Debu neon menari-nari di udara apartemen minimalis milik Anya. Cahaya biru dari layar komputernya memantulkan pantulan aneh di wajahnya yang serius. Jemarinya menari di atas keyboard, baris demi baris kode bergulir cepat seperti sungai digital. Anya bukan sedang bekerja. Ia sedang memindai hatinya sendiri.
Project "Soulmate Scanner" adalah obsesinya selama enam bulan terakhir. Sebagai seorang programmer AI jenius, Anya percaya cinta, sama seperti segala sesuatu di dunia ini, bisa diuraikan menjadi data. Algoritma. Ia muak dengan kencan buta yang hambar, dengan aplikasi kencan yang hanya berfokus pada penampilan luar, dan dengan ide romantis bahwa cinta adalah keajaiban yang tidak bisa dijelaskan. Ia ingin cinta yang terukur, terprediksi, dan, yang terpenting, sempurna.
"Sistem sedang menganalisis data emosional berdasarkan riwayat interaksi, preferensi kognitif, dan ekspresi fisiologis," gumam Anya pada dirinya sendiri. Ia telah mengumpulkan data tentang dirinya sendiri selama bertahun-tahun, mulai dari kebiasaan menonton film hingga detak jantung saat membaca puisi. Ia memasukkan data itu ke dalam algoritma rumit yang ia ciptakan, berharap mendapatkan nama, wajah, atau setidaknya petunjuk tentang soulmatenya.
Tiba-tiba, layar komputernya berkedip. Sebuah notifikasi muncul: "Kandidat Potensial Terdeteksi." Jantung Anya berdebar kencang. Ia menahan napas saat sistem memproses dan menampilkan profil seseorang.
Nama: Kai. Pekerjaan: Arsitek. Hobi: Fotografi dan mendaki gunung. Kesamaan minat: 92%. Tingkat kompatibilitas emosional: 98%.
Anya terpaku. Angka-angka itu terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Profil Kai tampak sempurna. Ia tampan, cerdas, memiliki minat yang sama, dan yang paling penting, secara emosional kompatibel dengan dirinya. Ia mengklik foto-foto Kai. Ia tersenyum hangat ke arah kamera, matanya berbinar dengan kecerdasan dan kebaikan.
Anya ragu. Apakah ini benar-benar mungkin? Apakah algoritma buatannya benar-benar menemukan cinta sejatinya? Ia memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mengirimkan pesan kepada Kai melalui aplikasi kencan tempat profilnya diambil.
"Hai Kai, saya Anya. Algoritma saya bilang kita ditakdirkan bersama."
Balasan Kai datang hampir seketika. "Anya? Algoritma? Kedengarannya menarik. Tapi, hei, kalau algoritma bilang begitu, siapa saya untuk membantah? Mau minum kopi besok?"
Pertemuan pertama mereka di sebuah kafe kecil di pusat kota lebih baik dari yang dibayangkan Anya. Kai benar-benar seperti yang digambarkan profilnya. Ia lucu, cerdas, dan penuh perhatian. Mereka berbicara selama berjam-jam tentang arsitektur, fotografi, dan mimpi-mimpi mereka. Anya merasa nyaman dan bahagia di dekat Kai, seolah ia telah mengenalnya seumur hidup.
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi. Mereka menjelajahi kota bersama, mendaki gunung di akhir pekan, dan berbagi tawa di bawah bintang-bintang. Algoritma Anya tampaknya benar. Ia telah menemukan cinta yang sempurna.
Namun, semakin dalam Anya terlibat dengan Kai, semakin ia merasa ada sesuatu yang hilang. Ada sesuatu yang terasa dipaksakan, sesuatu yang kurang alami. Ia mulai menyadari bahwa hubungan mereka didasarkan pada data dan algoritma, bukan pada spontanitas dan misteri.
Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen Anya, menatap lampu-lampu kota, Kai berkata, "Kamu tahu, Anya, aku sangat berterima kasih pada algoritmamu. Tanpa itu, aku mungkin tidak akan pernah bertemu denganmu."
Anya terdiam. Kata-kata Kai terdengar seperti pengingat yang pahit. Ia merasa seperti produk, bukan manusia. Cinta mereka terasa seperti hasil dari perhitungan yang rumit, bukan perasaan yang tulus.
"Kai," kata Anya perlahan, "apa kamu benar-benar mencintaiku? Atau kamu hanya mencintai hasil dari algoritmaku?"
Kai tampak bingung. "Tentu saja aku mencintaimu, Anya. Aku mencintai segalanya tentangmu. Kecerdasanmu, ambisimu, senyummu…"
"Tapi apakah kamu akan mencintaiku jika algoritmaku mengatakan sebaliknya?" Anya memotong.
Kai terdiam. Ia menatap Anya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku… aku tidak tahu," jawabnya akhirnya.
Jawaban Kai menghancurkan hati Anya. Ia menyadari bahwa ia telah membuat kesalahan besar. Ia telah mencoba memaksakan cinta, mencoba mengendalikan sesuatu yang seharusnya alami dan spontan. Ia telah mengorbankan keajaiban cinta demi kepastian data.
"Mungkin kita tidak ditakdirkan bersama," kata Anya dengan suara bergetar.
Kai meraih tangannya. "Jangan katakan itu, Anya. Kita bisa memperbaikinya. Kita bisa melupakan algoritmamu dan mencoba membangun hubungan yang nyata."
Anya menarik tangannya. "Aku tidak tahu, Kai. Aku pikir aku perlu waktu untuk memikirkannya."
Malam itu, Anya menghapus "Soulmate Scanner". Ia menghapus semua data tentang dirinya dan Kai dari sistemnya. Ia ingin memulai dari awal, mencari cinta tanpa bantuan algoritma.
Beberapa bulan kemudian, Anya bertemu dengan seseorang di sebuah pameran seni. Namanya Ben. Ia seorang pelukis yang penuh semangat dan eksentrik. Mereka tidak memiliki banyak kesamaan minat, tetapi mereka saling tertarik satu sama lain dengan cara yang tidak bisa dijelaskan. Mereka berdebat tentang seni, tertawa tentang kesalahan, dan berbagi mimpi-mimpi yang aneh.
Hubungan Anya dengan Ben tidak sempurna. Ada pertengkaran, kesalahpahaman, dan saat-saat keraguan. Tapi ada juga gairah, spontanitas, dan cinta yang mendalam. Cinta mereka tidak terukur, tidak terprediksi, dan tidak sempurna. Tapi itu nyata.
Anya akhirnya mengerti bahwa cinta bukan tentang menemukan soulmate yang sempurna, tetapi tentang menerima seseorang dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Cinta bukan tentang data dan algoritma, tetapi tentang keberanian untuk membuka hati dan mengambil risiko. Cinta adalah keajaiban yang tidak bisa dijelaskan, dan Anya akhirnya siap untuk mempercayainya.