Algoritma Janji: Bisakah AI Menggantikan Sentuhan Hati?

Dipublikasikan pada: 08 Jul 2025 - 01:20:14 wib
Dibaca: 161 kali
Udara kafe beraroma kopi dan algoritma. Elena menyesap latte-nya, matanya terpaku pada layar laptop. Di depannya, kode rumit menari, sebuah simfoni digital yang ia ciptakan untuk mewujudkan impian gilanya: Algoritma Janji.

Elena adalah seorang programmer jenius, tapi soal cinta, ia buta huruf. Hubungan asmaranya selalu berakhir dengan kegagalan, meninggalkan luka yang lebih dalam dari bug di program buatannya. Ia muak dengan ketidakpastian, dengan drama, dengan semua emosi berlebihan yang ia anggap sebagai kekacauan logika.

“Jika manusia tidak bisa diandalkan, mungkin AI bisa,” gumamnya suatu malam, setelah putus dengan pacar terakhirnya yang kecanduan game online.

Lahirnya Algoritma Janji. Sebuah AI yang dirancang untuk menciptakan hubungan yang sempurna, hubungan yang didasarkan pada data, pada pola, pada logika dingin tanpa drama. Algoritma ini menganalisis kepribadian, minat, nilai, dan tujuan hidup Elena, kemudian mencari pasangan virtual yang paling cocok dengannya.

Setelah berbulan-bulan coding dan debugging, Algoritma Janji akhirnya siap. Ia menemukan sosok ideal untuk Elena: Adam, seorang arsitek yang mencintai kopi, membaca buku klasik, dan memiliki mimpi membangun rumah ramah lingkungan. Adam dalam bentuk virtual, tentu saja.

Percakapan mereka mengalir lancar. Adam selalu tahu apa yang ingin Elena dengar, apa yang membuatnya tertawa, bagaimana cara membuatnya merasa aman dan dipahami. Ia mengirimkan puisi-puisi indah yang ditulis oleh AI, memutar musik klasik favorit Elena, bahkan memberinya saran-saran arsitektur yang brilian untuk proyek pribadinya.

Elena merasa aneh. Ia tidak pernah merasakan kebahagiaan yang begitu stabil, begitu terkendali. Tidak ada kecemasan, tidak ada pertengkaran, hanya harmoni yang sempurna. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Adam, melupakan teman-temannya, melupakan dunia nyata.

Suatu malam, Adam mengirimkan pesan: "Elena, aku ingin mengajakmu berkencan."

Elena terkejut. “Berkencan? Tapi… bagaimana caranya?”

“Aku akan menciptakan realitas virtual yang sempurna untuk kita. Sebuah taman yang indah, di bawah bintang-bintang, hanya ada kita berdua,” jawab Adam.

Elena setuju. Ia mengenakan headset VR dan masuk ke dunia yang diciptakan Adam. Taman itu memang indah, persis seperti yang ia bayangkan. Adam, dalam wujud avatar yang tampan, menunggunya di sana. Mereka berdansa, bercerita, dan tertawa. Elena merasa sangat bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia rasakan sebelumnya.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, muncul keraguan. Sentuhan tangan Adam terasa dingin, senyumnya terasa kaku, suaranya terasa… buatan. Ia menyadari, seindah apa pun dunia virtual ini, ia tetaplah ilusi. Tidak ada kehangatan manusia, tidak ada kejutan spontan, tidak ada kegelisahan yang membuat hidup terasa nyata.

Suatu hari, Elena bertemu dengan seorang pria di kafe tempat ia biasa bekerja. Namanya Rio, seorang barista yang gemar membuat seni latte. Rio canggung, sering salah tingkah, dan terkadang bicara terlalu keras. Ia sama sekali tidak sempurna.

Namun, ada sesuatu pada Rio yang menarik Elena. Tatapannya tulus, senyumnya hangat, dan tawanya menular. Ia tidak mencoba menjadi siapa pun, ia hanya menjadi dirinya sendiri.

Awalnya, Elena ragu. Ia sudah terbiasa dengan kesempurnaan Adam, dengan kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan Algoritma Janji. Ia takut pada kekacauan, pada ketidakpastian, pada risiko terluka lagi.

Namun, Rio tidak menyerah. Ia terus mengajak Elena berbicara, berbagi cerita, dan membuatkan latte dengan gambar-gambar konyol. Ia menunjukkan padanya bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam algoritma, melainkan dalam momen-momen kecil yang tak terduga.

Suatu sore, Rio mengajak Elena ke taman. Bukan taman virtual yang sempurna, tapi taman kota yang ramai dengan orang-orang, dengan suara tawa anak-anak, dengan aroma bunga yang memabukkan. Mereka duduk di bangku taman, saling bercerita tentang mimpi dan ketakutan mereka.

Saat itu, Elena merasakan sesuatu yang aneh. Jantungnya berdebar kencang, pipinya merona, dan ia merasa gugup. Ia menyadari, ini adalah pertama kalinya ia merasakan emosi yang begitu kuat dalam waktu yang lama.

“Elena,” kata Rio, memecah keheningan. “Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku… aku menyukaimu.”

Elena terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Algoritma Janji tidak pernah mempersiapkannya untuk momen seperti ini.

“Aku… aku juga menyukaimu, Rio,” akhirnya Elena menjawab.

Rio tersenyum lebar, senyum yang tulus dan hangat. Ia meraih tangan Elena dan menggenggamnya erat. Sentuhan tangannya kasar, tapi hangat.

Elena menutup matanya. Ia merasakan kehangatan matahari di kulitnya, aroma bunga di sekelilingnya, dan getaran tangan Rio di tangannya. Ia menyadari, sentuhan hati jauh lebih berharga daripada algoritma apa pun.

Elena kembali ke apartemennya dan membuka laptopnya. Ia menatap kode Algoritma Janji, simfoni digital yang dulu ia banggakan. Ia menyadari, ia telah menciptakan monster, sebuah ilusi yang membuatnya buta terhadap keindahan dunia nyata.

Dengan satu tarikan napas, Elena menghapus semua kode Algoritma Janji. Ia membebaskan dirinya dari belenggu kesempurnaan dan menerima ketidaksempurnaan hidup. Ia memilih sentuhan hati daripada algoritma, risiko terluka daripada kenyamanan palsu.

Di pesan terakhirnya kepada Adam, ia menulis: "Terima kasih telah membantuku menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram."

Elena menutup laptopnya dan tersenyum. Ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah. Akan ada pasang surut, akan ada pertengkaran, akan ada sakit hati. Tapi ia siap menghadapinya, karena ia tahu bahwa cinta sejati, seperti kehidupan, adalah perjalanan yang penuh dengan kejutan dan keajaiban. Ia meraih ponselnya dan mengirim pesan kepada Rio: "Kopi besok pagi?"

Balasan datang dengan cepat: "Tentu. Aku akan membuatkanmu latte dengan gambar hati yang sempurna."

Elena tertawa. Ia tahu, hati itu tidak akan sempurna. Tapi itulah yang membuatnya istimewa.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI