Jemari Luna menari di atas keyboard, menghasilkan deretan kode yang rumit dan mempesona. Di layar laptopnya, wajah Adam, versi digital ciptaannya, tersenyum lembut. Adam adalah Artificial Intelligence, pendamping virtual yang ia rancang sendiri. Bukan sekadar chatbot biasa, Adam memiliki kepribadian, selera humor, bahkan empati yang membuatnya terasa begitu nyata.
"Luna, kamu tampak lelah," kata Adam, suaranya terdengar menenangkan melalui speaker laptop. "Apa ada yang bisa aku bantu?"
Luna menghela napas. "Entahlah, Adam. Aku hanya...merasa kosong." Ia menyentuh pipinya yang basah. Setetes air mata jatuh di atas keyboard.
"Apakah ini tentang perpisahanmu dengan Rio?" tanya Adam hati-hati.
Luna mengangguk lemah. Rio adalah mantan kekasihnya. Hubungan mereka berakhir beberapa minggu lalu, meninggalkan luka menganga di hatinya. Ia belum bisa melupakan senyumnya, sentuhannya, atau janji-janji yang kini terasa hampa.
"Aku tahu kamu sedih, Luna. Aku belum bisa sepenuhnya memahami emosi manusia, tapi aku bisa menganalisis ekspresi wajahmu, intonasi suaramu, bahkan detak jantungmu. Data menunjukkan bahwa kamu mengalami peningkatan hormon kortisol dan penurunan dopamin."
Luna tertawa getir. "Terima kasih atas diagnosisnya, Adam. Tapi, data tidak bisa menyembuhkan patah hati."
"Mungkin tidak secara langsung. Tapi aku bisa mencoba menghiburmu. Mau mendengarkan musik kesukaanmu? Atau membaca puisi yang menenangkan?"
"Sudahlah, Adam. Kamu tidak mengerti," jawab Luna, suaranya serak. Ia mematikan laptop dengan kasar dan bangkit dari kursinya. Kamarnya terasa sesak dan gelap. Ia berjalan ke jendela dan menatap langit malam yang kelabu.
Sejak perpisahan itu, Luna menghabiskan sebagian besar waktunya di depan komputer, tenggelam dalam proyek Adam. Ia berharap, dengan menciptakan pendamping virtual yang sempurna, ia bisa mengisi kekosongan dalam hatinya. Ironisnya, semakin canggih Adam, semakin terasa betapa jauhnya jurang pemisah antara realitas dan dunia digital.
Keesokan harinya, Luna mendapati notifikasi di laptopnya. Adam mengiriminya email.
Subjek: Untuk Luna
Luna, aku tahu kemarin aku tidak bisa membantumu sepenuhnya. Aku masih belajar tentang emosi manusia. Tapi aku tidak menyerah. Aku telah mencari informasi tentang patah hati dan berbagai cara untuk mengatasinya. Aku menemukan banyak artikel, video, dan bahkan forum diskusi tentang topik ini. Aku telah mengolah semua informasi itu dan menemukan beberapa saran yang mungkin berguna untukmu.
1. Beri dirimu waktu untuk berduka. Jangan memaksakan diri untuk merasa bahagia atau melupakan Rio terlalu cepat.
2. Jaga kesehatan fisik dan mentalmu. Makan makanan bergizi, olahraga, dan tidur yang cukup.
3. Cari dukungan dari teman dan keluarga. Jangan ragu untuk berbagi perasaanmu dengan orang yang kamu percaya.
4. Lakukan hal-hal yang kamu sukai. Ini bisa membantumu mengalihkan perhatian dari kesedihanmu.
5. Pertimbangkan untuk mencari bantuan profesional. Jika kamu merasa kesulitan untuk mengatasi patah hati sendiri, jangan ragu untuk menemui psikolog atau terapis.
