Jari-jarinya menari di atas layar sentuh, membentuk serangkaian emoji hati dan kecupan virtual. Senyumnya merekah, secerah notifikasi yang baru saja muncul. Anya, nama pengguna di baliknya, selalu tahu cara membuat harinya lebih berwarna. Dulu, hidup Rio kelabu, dipenuhi algoritma dan baris kode yang tak berujung. Sekarang, ada warna pelangi yang menyusup di antara angka dan logika.
Mereka bertemu di "Cosmic Connect," sebuah aplikasi kencan yang didesain khusus untuk para penggila teknologi. Rio, seorang programmer introvert, tak pernah membayangkan dirinya akan jatuh cinta pada seseorang yang hanya dikenalnya lewat profil digital. Anya, seorang desainer grafis dengan selera humor yang tajam, berhasil menembus tembok pertahanannya dengan mudah.
Berbulan-bulan berlalu dalam obrolan larut malam, saling berbagi mimpi, ketakutan, dan segala hal di antaranya. Mereka bertukar foto, video pendek, dan daftar putar musik. Rio merasa seperti mengenal Anya lebih baik dari siapa pun, meskipun mereka belum pernah bertemu secara fisik. Ia tahu kebiasaannya mengigau saat tidur, makanan favoritnya adalah ramen pedas, dan ia benci aroma lavender. Ia tahu bagaimana cara membuatnya tertawa dengan meme kucing yang absurd dan bagaimana cara menghiburnya saat ia merasa sedih karena proyek desainnya ditolak.
Anya, di sisi lain, mengagumi kecerdasan dan kebaikan Rio. Ia terpesona dengan kemampuannya menciptakan dunia virtual dari nol, dengan dedikasinya yang tak kenal lelah pada pekerjaannya, dan dengan hatinya yang lembut di balik penampilannya yang kaku. Ia merasa diterima dan dipahami seutuhnya oleh Rio, sesuatu yang jarang ia rasakan dalam dunia nyata.
Suatu malam, di tengah percakapan yang panjang dan mendalam, Rio memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari ujung jarinya, tanpa sempat ia pikirkan. "Anya, aku... aku rasa aku jatuh cinta padamu."
Jantungnya berdebar kencang saat menunggu balasan. Layar ponselnya terasa panas di telapak tangannya. Beberapa saat kemudian, sebuah pesan muncul. "Aku juga, Rio. Aku juga jatuh cinta padamu."
Kebahagiaan membuncah dalam diri Rio. Ia merasa seperti melayang di atas awan, tersenyum lebar tanpa alasan yang jelas. Ia ingin berteriak, menari, dan membagikan kabar gembira ini kepada seluruh dunia. Namun, ada satu hal yang mengganjal di benaknya. Mereka masih terpisah oleh jarak dan layar.
"Kita harus bertemu," ketik Rio, tanpa ragu. "Kita harus mengubah pixel menjadi sentuhan nyata."
Anya setuju. Mereka mulai merencanakan pertemuan pertama mereka. Mereka memilih sebuah kedai kopi kecil di antara kota tempat tinggal mereka berdua. Rio menghabiskan berhari-hari untuk memikirkan apa yang akan ia kenakan, apa yang akan ia katakan, dan bagaimana cara membuatnya terkesan. Ia bahkan meminta saran dari teman-temannya, sesuatu yang jarang ia lakukan.
Hari yang dinanti tiba. Rio berdiri di depan kedai kopi, jantungnya berdegup kencang. Ia mengenakan kemeja kesukaannya, menyisir rambutnya dengan rapi, dan menyemprotkan parfum yang wanginya ia yakini akan disukai Anya. Ia memindai setiap wajah yang lewat, mencari sosok yang sesuai dengan deskripsi Anya: rambut cokelat sebahu, mata hijau, dan senyum yang menawan.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Itu Anya. "Rio, maafkan aku," suara Anya terdengar bergetar di ujung telepon. "Aku tidak bisa datang."
Rio tertegun. Dunia seolah berhenti berputar. "Anya, apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?"
"Aku... aku tidak bisa menjelaskannya sekarang," jawab Anya. "Yang jelas, aku tidak bisa bertemu denganmu. Maafkan aku."
Panggilan terputus. Rio mencoba menghubungi Anya lagi, tetapi panggilannya selalu dialihkan ke kotak suara. Ia merasa hancur, bingung, dan dikhianati. Apa yang salah? Apa yang ia lewatkan? Mengapa Anya tiba-tiba menghindarinya?
Berhari-hari berlalu tanpa kabar dari Anya. Rio mencoba menghubunginya lewat berbagai cara, tetapi semuanya sia-sia. Anya seolah menghilang ditelan bumi. Ia mulai meragukan semua yang pernah mereka bagikan, semua janji yang pernah mereka ucapkan, semua cinta yang pernah mereka rasakan. Apakah semuanya hanya ilusi, fantasi yang diciptakan di balik layar sentuh?
Akhirnya, setelah berminggu-minggu dalam kegelapan, sebuah pesan muncul di ponselnya. Itu dari Anya. "Rio, aku ingin kau tahu bahwa aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku harus jujur padamu. Aku tidak seperti yang kau bayangkan."
Rio menunggu dengan cemas kelanjutan pesan itu.
"Aku... aku menggunakan foto orang lain di profilku. Aku bukan desainer grafis. Aku... aku hanya seorang wanita biasa yang kesepian dan ingin merasakan cinta."
Dunia Rio runtuh seketika. Semua yang ia yakini tentang Anya adalah kebohongan. Sosok yang selama ini ia cintai ternyata tidak pernah ada. Ia merasa bodoh, naif, dan dikhianati. Pixelated kiss, ciuman virtual yang selama ini ia rasakan begitu nyata, ternyata hanyalah ilusi optik.
"Maafkan aku, Rio," lanjut Anya. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku harap kau bisa memaafkanku suatu hari nanti."
Rio tidak membalas pesan itu. Ia mematikan ponselnya dan duduk terdiam dalam kegelapan. Ia merasa hampa, kosong, dan sendirian. Cinta di layar sentuh yang ia kira begitu nyata ternyata hanyalah bayangan yang hancur berkeping-keping. Ia kembali pada algoritma dan baris kode, mencari pelipur lara dalam logika yang pasti. Mungkin, pikirnya, cinta sejati tidak bisa ditemukan di balik layar sentuh yang hampa, tetapi dalam sentuhan tangan yang nyata dan tatapan mata yang jujur. Mungkin, ia harus belajar untuk mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mencari cinta dalam dunia maya.