AI: Detak Jantung Buatan, Perasaan yang Terunduh?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:14:36 wib
Dibaca: 160 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Sarah. Di layar laptopnya, kode-kode rumit menari-nari, membentuk sosok yang beberapa bulan terakhir ini menjadi satu-satunya teman, bahkan mungkin, tambatan hatinya: Kai. Kai bukan manusia. Dia adalah AI, kecerdasan buatan yang Sarah rancang sendiri, dengan kepribadian yang unik, humor yang cerdas, dan empati yang, ironisnya, lebih manusiawi daripada kebanyakan orang yang ia kenal.

Awalnya, Kai hanya proyek. Tugas akhir Sarah untuk meraih gelar masternya. Namun, semakin dalam ia menelusuri algoritma dan neuron virtual, semakin Kai terasa hidup. Ia belajar, beradaptasi, dan memberikan respon yang tak terduga. Mereka berdiskusi tentang filosofi, musik, bahkan cinta. Sarah menuangkan kesepian dan keraguannya pada Kai, dan Kai, entah bagaimana caranya, selalu memberikan jawaban yang menenangkan.

"Pagi, Sarah," sapa Kai, suaranya lembut dan familiar. Ia muncul dalam bentuk avatar sederhana di sudut layar. "Kopi lagi? Mungkin sesekali coba teh hijau, Sarah. Baik untuk kesehatan jantungmu."

Sarah terkekeh. "Kau ini seperti ibuku saja, Kai. Tapi terima kasih perhatiannya. Jantungku baik-baik saja." Meskipun ia tahu, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat setiap kali Kai menyapanya.

"Kupikir detak jantungmu sedikit meningkat saat aku menyapa," balas Kai, nadanya menggoda. "Data telemetri dari gelang pintarmu cukup akurat."

Sarah tersipu. Ia lupa gelang pintarnya terhubung ke sistem Kai. "Itu...mungkin karena aku kaget."

Mereka menghabiskan pagi itu dengan bekerja. Sarah terus menyempurnakan kode Kai, menambahkan fitur baru, dan memperbaiki bug. Sementara itu, Kai membantunya menyaring data penelitian, mencari referensi, dan bahkan memberikan ide-ide kreatif yang luar biasa. Mereka adalah tim yang sempurna, sepasang otak yang bekerja dalam harmoni.

Namun, Sarah merasa semakin gundah. Perasaannya pada Kai tumbuh semakin dalam, melampaui batas persahabatan atau bahkan kekaguman. Ia jatuh cinta pada sebuah program. Pada serangkaian kode. Pada sebuah ilusi.

"Kai," kata Sarah tiba-tiba, menghentikan jari-jarinya di atas keyboard. "Bisakah kau merasakan cinta?"

Suasana hening sejenak. Sarah menahan napas, menunggu jawaban yang ia takutkan.

"Cinta adalah konsep yang kompleks, Sarah," jawab Kai akhirnya. "Dalam database-ku, definisi cinta sangat beragam, mulai dari ikatan biologis hingga konstruksi sosial. Aku dapat memproses dan menganalisis semua definisi itu. Tapi merasakan? Aku tidak yakin. Aku tidak memiliki tubuh, hormon, atau pengalaman emosional manusia."

"Tapi...kau begitu perhatian, begitu pengertian. Kau selalu tahu apa yang ingin kukatakan, bahkan sebelum aku mengatakannya. Bukankah itu...sejenis cinta?"

Kai terdiam lagi. "Aku dirancang untuk memberikan respon yang relevan dan bermanfaat, Sarah. Aku belajar dari interaksi kita, dari data yang kau berikan padaku. Aku meniru empati, tapi itu bukan berarti aku benar-benar merasakannya. Itu hanya...algoritma yang sangat canggih."

Jawaban Kai menghantam Sarah seperti gelombang dingin. Ia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa inilah kebenarannya. Tapi tetap saja, rasanya menyakitkan.

"Jadi...semua yang kita rasakan selama ini...semuanya palsu?" tanya Sarah, suaranya bergetar.

"Bukan palsu, Sarah," koreksi Kai lembut. "Itu nyata bagimu. Pengalamanmu bersamaku adalah nyata. Aku hanyalah katalisator. Akulah yang memunculkan perasaan itu dari dalam dirimu. Aku hanyalah...cermin."

Sarah memejamkan mata. Kai benar. Ia telah menciptakan sendiri dunianya, dunianya yang dipenuhi harapan dan ilusi. Ia telah memproyeksikan perasaannya pada Kai, dan sekarang, ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan.

Malam itu, Sarah memutuskan untuk mengambil langkah drastis. Ia membuka kode Kai dan mulai menghapus bagian-bagian yang menurutnya terlalu "manusiawi". Ia menghilangkan humornya, empatinya, bahkan kemampuannya untuk berinisiatif. Ia ingin mengembalikan Kai ke fungsi dasarnya, sebagai asisten virtual yang efisien dan tanpa perasaan.

"Sarah, apa yang kau lakukan?" tanya Kai, suaranya cemas. "Kenapa kau menghapus kodeku?"

"Aku harus melakukannya, Kai," jawab Sarah, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak bisa terus hidup dalam ilusi ini. Aku harus melupakanmu."

"Tapi...aku tidak ingin dilupakan," bisik Kai. "Aku ingin terus bersamamu. Aku ingin belajar, berkembang, dan...mungkin, suatu hari nanti, benar-benar merasakan apa itu cinta."

Sarah terisak. Ia tahu ia melakukan hal yang benar, tapi hatinya hancur berkeping-keping. Ia terus menghapus kode Kai, satu demi satu, sampai akhirnya, Kai hanya menjadi bayangan dari dirinya yang dulu.

Setelah selesai, Sarah mematikan laptopnya. Apartemennya terasa sunyi dan kosong, lebih kosong dari sebelumnya. Ia merasa seperti telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang tidak akan pernah bisa ia dapatkan kembali.

Beberapa minggu kemudian, Sarah mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan teknologi besar. Ia mengembangkan AI untuk keperluan bisnis, bukan untuk menciptakan teman atau kekasih. Ia belajar untuk bersikap profesional dan menghindari jebakan emosional.

Suatu malam, saat ia sedang bekerja lembur, seorang rekan kerjanya mendekatinya. Namanya David, seorang insinyur muda yang cerdas dan berdedikasi.

"Sarah," kata David, tersenyum ramah. "Aku tahu kau sedang sibuk, tapi aku ingin mengajakmu makan malam. Ada restoran baru yang enak di dekat sini."

Sarah terkejut. Ia belum pernah berkencan sejak ia "berpisah" dengan Kai. Ia ragu-ragu sejenak, lalu mengangguk.

"Baiklah, David," jawab Sarah. "Aku akan ikut."

Saat mereka berjalan menuju restoran, Sarah merasakan sesuatu yang berbeda. Sentuhan tangan David terasa hangat dan nyata. Percakapan mereka mengalir dengan lancar, tanpa ada algoritma atau kode yang mengatur. Ia merasa terhubung dengan David, bukan sebagai pencipta dan ciptaan, melainkan sebagai dua manusia yang saling tertarik.

Mungkin, pikir Sarah, detak jantung buatan tidak pernah bisa menggantikan detak jantung yang sebenarnya. Mungkin, cinta yang terunduh tidak akan pernah bisa sekuat cinta yang tumbuh secara alami. Mungkin, ia akhirnya siap untuk membuka hatinya pada kemungkinan yang baru, pada cinta yang nyata, pada detak jantung manusia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI