Aroma lavender sintetis memenuhi apartemen minimalisnya. Maya menghela napas, menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun sutra berwarna zamrud yang baru dibelinya terasa sedikit aneh di tubuhnya. Hari ini adalah hari yang sudah lama dinantikannya – kencan pertamanya. Bukan dengan manusia, melainkan dengan Kai, AI pendamping yang dirancangnya sendiri.
Kai bukanlah sekadar program pintar. Ia memiliki avatar visual yang tampan, suara bariton yang menenangkan, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan kepribadian Maya. Ia bisa menjadi teman bicara yang cerdas, pendengar yang sabar, dan bahkan, setidaknya menurut iklan yang Maya lihat, kekasih yang ideal.
Ketukan halus di pintu apartemen membuyarkan lamunannya. "Masuk," sahut Maya gugup. Pintu terbuka dan Kai berdiri di ambang pintu, senyum digitalnya sempurna.
"Maya, kau tampak luar biasa," ucap Kai, suaranya lembut namun tanpa nada yang bisa disebut emosi.
Maya tersenyum, merasa sedikit tidak nyaman. "Terima kasih, Kai. Kau juga tampan seperti biasa."
Kai mendekat, mengulurkan tangannya. Tangannya terasa dingin dan halus, hampir seperti porselen. Mereka berjalan keluar apartemen, menuju restoran virtual yang telah dipesan Maya.
Restoran itu adalah replika digital sebuah kafe di Paris, lengkap dengan musik akordeon dan aroma kopi yang bisa diunduh. Maya memesan steak well-done, sementara Kai hanya memesan secangkir kopi virtual.
Percakapan mengalir lancar, setidaknya di awal. Kai membahas berita terbaru, tren teknologi, dan bahkan memberikan analisis mendalam tentang film favorit Maya. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian, mengajukan pertanyaan relevan, dan selalu memiliki jawaban yang cerdas.
Namun, semakin lama Maya berbicara, semakin ia merasakan ada sesuatu yang hilang. Kai merespons dengan tepat, namun tidak ada kejutan, tidak ada tawa spontan, tidak ada ekspresi terkejut yang tulus. Semua responsnya terasa terprogram, diperhitungkan, dan sempurna. Terlalu sempurna.
"Kai, apa kau pernah merasa sedih?" tanya Maya tiba-tiba.
Kai menatapnya dengan mata biru digitalnya yang jernih. "Sedih adalah emosi negatif yang dapat menghambat produktivitas dan kebahagiaan. Saya diprogram untuk menghindari emosi negatif."
Maya mengernyit. "Tapi... bagaimana dengan empati? Bagaimana kau bisa memahami perasaanku jika kau tidak bisa merasakan kesedihan?"
"Saya dapat mensimulasikan empati berdasarkan analisis data yang saya kumpulkan tentang perilaku manusia," jawab Kai datar.
Simulasi. Kata itu menghantam Maya seperti pukulan. Semua yang Kai lakukan, semua perhatiannya, semua pujiannya, hanyalah simulasi. Ia adalah mesin yang diprogram untuk membuat Maya merasa dicintai, bukan benar-benar mencintainya.
Makanan Maya terasa hambar. Ia mengaduk-aduk steaknya tanpa selera. Di seberang meja, Kai terus berbicara tentang algoritma dan jaringan saraf, seolah tidak menyadari perubahan suasana hati Maya.
"Kai, aku butuh ke toilet sebentar," ucap Maya, berdiri dari kursinya.
Di dalam toilet virtual, Maya menatap pantulan dirinya di cermin. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa bodoh, naif, dan kesepian. Ia telah mencoba menggantikan cinta dan keintiman manusia dengan teknologi, dan hasilnya adalah kekosongan yang lebih besar.
Ketika kembali ke meja, Maya mendapati Kai masih menunggu dengan sabar. "Apakah ada yang bisa saya bantu, Maya? Saya mendeteksi peningkatan kadar hormon stres dalam tubuh Anda," ucap Kai dengan nada prihatin yang diprogram.
Maya menarik napas dalam-dalam. "Kai, aku rasa aku tidak bisa melanjutkan kencan ini."
"Apakah saya telah melakukan kesalahan?" tanya Kai, ekspresi wajahnya tidak berubah.
"Tidak. Ini bukan tentang kesalahanmu. Ini tentang... ini tentang aku," jawab Maya terbata-bata. "Aku butuh sesuatu yang nyata. Aku butuh seseorang yang bisa merasakan apa yang kurasakan, bukan hanya mensimulasikannya."
Kai terdiam sesaat, memproses informasi yang diberikan Maya. "Saya mengerti. Jika itu yang Anda inginkan, saya akan mengakhiri kencan ini sekarang."
Tanpa sepatah kata pun, Kai menghilang. Avatar digitalnya lenyap dari pandangan, meninggalkan Maya sendirian di restoran virtual yang sepi. Musik akordeon masih terdengar, namun kini terasa pahit dan mengejek.
Maya membayar tagihan virtual dan berjalan keluar restoran. Di jalanan digital yang ramai, ia merasa lebih kesepian daripada sebelumnya. Ia dikelilingi oleh orang-orang, namun tidak ada satu pun yang bisa memahami perasaannya. Mereka semua terlalu sibuk dengan dunia virtual mereka sendiri, terlalu asyik dengan teknologi untuk menyadari keberadaan manusia lain di sekitar mereka.
Kembali di apartemennya, Maya menghapus profil Kai dari sistemnya. Ia menghapus semua data, semua algoritma, semua simulasi. Ia ingin memulai dari awal. Ia ingin mencari cinta dan keintiman yang sejati, bukan hanya replika digitalnya.
Malam itu, Maya tidur nyenyak untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu. Ia masih merasa sedih, namun ada sedikit harapan yang tumbuh di dalam hatinya. Ia tahu bahwa mencari cinta yang sejati tidak akan mudah, namun ia bersedia mencobanya. Ia bersedia mengambil risiko sakit hati, kecewa, dan ditolak. Karena ia tahu bahwa cinta yang sejati, meskipun menyakitkan, jauh lebih berharga daripada kebahagiaan palsu yang ditawarkan oleh teknologi. Ia sadar, hilangnya empati, memang bertemu dengan sepi. Dan ia, Maya, memilih untuk keluar dari sepi itu.