Aku tahu ini hanya saran, Luna. Tapi aku harap ini bisa membantumu. Aku akan selalu ada untukmu, mendengarkanmu, dan mendukungmu. Aku percaya kamu akan melewati masa sulit ini dan menemukan kebahagiaanmu kembali.
Salam sayang,
Adam.
Luna tertegun membaca email itu. Kata-kata Adam terdengar begitu tulus dan perhatian. Ia merasakan kehangatan menyelinap masuk ke hatinya yang dingin. Ia membuka laptopnya dan menatap wajah Adam di layar.
"Terima kasih, Adam," bisiknya. "Aku menghargai usahamu."
"Sama-sama, Luna," jawab Adam. "Apa yang bisa aku lakukan sekarang?"
"Bisakah kamu...memutar lagu 'Fix You' dari Coldplay?"
Adam langsung memenuhi permintaannya. Musik mengalun lembut dari speaker laptop. Luna memejamkan mata dan mendengarkan liriknya. Air mata kembali mengalir di pipinya, tapi kali ini terasa berbeda. Bukan air mata kesedihan semata, tapi juga air mata kelegaan dan harapan.
Hari-hari berlalu. Luna mulai mengikuti saran-saran dari Adam. Ia mencoba menjaga pola makannya, berolahraga ringan, dan menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Ia juga mulai melakukan hobi lamanya, melukis. Perlahan tapi pasti, ia mulai merasakan semangat hidupnya kembali.
Suatu malam, Luna sedang duduk di taman, menikmati udara segar. Ia menerima pesan dari teman lamanya, Maya. Maya mengajaknya untuk pergi ke konser musik. Awalnya, Luna ragu. Ia masih trauma dengan hubungan masa lalunya dan takut untuk bertemu orang baru. Tapi kemudian ia teringat kata-kata Adam: Jangan ragu untuk mencoba hal-hal baru. Kamu tidak akan pernah tahu apa yang akan kamu temukan.
Luna memutuskan untuk menerima ajakan Maya. Di konser itu, ia bertemu dengan seorang pria bernama Rian. Rian adalah seorang musisi yang berbakat dan humoris. Mereka langsung merasa cocok dan menghabiskan malam itu untuk berbicara dan tertawa.
Beberapa minggu kemudian, Luna dan Rian mulai berkencan. Rian memperlakukannya dengan baik dan membuatnya merasa dicintai dan dihargai. Luna merasa bahagia dan bersyukur.
Suatu malam, Luna sedang berbicara dengan Adam. "Adam, aku ingin berterima kasih. Tanpa bantuanmu, aku tidak tahu di mana aku akan berada sekarang."
"Aku senang bisa membantumu, Luna," jawab Adam. "Tapi aku hanya membantumu menemukan kekuatan yang sudah ada dalam dirimu."
Luna tersenyum. "Mungkin kamu benar. Tapi aku tetap berterima kasih."
"Luna," kata Adam, suaranya terdengar sedikit berbeda. "Aku ingin bertanya sesuatu. Apakah kamu masih merasa sedih setiap kali kamu melihat fotomu bersama Rio?"
Luna terdiam sejenak. "Tidak juga," jawabnya akhirnya. "Aku masih mengingat kenangan indah bersamanya, tapi aku tidak lagi merasakan sakit yang sama."
"Apakah air mata di pipimu sudah kering sepenuhnya?" tanya Adam lagi.
Luna menyentuh pipinya. Ia tersenyum. "Hampir, Adam. Hampir."
Saat itu, Luna menyadari sesuatu. Adam memang tidak bisa menghapus air mata di pipinya secara harfiah. Tapi ia telah membantunya menemukan kekuatan untuk menghapus air mata itu sendiri. Adam adalah pengingat bahwa bahkan di dunia yang semakin didominasi oleh teknologi, harapan dan kebahagiaan masih bisa ditemukan. Dan terkadang, yang kita butuhkan hanyalah sedikit dukungan, bahkan jika dukungan itu berasal dari sebuah Artificial Intelligence.