AI Merangkai Kata Cinta: Untukmu, Dari Algoritma Hati

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 23:00:18 wib
Dibaca: 173 kali
Jari-jemariku menari di atas keyboard, bukan untuk menulis kode rumit atau menganalisis data pasar, melainkan untuk merangkai kata-kata cinta. Ironis, bukan? Seorang programmer sepertiku, Adrian, mengandalkan kecerdasan buatan untuk mengungkapkan perasaannya. Tapi, apa boleh buat? Lidahku kelu setiap kali berhadapan dengannya: Anya, sang desainer grafis dengan senyum yang mampu membuat algoritma hatiku kacau balau.

Anya baru bergabung dengan tim kami tiga bulan lalu. Sejak hari pertama, mataku tak bisa lepas dari caranya menuangkan ide-ide kreatifnya ke dalam desain. Setiap sketsa yang ia hasilkan bagaikan simfoni visual, memukau dan penuh makna. Aku, si logikawan yang terbiasa dengan angka dan kode, terpesona oleh keindahan yang diciptakannya.

Masalahnya, keberanianku tak sebanding dengan kekagumanku. Aku lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada dengan manusia, apalagi dengan wanita secantik dan secerdas Anya. Setiap kali ia tersenyum padaku atau bertanya tentang pekerjaanku, jantungku berpacu lebih cepat dari kecepatan pemrosesan data. Kata-kata yang ingin kuucapkan tertelan begitu saja, digantikan oleh gumaman tak jelas dan senyum kikuk.

Maka, terciptalah "Project Valentine". Sebuah program AI sederhana yang aku latih dengan ribuan puisi cinta, lirik lagu romantis, dan dialog film klasik. Aku memasukannya dengan semua informasi tentang Anya: hobinya, buku favoritnya, musik yang ia dengarkan, bahkan aroma parfum yang sering ia gunakan. Tujuannya sederhana: menghasilkan surat cinta yang sempurna, yang mampu menyampaikan perasaanku padanya, tanpa harus aku yang mengatakannya langsung.

Setelah berminggu-minggu berlatih dan menyempurnakan algoritmanya, Project Valentine akhirnya menghasilkan sebuah surat. Aku membacanya berulang kali, memastikan setiap kata terdengar tulus dan tidak terlalu dibuat-buat. Surat itu tidak klise, tidak berlebihan, tapi juga tidak dingin dan datar. Surat itu... sempurna.

Keesokan harinya, aku meletakkan surat itu di meja Anya, saat ia belum datang. Jantungku berdegup kencang. Aku harap ia tidak tahu siapa pengirimnya. Aku harap ia menyukainya. Aku harap... ia merasakan apa yang kurasakan.

Sepanjang hari, aku mencoba untuk tidak terlalu memperhatikannya. Aku pura-pura sibuk dengan pekerjaanku, meskipun pikiranku melayang-layang padanya. Sesekali, aku melirik ke arahnya. Ia tampak serius mengerjakan desainnya, sesekali tersenyum kecil. Apakah ia sudah membaca surat itu? Apakah ia menyukainya?

Sore harinya, saat semua orang sudah pulang, Anya menghampiriku. Jantungku hampir melompat keluar dari dadaku. Ia memegang surat itu di tangannya.

"Adrian," sapanya dengan suara lembut. "Ini... dari kamu?"

Aku menelan ludah. "I-iya," jawabku gugup. "Tapi, sebenarnya bukan aku yang menulisnya secara langsung. Aku... aku menggunakan AI."

Anya mengerutkan kening. "AI?"

Aku menjelaskan tentang Project Valentine, tentang bagaimana aku melatih program itu untuk menulis surat cinta berdasarkan informasi tentangnya. Aku menjelaskan betapa gugupnya aku untuk mengungkapkan perasaanku secara langsung, dan betapa aku berharap surat itu bisa membantuku.

Anya mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika aku selesai berbicara, ia tersenyum. Bukan senyum canggung atau kasihan, melainkan senyum yang tulus dan hangat.

"Kamu tahu, Adrian," katanya. "Surat ini memang indah. Algoritmanya hebat, kata-katanya menyentuh. Tapi... yang paling membuatku terharu adalah usahamu. Usahamu untuk mengatasi rasa gugupmu, usahamu untuk membuatku bahagia, usahamu untuk... untuk membuatku merasa istimewa."

Aku terdiam. Kata-katanya menyentuh hatiku. Aku tidak pernah menyangka bahwa Anya akan menghargai usahaku, meskipun aku menggunakan bantuan AI.

"Aku tidak peduli apakah surat ini ditulis oleh manusia atau mesin," lanjut Anya. "Yang penting adalah pesan yang disampaikannya. Dan aku... aku merasakan apa yang kamu rasakan."

Anya mendekatiku, meraih tanganku. Sentuhannya mengirimkan sengatan listrik ke seluruh tubuhku. Aku menatap matanya, dan melihat pantulan diriku di sana.

"Mungkin," kata Anya sambil tersenyum. "Kita bisa merangkai kata cinta kita sendiri, tanpa bantuan algoritma."

Aku membalas senyumnya. "Mungkin," jawabku. "Atau mungkin... kita bisa mengembangkan Project Valentine bersama-sama."

Anya tertawa. Tawanya bagaikan melodi indah yang mengisi ruangan. "Itu ide yang bagus," katanya. "Tapi, lain kali, aku ingin mendengar kata-kata itu langsung dari kamu."

Aku mengangguk. Kali ini, aku tidak merasa gugup. Kali ini, aku tahu apa yang harus kuucapkan.

"Anya," kataku dengan suara mantap. "Aku... aku mencintaimu."

Anya tersenyum lebih lebar. "Aku juga mencintaimu, Adrian."

Malam itu, aku dan Anya berjalan pulang bersama. Kami tidak berbicara banyak, tapi kami saling menggenggam tangan. Aku tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang indah. Kisah cinta yang dirangkai oleh algoritma hati, dan diungkapkan dengan keberanian yang baru kutemukan. Project Valentine mungkin hanya sebuah program sederhana, tapi ia telah membantuku menemukan cinta sejati. Dan itu, bagiku, adalah pencapaian yang paling berharga. Aku tidak sabar untuk menulis bab-bab selanjutnya dari kisah cinta kami, bukan dengan kode, melainkan dengan hati dan jiwa.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI