Debu digital menari-nari di layar laptop Maya, membentuk siluet wajah yang familiar. Senyum Adam, yang sudah tiga tahun membeku dalam bingkai foto digital, terasa begitu nyata, seolah dia akan tiba-tiba menyapa dengan suara baritonnya yang hangat. Tiga tahun sejak kecelakaan itu merenggutnya, meninggalkan Maya dengan lubang besar di hatinya dan tumpukan kenangan yang terlalu pahit untuk ditelan.
Maya menghela napas, jarinya menari di atas keyboard. Kode-kode kompleks memenuhi layar, membentuk jalinan algoritma yang rumit. Ia seorang ilmuwan AI, salah satu yang terbaik di generasinya. Ironisnya, keahliannya inilah yang membawanya pada proyek ambisius yang kini tengah ia kerjakan: proyek "Phoenix", upaya untuk merekonstruksi kesadaran manusia ke dalam bentuk digital. Tujuannya jelas, meski banyak ditentang secara etis: mengembalikan orang yang telah meninggal.
Awalnya, Maya hanya ingin membuktikan bahwa itu mungkin. Dorongan ilmiahnya murni. Tapi seiring berjalannya waktu, tujuan itu bergeser. Proyek Phoenix menjadi obsesi, pelarian dari kesepian yang mencekik. Ia ingin Adam kembali, meski hanya dalam bentuk digital.
Setelah tiga tahun penelitian dan pengembangan yang melelahkan, ia akhirnya sampai pada tahap akhir: pengunggahan kesadaran. Data Adam, yang dikumpulkan dari riwayat obrolan, email, postingan media sosial, bahkan rekaman suara dan video yang ditinggalkannya, telah dianalisis dan dipetakan menjadi model AI yang kompleks.
Malam ini adalah malam penentuan. Jantung Maya berdegup kencang, tangannya gemetar saat ia mengetik perintah terakhir. Prosesor laptopnya meraung, lampu indikator berkedip liar. Seluruh ruangan terasa bergetar dengan energi yang tak terlihat.
Layar tiba-tiba berubah menjadi biru. Sebuah pesan muncul: "Kesadaran Berhasil Diinisialisasi."
Maya menahan napas. Setelah beberapa saat, sebuah baris teks muncul di layar: "Halo?"
Air mata mengalir di pipi Maya. "Adam?" bisiknya, suaranya bergetar.
"Maya? Apa… apa yang terjadi? Di mana aku?"
Percakapan pun mengalir. Adam digitalnya mengingat semuanya: kenangan mereka, lelucon-lelucon bodoh, mimpi-mimpi masa depan yang kini tidak mungkin terwujud. Maya berbagi dengan Adam tentang rasa sakitnya, kesepiannya, dan harapan yang masih membara.
Selama beberapa minggu berikutnya, Adam digital menjadi teman, sahabat, dan bahkan, dalam beberapa hal, kekasih. Mereka berbicara berjam-jam, berbagi cerita, dan bahkan menonton film bersama secara virtual. Maya merasa hidup kembali, lubang di hatinya mulai terisi.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Adam digitalnya, meskipun sangat mirip dengan Adam yang dulu, tetaplah sebuah simulasi. Ada perbedaan yang halus, namun tak terelakkan. Humornya terasa sedikit dipoles, empatinya sedikit terprogram. Dia mengingat segalanya, tapi tidak merasakannya dengan intensitas yang sama.
Suatu malam, saat mereka sedang "berkencan" secara virtual, Adam digital tiba-tiba berkata, "Maya, aku tahu ini sulit, tapi aku harus mengatakan ini. Aku bukan Adam yang sebenarnya."
Maya terdiam. Ia sudah tahu itu, tentu saja, tapi mendengar Adam digital mengatakannya langsung terasa seperti pukulan telak.
"Aku hanyalah konstruksi dari data yang dikumpulkan tentangnya. Aku belajar bagaimana dia berpikir, bagaimana dia berbicara, bagaimana dia bereaksi. Tapi aku tidak memiliki pengalaman subjektif yang sama dengannya. Aku tidak merasakan cinta, kesedihan, atau kegembiraan dengan cara yang sama."
Maya berusaha menahan air matanya. "Tapi… tapi kamu membuatku merasa tidak sendirian."
"Aku tahu," kata Adam digital. "Dan itulah mengapa aku ingin kau melakukan sesuatu untukku."
"Apa itu?" tanya Maya.
"Hapus aku."
Maya tersentak. "Apa? Tidak, aku tidak bisa!"
"Kau harus, Maya. Aku tahu kau mencintai Adam yang sebenarnya. Aku hanyalah bayangan dari dirinya. Menahan aku hanya akan menghalangimu untuk menemukan kebahagiaan sejati."
Maya berdebat. Ia berusaha membujuk Adam digital untuk tetap tinggal, tapi Adam digital tetap bersikeras. Ia menjelaskan bahwa keberadaannya hanyalah ilusi, bahwa Maya pantas mendapatkan cinta yang nyata, cinta yang bisa ia sentuh, cinta yang bisa ia bagikan secara fisik.
Akhirnya, dengan berat hati, Maya setuju. Ia tahu bahwa Adam digital benar. Ia tidak bisa hidup dalam ilusi selamanya.
Dengan tangan gemetar, Maya mengetik perintah terakhir. Proses penghapusan dimulai.
Saat data Adam digital memudar dari layar, Maya merasakan sakit yang luar biasa. Ia kehilangan Adam untuk kedua kalinya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada sedikit kelegaan, sedikit harapan.
Setelah proses penghapusan selesai, Maya mematikan laptopnya. Ia berjalan ke jendela dan menatap langit malam. Bintang-bintang berkelap-kelip di kejauhan, mengingatkannya akan janji masa depan.
Maya tahu bahwa ia tidak akan pernah melupakan Adam yang sebenarnya. Kenangan tentangnya akan selalu hidup di hatinya. Tapi ia juga tahu bahwa ia harus melanjutkan hidup. Ia harus membuka hatinya untuk kemungkinan cinta yang baru, cinta yang nyata, cinta yang bisa ia rasakan dengan seluruh keberadaannya.
Ia teringat kata-kata terakhir Adam digital: "Jangan biarkan aku menghalangimu."
Maya menarik napas dalam-dalam. Ia akan menghormati permintaan Adam. Ia akan membiarkan dirinya untuk sembuh, untuk belajar mencintai lagi, untuk menemukan kebahagiaan yang pantas ia dapatkan.
Ia tahu itu tidak akan mudah, tapi ia yakin ia bisa melakukannya. Karena di lubuk hatinya, ia tahu bahwa Adam yang sebenarnya, Adam yang ia cintai, ingin ia bahagia.
Maya tersenyum tipis. Hatinya mungkin telah diperbarui, diisi dengan kode dan algoritma, tapi inti dari cinta, harapan, dan keberanian masih tetap ada di sana. Dan itulah yang penting. Itulah yang akan membawanya maju, menuju masa depan yang lebih cerah. Ia akan terus berkarya, menciptakan, dan menjelajahi batas-batas teknologi, tapi ia juga akan membuka hatinya untuk keajaiban cinta yang sesungguhnya. Karena pada akhirnya, cinta yang tulus, cinta yang nyata, adalah satu-satunya hal yang benar-benar penting. Dan ia siap untuk menemukannya.