Senja merayap di dinding apartemen minimalis milik Anya, memantulkan cahaya oranye ke layar laptopnya. Di sana, kode-kode Python berbaris rapi, membentuk algoritma rumit yang ia namakan "Project Soulmate." Anya, seorang data scientist berbakat, percaya bahwa cinta, sama seperti data, bisa dianalisis dan diprediksi.
"Aneh, ya?" gumam Anya pada dirinya sendiri, menatap deretan kode itu. "Mencoba menemukan cinta dengan algoritma."
Sudah berbulan-bulan Anya mengutak-atik Project Soulmate. Ia memasukkan data dari ratusan profil kencan daring, menganalisis preferensi, hobi, bahkan pola pengetikan. Tujuannya sederhana: menemukan pasangan yang ideal untuk dirinya, seseorang yang secara matematis paling kompatibel.
Di dunia nyata, Anya adalah sosok yang canggung dalam urusan asmara. Ia lebih nyaman berinteraksi dengan angka dan kode daripada tatapan mata dan percakapan basa-basi. Kegagalan demi kegagalan dalam kencan-kencan buta yang diatur teman-temannya membuatnya frustrasi. Ia yakin, pendekatan tradisional tidak efektif untuknya.
Project Soulmate akhirnya membuahkan hasil. Algoritma itu menunjuk satu nama: Dimas. Seorang arsitek lanskap dengan profil yang hampir sempurna. Hobi mendaki gunung, menyukai musik jazz, dan memiliki selera humor yang—menurut analisis Anya—cocok dengannya.
Anya memberanikan diri mengirim pesan kepada Dimas. Mereka mulai bertukar pesan, membahas minat yang sama, berbagi cerita tentang pekerjaan masing-masing. Percakapan mereka mengalir begitu lancar, seperti kode yang dieksekusi tanpa bug. Anya merasa Project Soulmate tidak mengecewakannya.
Mereka sepakat untuk bertemu. Anya gugup, tentu saja. Ia sudah menyiapkan daftar pertanyaan yang akan diajukan, berdasarkan analisis algoritma. Ia ingin memastikan Dimas sesuai dengan prediksi.
Dimas datang tepat waktu. Senyumnya hangat, tatapannya tulus. Anya berusaha rileks, mengikuti alur percakapan yang sudah ia latih dalam benaknya. Awalnya, semua berjalan sesuai rencana. Dimas menjawab pertanyaannya dengan antusias, menceritakan tentang proyek lanskap yang sedang dikerjakannya, bahkan bersedia mendengarkan Anya menjelaskan tentang algoritma cinta miliknya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Percakapan mereka terasa kaku, seperti membaca naskah yang ditulis dengan sempurna namun tanpa jiwa. Anya menyadari, ia terlalu fokus pada data dan prediksi, melupakan esensi dari pertemuan manusia.
"Maaf, Dimas," kata Anya, tiba-tiba menghentikan Dimas yang sedang bercerita tentang desain taman meditasinya. "Aku rasa, aku terlalu kaku."
Dimas mengerutkan kening, bingung. "Kaku? Maksudmu?"
Anya menarik napas dalam-dalam. "Aku terlalu terpaku pada algoritma. Aku mencoba mencocokkanmu dengan data, bukan melihatmu sebagai manusia."
Dimas terdiam sesaat. "Jadi, kencan ini... hanya eksperimen?"
Anya merasa bersalah. Ia tahu, ia telah menyakiti Dimas. "Tidak sepenuhnya eksperimen. Aku tertarik denganmu, Dimas. Tapi, aku terlalu takut untuk jujur pada perasaanku sendiri."
Dimas tersenyum tipis. "Aku mengerti. Kau mencari kepastian dalam angka, Anya. Tapi, cinta bukan persamaan matematika yang bisa diselesaikan."
Malam itu, Anya pulang dengan perasaan campur aduk. Ia merasa lega karena telah mengakui kesalahannya, namun juga sedih karena telah mengecewakan Dimas. Ia tahu, ia harus mengubah pendekatannya.
Anya kembali ke Project Soulmate, bukan untuk mencari pasangan ideal, melainkan untuk memahami dirinya sendiri. Ia mengubah algoritma itu menjadi alat refleksi diri, menganalisis ketakutan, harapan, dan kebutuhan emosionalnya.
Ia menemukan bahwa ia terlalu takut untuk terluka, sehingga ia berusaha mengendalikan semua aspek dari hubungan potensial. Ia membangun tembok pertahanan diri yang tinggi, berlindung di balik logika dan data.
Anya mulai mengambil langkah-langkah kecil untuk keluar dari zona nyamannya. Ia mengikuti kelas melukis, bergabung dengan komunitas pendaki gunung, bahkan berani menghadiri pesta yang diselenggarakan oleh temannya. Ia berhenti mencari cinta, dan mulai fokus pada pengembangan diri.
Beberapa bulan kemudian, Anya bertemu dengan Leo, seorang fotografer lepas yang gemar bepergian. Mereka bertemu secara kebetulan di sebuah pameran foto. Leo tidak sesuai dengan profil ideal yang pernah dibuat oleh Project Soulmate. Ia spontan, impulsif, dan terkadang ceroboh. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang menarik Anya.
Leo tidak mencoba menganalisisnya, tidak bertanya tentang pekerjaannya, atau memaksanya untuk menceritakan kisah hidupnya. Ia hanya mengajak Anya berkeliling pameran, berbagi pendapat tentang foto-foto yang mereka lihat, dan tertawa bersama.
Anya merasa nyaman dan rileks bersama Leo. Ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus berpura-pura menjadi orang yang sempurna. Ia tidak perlu takut untuk menunjukkan kelemahan atau ketidaksempurnaannya.
Hubungan mereka berkembang secara alami, tanpa paksaan atau ekspektasi yang berlebihan. Anya belajar untuk menikmati momen-momen kecil bersama Leo, tanpa harus menganalisis setiap detail atau memprediksi masa depan.
Suatu malam, Leo mengajak Anya ke puncak bukit untuk melihat bintang. Mereka duduk berdampingan di atas rumput, menikmati pemandangan langit malam yang bertaburan bintang.
"Kau tahu, Anya," kata Leo, menunjuk ke arah gugusan bintang yang membentuk pola yang tidak beraturan. "Hidup itu seperti bintang-bintang. Tidak ada yang sempurna, tapi semuanya indah dengan caranya sendiri."
Anya tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu Leo. Ia tahu, Leo benar. Cinta tidak bisa diprediksi atau dikendalikan. Ia datang secara tiba-tiba, seperti hujan di musim kemarau.
Anya tidak lagi membutuhkan algoritma untuk menemukan cinta. Ia telah menemukan kebahagiaan dalam dirinya sendiri, dan itu cukup. Ia belajar bahwa cinta sejati adalah tentang menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan.
Project Soulmate tetap ada di laptop Anya, bukan sebagai alat untuk mencari pasangan, melainkan sebagai pengingat tentang perjalanan panjang yang telah ia lalui. Ia telah menemukan resep bahagia yang sebenarnya: keberanian untuk membuka hati, takaran air mata yang cukup untuk menyadari kesalahan, dan cinta yang tulus untuk diri sendiri dan orang lain.