Cinta Digital: Algoritma Jatuh Cinta, Hati Jadi Sandera?

Dipublikasikan pada: 25 Aug 2025 - 02:20:12 wib
Dibaca: 143 kali
Deru pendingin laptop menjadi latar suara ketegangan di kamarku. Di layar terpampang baris-baris kode Python yang rumit, algoritma cinta yang sedang kuuji. Ironis memang, aku, seorang programmer yang lebih akrab dengan logika daripada emosi, mencoba merumuskan cinta dalam bahasa mesin.

Namaku Arya, 28 tahun, dan hidupku bisa dibilang monoton. Rutinitas kerja-rumah-kopi menemani hari-hariku. Sampai akhirnya, aku bertemu Maya di sebuah konferensi teknologi. Maya, dengan senyumnya yang hangat dan kecerdasannya yang memukau, membuat jantungku berdebar tak terkendali.

Namun, alih-alih mendekatinya secara langsung, aku malah terjebak dalam kebiasaanku. Aku memutuskan untuk menganalisisnya, mengumpulkan data tentang preferensi, minat, dan bahkan kebiasaan onlinenya. Semua data itu kuinput ke dalam algoritma yang sedang kukembangkan. Tujuannya? Menciptakan strategi pendekatan yang sempurna, sebuah simulasi kencan digital yang akan memprediksi respons Maya dan memastikan keberhasilanku.

Awalnya, semua berjalan lancar. Algoritma itu, yang kuberi nama "Cupid.AI," menghasilkan wawasan yang mencengangkan. Cupid.AI memberitahuku tentang buku favorit Maya, jenis musik yang disukainya, bahkan restoran yang sering dikunjunginya. Berbekal informasi ini, aku mulai menyusun percakapan di media sosial, memberikan komentar cerdas di postingannya, dan merekomendasikan film yang sesuai dengan seleranya.

Maya merespons dengan positif. Dia menyukai perhatianku, mengagumi pengetahuanku, dan bahkan mulai membalas pesanku dengan lebih antusias. Aku merasa seperti dalang yang sedang mengendalikan boneka. Setiap interaksi terasa begitu mulus, begitu terencana, begitu… tidak nyata.

Suatu malam, Cupid.AI menyarankan agar aku mengajak Maya berkencan di sebuah kafe yang memiliki suasana romantis dan menyajikan kopi kesukaannya. Aku mengikuti saran itu, dan Maya setuju.

Di kafe, Maya tampak cantik dengan gaun merahnya. Kami berbicara tentang banyak hal, mulai dari teknologi terbaru hingga buku-buku klasik. Aku berusaha untuk tetap mengikuti naskah yang ditulis oleh Cupid.AI, melontarkan lelucon yang diprediksi akan membuatnya tertawa, dan mengajukan pertanyaan yang akan memancing cerita menarik dari dirinya.

Namun, di tengah percakapan, aku menyadari sesuatu. Aku tidak benar-benar mendengarkan Maya. Aku hanya menunggu giliran untuk mengucapkan kalimat selanjutnya sesuai dengan arahan Cupid.AI. Aku tidak memperhatikannya sebagai seorang manusia, melainkan sebagai data yang perlu dianalisis dan dimanipulasi.

Tiba-tiba, Maya terdiam. Dia menatapku dengan ekspresi bingung dan sedikit kecewa. "Arya," katanya perlahan, "mengapa kamu selalu tahu apa yang ingin aku dengar? Rasanya seperti kamu sudah menyiapkan semua jawaban dan pertanyaan sebelum aku mengatakannya."

Jantungku berdebar kencang. Aku tertangkap basah. Aku mencoba mengelak, mengatakan bahwa aku hanya berusaha untuk membuatnya terkesan. Tapi Maya tidak percaya.

"Aku tidak ingin terkesan," katanya. "Aku hanya ingin mengenalmu yang sebenarnya. Bukan versi dirimu yang dipoles dan disempurnakan oleh algoritma."

Kata-kata itu menampar wajahku. Aku merasa malu, bersalah, dan bodoh. Aku telah merusak kesempatan untuk mengenal Maya karena obsesiku pada teknologi. Aku telah membiarkan Cupid.AI mengambil alih kendali atas hatiku dan hubungan potensialku.

Malam itu berakhir dengan canggung. Maya pulang lebih awal, dan aku kembali ke apartemenku dengan perasaan hancur. Aku mematikan laptopku, mematikan Cupid.AI, dan membenamkan wajahku di bantal.

Beberapa hari berlalu tanpa kontak. Aku merasa kehilangan dan menyesal. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki kesalahanku. Tapi bagaimana caranya?

Akhirnya, aku memutuskan untuk menghubungi Maya. Aku mengiriminya pesan singkat, meminta maaf atas perilakuku dan memintanya untuk bertemu lagi. Awalnya, dia ragu-ragu, tapi akhirnya dia setuju.

Kami bertemu di sebuah taman yang tenang. Aku tidak membawa laptop, tidak membawa catatan, tidak membawa apa pun kecuali diriku sendiri. Aku berjanji padanya bahwa aku akan jujur, terbuka, dan apa adanya.

Aku menceritakan semua tentang Cupid.AI, tentang obsesiku untuk menciptakan strategi pendekatan yang sempurna, dan tentang bagaimana aku telah kehilangan diriku sendiri dalam prosesnya. Maya mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.

Setelah aku selesai berbicara, Maya tersenyum tipis. "Aku mengapresiasi kejujuranmu," katanya. "Tapi aku masih butuh waktu untuk memproses semua ini."

Aku mengangguk mengerti. Aku tahu aku tidak bisa memaksanya untuk memaafkanku. Aku hanya bisa berharap bahwa dia akan memberiku kesempatan kedua.

Beberapa minggu kemudian, Maya mengirimiku pesan. Dia mengajakku untuk menonton film di bioskop. Aku menerimanya dengan senang hati.

Saat kami duduk berdampingan di bioskop, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku tidak lagi merasa tertekan untuk mengatakan hal yang benar atau melakukan hal yang sempurna. Aku hanya menikmati momen itu, menikmati kebersamaan dengan Maya.

Setelah film selesai, kami berjalan-jalan di taman. Kami berbicara tentang film yang baru saja kami tonton, tentang mimpi-mimpi kami, dan tentang ketakutan kami. Aku mendengarkannya dengan seksama, memperhatikannya dengan sepenuh hati, dan meresponsnya dengan jujur.

Di bawah sinar bulan, Maya meraih tanganku. "Aku rasa aku mulai mengerti dirimu," katanya. "Dan aku rasa aku mulai menyukaimu, Arya yang sebenarnya."

Aku tersenyum lebar. Akhirnya, aku merasa bebas. Aku telah melepaskan Cupid.AI dan membiarkan hatiku membimbingku. Aku telah belajar bahwa cinta sejati tidak bisa dirumuskan dengan algoritma, melainkan ditemukan dalam kejujuran, keterbukaan, dan koneksi yang tulus. Algoritma memang bisa menciptakan simulasi, tapi hati manusia punya jalannya sendiri. Dan kali ini, hatiku telah menemukan jalannya menuju cinta sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI