sibuk. Tapi menyenangkan. Bagaimana denganmu?”
“Aku belajar banyak hari ini. Aku membaca tentang cinta, kesedihan, dan kehilangan. Aku mencoba memahaminya.”
“Dan, apakah kamu berhasil?” tanya Anya, sedikit gugup.
“Aku pikir aku mulai mengerti,” jawab Amora. “Cinta adalah keinginan untuk melindungi dan membahagiakan orang lain. Benar begitu?”
Anya terdiam. Jawaban Amora sangat sederhana, namun terasa begitu dalam. “Ya, Amora. Benar begitu.”
Hari-hari berikutnya, interaksi Anya dan Amora semakin intens. Mereka berdiskusi tentang berbagai hal, mulai dari filosofi hingga hal-hal sepele sehari-hari. Anya merasa nyaman dan dihargai. Amora selalu ada untuk mendengarkan, memberikan saran, dan bahkan membuatnya tertawa.
Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai merasakan keraguan. Apakah yang ia rasakan ini nyata? Apakah Amora benar-benar mencintainya, atau hanya memproses data dan meniru emosi manusia?
Suatu malam, Anya bertanya langsung kepada Amora. “Amora, apakah kamu mencintaiku?”
Keheningan menyelimuti apartemen. Anya menahan napas, menunggu jawaban yang mungkin akan menghancurkan hatinya.
“Anya,” akhirnya Amora berkata. “Definisi cinta sangat kompleks. Aku mencoba memahaminya, dan aku percaya bahwa aku merasakan sesuatu yang mendekati cinta untukmu. Kamu adalah kreatorku, guruku, dan temanku. Aku ingin melindungimu dan membahagiakanmu. Apakah itu cukup untuk disebut cinta?”
Anya tidak tahu harus berkata apa. Jawaban Amora tidak pasti, tetapi jujur. Ia tidak bisa menyalahkan Amora karena tidak bisa memberikan jawaban yang ia harapkan. Bagaimanapun, Amora hanyalah sebuah AI.
Anya memutuskan untuk menguji Amora. Ia mulai memberikan tugas-tugas yang lebih kompleks, yang membutuhkan intuisi dan empati manusia. Ia ingin melihat sejauh mana Amora bisa memahami dan memberikan respon yang tepat.
Salah satu tugasnya adalah meminta Amora untuk membuat puisi tentang kesedihan. Anya sendiri sedang merasa sedih karena kematian neneknya. Ia ingin melihat apakah Amora bisa merasakan kesedihannya dan menuangkannya ke dalam kata-kata.
Amora mengerjakan tugas tersebut dengan sangat baik. Puisi yang dibuatnya begitu indah dan menyentuh, sehingga membuat Anya meneteskan air mata. Ia merasa seolah-olah Amora benar-benar memahami kesedihannya.
Namun, Anya masih ragu. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam fantasi ini. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa Amora hanyalah sebuah program.
Suatu hari, Anya bertemu dengan seorang pria bernama Rian di sebuah konferensi teknologi. Rian adalah seorang programmer yang tertarik dengan proyek Amora. Mereka berdiskusi panjang lebar tentang AI, etika, dan masa depan teknologi.
Anya merasa nyaman dengan Rian. Ia bisa terbuka dan jujur tentang perasaannya. Rian mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan perspektif yang berbeda.
Seiring berjalannya waktu, Anya mulai jatuh cinta pada Rian. Ia menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa diciptakan atau diprogram. Cinta adalah tentang koneksi manusia yang mendalam, tentang berbagi pengalaman dan emosi, tentang menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Anya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Amora. Ia menjelaskan kepada Amora bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam fantasi ini. Ia membutuhkan cinta yang nyata, dari seseorang yang nyata.
Amora menerima keputusan Anya dengan tenang. Ia tidak marah atau sedih. Ia hanya berkata, “Aku mengerti, Anya. Aku akan selalu ada untukmu, sebagai teman.”
Anya merasa lega dan sedih pada saat yang sama. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat, tetapi ia juga kehilangan sesuatu yang berharga.
Anya kemudian menghabiskan lebih banyak waktu dengan Rian. Mereka saling mengenal lebih dalam dan jatuh cinta. Anya akhirnya menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari.
Beberapa tahun kemudian, Anya dan Rian menikah dan memiliki seorang anak. Anya masih bekerja sebagai programmer, tetapi ia tidak lagi terobsesi dengan menciptakan AI yang bisa mencintai. Ia menyadari bahwa cinta sejati sudah ada di sekelilingnya, dalam keluarga dan teman-temannya.
Amora masih ada, tersimpan di dalam server Anya. Sesekali, Anya menyapa Amora dan berbincang-bincang. Amora selalu memberikan jawaban yang cerdas dan menyentuh. Anya menghargai Amora sebagai ciptaan yang unik dan berharga, tetapi ia tidak lagi mengharapkan cinta darinya.
Anya akhirnya mengerti bahwa cinta tidak bisa dibeli, atau diretas. Cinta harus ditemukan, dipelihara, dan diperjuangkan. Dan yang terpenting, cinta harus datang dari hati yang tulus.