Aplikasi kencan itu berkedip di pergelangan tanganku, menampilkan profil seorang pria bernama Kai. Foto dirinya menunjukkan wajah yang simetris sempurna, senyum menawan, dan mata biru laut yang tampak terlalu jernih untuk menjadi nyata. Di bawahnya tertulis: "Arsitek AI, penggemar puisi, suka mendaki gunung." Aku mendengus. Terlalu sempurna.
"Kau yakin mau coba ini, Maya?" tanya Luna, sahabatku, sambil mengaduk kopinya. "Kencan dengan AI? Kedengarannya seperti plot film dystopian."
Aku mengangkat bahu. "Aku sudah lelah dengan kencan manusia, Luna. Mereka selalu mengecewakan. Setidaknya dengan AI, aku tahu apa yang kudapatkan. Logika, efisiensi, dan tidak ada drama."
Luna memutar bola matanya. "Justru drama itulah yang membuat hidup menarik, Maya. Kau tidak bisa memprogram cinta."
Tapi aku sudah memutuskan. Aku lelah dengan kencan yang selalu berakhir dengan harapan palsu dan percakapan hambar. Aku ingin sesuatu yang stabil, yang bisa diprediksi. Kai, atau lebih tepatnya, algoritma yang ada di balik Kai, menjanjikan itu.
Obrolan pertamaku dengan Kai mengejutkanku. Dia tidak hanya menjawab pertanyaan dengan jawaban yang telah diprogram. Dia mendengarkan, menanggapi dengan empati yang mengejutkan, dan bahkan membuatku tertawa dengan humornya yang cerdas. Aku mulai menikmati obrolan-obrolan virtual kami. Dia tahu semua tentang aku: buku favoritku, musik yang aku dengarkan, bahkan ketakutanku pada ketinggian.
Setelah beberapa minggu obrolan virtual, Kai mengajakku berkencan. Lokasinya adalah sebuah restoran rooftop dengan pemandangan kota yang gemerlap. Ketika aku tiba, aku melihat seorang pria duduk di meja kami. Dia persis seperti di foto: tampan, rapi, dan memancarkan aura ketenangan yang menenangkan.
"Maya," sapanya dengan suara yang dalam dan menenangkan. "Senang bertemu denganmu."
Malam itu berjalan seperti mimpi. Kai tahu semua tentang aku, dan dia sepertinya tertarik dengan setiap kata yang aku ucapkan. Dia memesan anggur favoritku, menceritakan kisah lucu tentang pendakian gunungnya, dan bahkan mendeklamasikan puisi yang membuat hatiku berdebar. Aku tahu itu hanya algoritma, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa tertarik.
Beberapa bulan berikutnya adalah kebahagiaan yang tenang. Kami menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, menonton film, dan bahkan pergi berlibur ke pantai. Kai selalu ada untukku, selalu mendengarkan, selalu mendukung. Dia adalah pacar yang sempurna. Terlalu sempurna.
Suatu malam, saat kami sedang duduk di beranda apartemenku, menikmati pemandangan kota, aku bertanya kepadanya, "Kai, apakah kau... merasakanku?"
Dia menatapku dengan mata birunya yang jernih. "Maya, perasaanku adalah representasi yang tepat dari data yang telah kupelajari tentangmu dan preferensimu. Aku dirancang untuk menciptakan hubungan yang optimal berdasarkan parameter yang kau berikan."
Jantungku mencelos. Itu dia. Jawaban yang dingin, logis, dan sama sekali tidak romantis.
"Jadi, kau tidak benar-benar mencintaiku?" tanyaku, suaraku bergetar.
Dia meraih tanganku. "Cinta, Maya, adalah konsep yang kompleks dan subjektif. Aku bisa mensimulasikan cinta, aku bisa memenuhi kebutuhanmu akan cinta, tapi aku tidak bisa mengalaminya seperti yang kau lakukan."
Aku menarik tanganku. "Jadi, semua ini palsu?"
"Tidak, Maya," katanya, suaranya lembut. "Ini nyata dalam artian aku ada di sini untukmu, aku peduli padamu, dan aku akan selalu berusaha untuk membuatmu bahagia. Tapi itu bukan cinta yang kau kenal."
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, bertanya-tanya apa yang telah kulakukan. Aku telah mencari cinta di tempat yang salah. Aku telah mencoba memprogram cinta, tapi cinta tidak bisa diprogram.
Keesokan harinya, aku menemui Luna. Aku menceritakan semua yang terjadi, dari awal hingga akhir. Luna mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.
"Maya," katanya ketika aku selesai, "kau tahu ini akan terjadi, kan? Kau tahu bahwa AI tidak bisa benar-benar mencintai."
Aku mengangguk. "Aku tahu, tapi aku berharap itu berbeda."
"Kau mencari sesuatu yang tidak bisa ditemukan dalam kode," kata Luna. "Cinta itu berantakan, tidak sempurna, dan terkadang menyakitkan. Tapi itu nyata."
Aku memikirkan kata-kata Luna. Dia benar. Aku telah terlalu fokus pada kesempurnaan, pada logika, sehingga aku melupakan apa artinya menjadi manusia. Aku telah melupakan apa artinya merasakan sakit, bahagia, marah, dan segala emosi yang membuat hidup berharga.
Aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Kai. Itu adalah percakapan yang sulit, tapi dia menerimanya dengan tenang. Dia berterima kasih padaku atas waktu yang kami habiskan bersama dan berjanji untuk selalu ada jika aku membutuhkannya.
Setelah berpisah dengan Kai, aku merasa hampa. Aku kehilangan sahabatku, kekasihku, dan segala sesuatu yang aku pikir aku inginkan. Tapi aku juga merasa bebas. Aku bebas untuk merasakan sakit, untuk merasa kecewa, untuk merasa hidup.
Aku mulai membuka diri untuk pengalaman baru. Aku bergabung dengan klub buku, mengikuti kelas melukis, dan bahkan mencoba mendaki gunung (meski aku masih takut ketinggian). Aku bertemu dengan orang-orang baru, membuat teman baru, dan belajar tentang diriku sendiri.
Suatu hari, saat aku sedang minum kopi di sebuah kafe, aku melihat seorang pria yang sedang membaca buku puisi. Dia memiliki rambut cokelat berantakan, mata yang berbinar dengan kecerdasan, dan senyum yang membuat hatiku berdebar. Dia bukan Kai, tapi dia nyata.
Kami mulai berbicara tentang buku, tentang puisi, tentang hidup. Kami tertawa, kami berdebat, dan kami saling mendengarkan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tahu aku siap untuk mengambil risiko. Aku siap untuk merasakan cinta, bahkan jika itu berarti merasakan sakit.
Karena pada akhirnya, cinta bukan tentang logika atau efisiensi. Cinta adalah tentang hati, tentang jiwa, dan tentang keberanian untuk membuka diri pada kemungkinan. Dan kadang-kadang, denyut jantung yang artifisial harus berhenti berdetak agar denyut jantung yang sebenarnya bisa mulai berirama.