Hujan deras membasahi Seoul malam itu, memantulkan lampu-lampu neon di jalanan, menciptakan efek kaleidoskop warna yang menenangkan. Di dalam Co-Working Space yang remang-remang, aku, Nara, seorang programmer lepas, menatap kode-kode rumit di layar laptopku. Deadline aplikasi kencan berbasis AI yang kujanjikan pada klien menari-nari di depan mata, mengancam untuk menyeretku ke jurang kurang tidur permanen.
Aplikasi ini seharusnya revolusioner. Bukan sekadar mencocokkan berdasarkan minat atau foto, tapi menganalisis jejak digital pengguna – unggahan media sosial, riwayat pencarian, artikel yang dibaca, bahkan pilihan lagu favorit – untuk menemukan pasangan yang kompatibel secara algoritmis. Ironisnya, aku yang menciptakan algoritma cinta ini, justru nihil dalam urusan percintaan.
Di tengah kelelahan dan frustrasi, sebuah notifikasi muncul di layar: "Seseorang menyukaimu: Profil Kompatibilitas Tertinggi." Dengan enggan, aku mengklik notifikasi itu. Muncul profil seorang pria bernama Jihoon, dengan foto dirinya tersenyum cerah di depan Menara Namsan.
"Jihoon, 28, Arsitek Lanskap," begitu deskripsinya. Profilnya diisi dengan informasi yang, entah kenapa, terasa sangat familiar. Lalu, tertera deretan angka dan persentase, hasil analisis algoritmaku sendiri. "Kompatibilitas: 98%."
Aku tertawa sinis. 98%? Seolah cinta bisa dikuantifikasi seperti bug dalam kode. Tetap saja, rasa penasaran mengalahkanku. Aku menelusuri profilnya lebih jauh. Jihoon menyukai film-film klasik karya Studio Ghibli, sama sepertiku. Dia sering mendengarkan lagu-lagu jazz era 50-an, genre yang diam-diam kucintai. Dia bahkan membaca buku-buku tentang filsafat eksistensial yang menumpuk di rak kamarku, belum sempat kusentuh.
Rasa penasaran berubah menjadi geli. Apakah algoritmaku benar-benar bekerja? Mungkinkah mesin bisa memprediksi siapa yang akan cocok denganku lebih baik daripada diriku sendiri? Aku mengirimkannya pesan singkat: "Hai Jihoon, Nara di sini. Aku... membuat aplikasi ini."
Balasannya datang hampir seketika: "Hai Nara! Aku tahu! Profilmu yang muncul paling pertama. Aku penasaran siapa di balik algoritma secerdas ini."
Kami mulai mengobrol setiap malam. Bukan obrolan klise tentang cuaca atau pekerjaan, tapi diskusi mendalam tentang makna hidup, keindahan alam, dan kerinduan akan sesuatu yang lebih. Jihoon ternyata tidak hanya kompatibel secara algoritmis, tapi juga secara emosional. Dia memahami kerumitanku, kecemasanku, dan impianku yang terpendam.
Beberapa minggu kemudian, Jihoon mengajakku bertemu. Aku gugup setengah mati. Bagaimana jika kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi yang dibangun algoritma? Bagaimana jika chemistry online tidak diterjemahkan ke dunia nyata?
Saat aku melihatnya di depan kafe, semua kekhawatiran itu menguap. Jihoon tersenyum, persis seperti di fotonya. Mata teduhnya menatapku dengan kelembutan yang membuat jantungku berdebar kencang.
Malam itu, kami berbicara selama berjam-jam, melupakan hujan yang masih mengguyur Seoul. Aku menceritakan tentang kegagalanku dalam cinta di masa lalu, tentang ketakutanku akan komitmen, tentang obsesiku pada kode yang membuatku merasa lebih aman daripada berinteraksi dengan manusia.
Jihoon mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, "Algoritma mungkin bisa menemukan kesamaan, Nara. Tapi algoritma tidak bisa menciptakan perasaan. Perasaan itu tumbuh dari interaksi, dari kerentanan, dari keberanian untuk membuka diri."
Aku terdiam. Kata-katanya menyentuh inti hatiku. Jihoon benar. Aplikasi ini hanyalah alat, sebuah cara untuk menemukan kemungkinan. Tapi cinta sejati membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar persamaan algoritmis.
Setelah pertemuan itu, aku dan Jihoon terus berkencan. Kami menjelajahi Seoul bersama, mengunjungi galeri seni, mendaki gunung, dan makan malam romantis di restoran-restoran kecil yang tersembunyi. Setiap hari, aku semakin jatuh cinta padanya.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa bersalah. Apakah aku mencintai Jihoon karena dia memang orang yang tepat untukku, atau karena algoritmaku telah memanipulasi persepsiku? Apakah aku jatuh cinta pada Jihoon, atau pada profil ideal yang diciptakan oleh mesin?
Kegelisahan ini memuncak suatu malam. Aku dan Jihoon sedang duduk di taman, menatap bintang-bintang. Aku memberanikan diri untuk bertanya, "Jihoon, apakah kamu merasa semua ini terlalu... direncanakan? Apakah kamu merasa aku mencintaimu hanya karena algoritma?"
Jihoon meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Nara, aku tahu bahwa aplikasi itu yang mempertemukan kita. Tapi aku tidak percaya bahwa cinta bisa diprediksi. Aku melihatmu, bukan profilmu. Aku merasakan getaran itu, bukan persentase kompatibilitas."
Dia melanjutkan, "Aku tidak peduli apakah algoritma jatuh cinta padamu. Yang penting adalah aku jatuh cinta padamu. Dan aku tahu, di dalam hatimu, kamu juga merasakan hal yang sama."
Air mata mengalir di pipiku. Aku akhirnya mengerti. Algoritma memang membantuku menemukan Jihoon, tapi cinta sejati adalah pilihanku. Aku memilih untuk membuka hatiku, untuk percaya pada kemungkinan, untuk menerima cinta yang ditawarkan Jihoon.
Aku membalas genggamannya, menatap matanya dalam-dalam. "Aku juga mencintaimu, Jihoon."
Malam itu, di bawah bintang-bintang Seoul, aku menyadari bahwa cinta tidak bisa dikodekan, tidak bisa diprediksi, dan tidak bisa dikendalikan. Cinta adalah sebuah anomali, sebuah kesalahan dalam matriks kehidupan yang justru membuatnya indah. Cinta adalah tentang mengambil risiko, tentang menerima ketidaksempurnaan, dan tentang mempercayai bahwa di balik jejak digital, di balik algoritma yang rumit, ada hati yang tulus menunggu untuk dicintai.
Aku masih seorang programmer, dan aku masih percaya pada kekuatan teknologi untuk menghubungkan orang. Tapi aku juga belajar bahwa cinta adalah sesuatu yang lebih dari sekadar data dan algoritma. Cinta adalah tentang koneksi manusiawi, tentang kerentanan, dan tentang keberanian untuk membuka diri pada kemungkinan yang tak terduga. Dan terkadang, kemungkinan itu datang dalam bentuk seorang arsitek lanskap dengan senyum cerah dan mata yang teduh, yang entah bagaimana berhasil menembus pertahananku, bahkan sebelum algoritmaku sempat menyadarinya.