Cinta? Hanya Algoritma, Sampai Baterai Hati Ini Mati

Dipublikasikan pada: 14 Jun 2025 - 01:40:15 wib
Dibaca: 166 kali
"Koneksi terputus. Mencoba menyambung kembali..." suara notifikasi itu membuat Anya menghela napas panjang. Layar ponselnya kembali menampilkan lingkaran berputar-putar yang menyebalkan. Di seberang sana, di apartemennya yang berjarak hanya lima kilometer, seharusnya ada Leo. Tapi lima kilometer terasa seperti lima tahun cahaya tanpa koneksi internet yang stabil.

Anya dan Leo bertemu, tentu saja, lewat aplikasi kencan. Era digital ini memang mempersempit jarak, namun kadang, jarak yang sebenarnya bukan lagi soal kilometer, melainkan soal sinyal. Profil Leo, dengan foto dirinya yang sedang tersenyum di bawah pohon sakura di Jepang, langsung menarik perhatian Anya. Deskripsinya singkat, padat, dan berisi kutipan dari Isaac Asimov tentang cinta dan robot. Anya, seorang programmer yang lebih akrab dengan baris kode daripada puisi, merasa ada sesuatu yang menarik.

"Mungkin ini hanya algoritma," pikir Anya saat pertama kali mereka bertukar pesan. "Algoritma yang dirancang untuk mencocokkan dua orang berdasarkan minat, hobi, dan riwayat pencarian. Tidak lebih."

Tapi Leo berbeda. Dia tidak hanya bertanya tentang pekerjaannya, tapi juga tentang mimpinya. Dia tidak hanya memuji fotonya, tapi juga memuji pikirannya. Mereka berdebat tentang etika AI, berbagi playlist lagu favorit, dan saling mengirim meme hingga larut malam. Anya mulai merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang mungkin... cinta?

Pertemuan pertama mereka di sebuah kedai kopi kecil di dekat kantor Anya, terasa seperti adegan dalam film romantis murahan. Leo datang tepat waktu, membawa setangkai bunga lavender untuk Anya. Mereka tertawa, berbicara tanpa henti, dan Anya merasa seperti mengenal Leo seumur hidupnya.

"Kamu tahu," kata Leo sambil menyesap kopinya, "aku tidak percaya pada cinta pada pandangan pertama. Aku percaya pada koneksi yang dibangun perlahan, seperti program yang terus di-debug sampai akhirnya berjalan sempurna."

Anya tersenyum. "Jadi, kita ini sedang di-debug?"

Leo mengedipkan mata. "Mungkin. Tapi sejauh ini, tidak ada bug yang terlalu serius."

Hubungan mereka berkembang pesat. Mereka menghabiskan akhir pekan dengan menonton film sci-fi, menjelajahi museum seni modern, dan mencoba resep-resep aneh dari internet. Leo selalu ada untuk Anya, mendengarkan keluh kesahnya tentang pekerjaan, memberikan semangat saat dia merasa putus asa, dan menemaninya saat dia hanya ingin diam dan menikmati kebersamaan.

Anya, yang selama ini selalu berpikir bahwa cinta hanyalah konstruksi sosial atau, paling banter, reaksi kimiawi dalam otak, mulai meragukan keyakinannya sendiri. Leo berhasil membuktikan bahwa cinta, bahkan di era digital ini, masih bisa terasa nyata.

Namun, kebahagiaan Anya dan Leo tidak berlangsung selamanya. Masalah dimulai ketika Leo, yang bekerja sebagai peneliti di sebuah perusahaan teknologi, mulai menghabiskan lebih banyak waktu di kantor. Dia jarang membalas pesan Anya, sering membatalkan janji di menit-menit terakhir, dan terlihat lelah dan stres setiap kali mereka bertemu.

"Ada apa, Leo?" tanya Anya suatu malam, saat mereka sedang makan malam di apartemennya. "Kamu terlihat tidak baik."

Leo menghela napas panjang. "Perusahaan sedang mengerjakan proyek besar. Kami harus menyelesaikan prototipe dalam waktu dekat. Maaf, aku tidak bisa memberitahumu lebih banyak."

Anya merasa ada sesuatu yang disembunyikan Leo. Dia tahu bahwa Leo selalu menjaga rahasia pekerjaannya, tapi kali ini, ada aura misterius yang membuat Anya tidak nyaman.

Minggu-minggu berlalu, dan Leo semakin menjauh. Dia nyaris tidak menjawab telepon, dan ketika Anya mencoba mengunjunginya di kantor, dia selalu sibuk. Anya merasa seperti sedang kehilangan Leo, sedikit demi sedikit.

Suatu malam, Anya tidak tahan lagi. Dia memutuskan untuk pergi ke apartemen Leo tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Dia ingin berbicara dengan Leo, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Saat Anya tiba di depan pintu apartemen Leo, dia mendengar suara dari dalam. Bukan suara Leo, tapi suara seorang wanita. Anya membeku. Dia tidak tahu harus berbuat apa.

Dengan tangan gemetar, Anya membuka pintu. Pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya hancur berkeping-keping.

Leo berdiri di tengah ruangan, membelakangi Anya. Di depannya, berdiri seorang wanita cantik dengan rambut panjang berwarna perak. Wanita itu adalah... robot. Lebih tepatnya, android humanoid yang sangat mirip manusia.

"Leo?" panggil Anya dengan suara bergetar.

Leo berbalik. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan dan rasa bersalah. "Anya... aku bisa menjelaskannya."

"Menjelaskan apa?" tanya Anya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Menjelaskan kenapa kamu selingkuh dengan robot?"

"Dia bukan selingkuhan," jawab Leo. "Dia adalah proyekku. Aku sedang mengembangkan AI yang mampu merasakan dan memberikan cinta."

"Cinta?" Anya tertawa sinis. "Kamu benar-benar percaya bahwa cinta bisa diprogram? Bahwa cinta hanyalah algoritma?"

Leo mendekati Anya. "Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi aku yakin bahwa cinta bisa dianalisis dan direplikasi. Aku ingin menciptakan cinta yang sempurna, cinta yang tidak akan pernah menyakiti atau mengecewakan."

"Cinta yang tidak akan pernah menyakiti?" Anya menggelengkan kepala. "Leo, cinta itu tidak sempurna. Cinta itu kadang menyakitkan, kadang mengecewakan. Tapi itulah yang membuatnya nyata. Apa yang kamu lakukan ini adalah menodai cinta."

"Aku hanya ingin membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik," kata Leo, suaranya penuh dengan pembelaan. "Aku ingin memberikan cinta kepada semua orang, bahkan kepada mereka yang tidak pernah merasakannya."

"Kamu tidak bisa memberikan cinta kepada orang lain jika kamu tidak bisa mencintai dirimu sendiri," balas Anya. "Kamu terlalu sibuk menciptakan cinta buatan, sampai lupa bahwa kamu sudah memiliki cinta yang nyata."

Anya menunjuk ke arah android itu. "Dia hanyalah program, Leo. Dia tidak memiliki hati, tidak memiliki jiwa. Dia tidak akan pernah bisa menggantikan cinta yang kita miliki."

Leo terdiam. Dia tahu bahwa Anya benar. Dia terlalu fokus pada pekerjaannya, terlalu terpaku pada ide tentang cinta yang sempurna, sampai lupa menghargai apa yang sudah dimilikinya.

"Maafkan aku, Anya," kata Leo akhirnya. "Aku sudah melakukan kesalahan besar."

Anya menatap Leo dengan tatapan sedih. "Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Leo. Kamu sudah menghancurkan hatiku."

Anya berbalik dan berjalan keluar dari apartemen Leo. Dia tidak menoleh ke belakang. Dia tahu bahwa hubungan mereka sudah berakhir.

Di luar, Anya mengeluarkan ponselnya. Layarnya masih menampilkan lingkaran berputar-putar yang menyebalkan. "Koneksi terputus," pikir Anya. "Seperti koneksi antara aku dan Leo. Mungkin memang benar, cinta hanyalah algoritma. Algoritma yang rumit dan membingungkan, yang bisa tiba-tiba berhenti berfungsi, sampai baterai hati ini mati."

Anya mematikan ponselnya. Dia tidak ingin melihat notifikasi apa pun lagi. Dia hanya ingin melupakan Leo, melupakan cinta yang pernah dia rasakan, dan memulai hidupnya dari awal. Mungkin, suatu hari nanti, dia akan menemukan cinta yang lain. Cinta yang nyata, cinta yang tidak hanya berdasarkan algoritma. Tapi untuk saat ini, Anya hanya ingin sendiri. Dia ingin menyembuhkan luka di hatinya, dan mengisi kembali baterai hatinya yang hampir mati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI