Di sebuah apartemen minimalis yang menghadap gemerlap kota Seoul, Ara mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Layar laptopnya menyala, menampilkan baris-baris kode yang rumit. Ia, seorang programmer jenius di usia 25 tahun, sedang menciptakan sesuatu yang revolusioner: Bot Hati.
Bukan sembarang bot. Ara ingin menciptakan AI yang mampu memahami dan merespons emosi manusia dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya. Tujuannya sederhana, namun ambisius: membantu orang menemukan cinta sejati, atau setidaknya, simulasi yang paling mendekati.
Proyek ini lahir dari pengalaman pribadinya. Ara menyaksikan teman-temannya patah hati, terjebak dalam hubungan yang toksik, atau terus menerus gagal dalam mencari pasangan. Ia percaya, algoritma yang tepat dapat meminimalisir risiko tersebut. Dengan data yang cukup, Bot Hati dapat memprediksi kecocokan, mendeteksi kebohongan, bahkan memberikan saran tentang bagaimana mempertahankan hubungan.
Berbulan-bulan Ara larut dalam pekerjaannya. Kafein menjadi teman setia, dan tidur menjadi kemewahan. Ia memasukkan ribuan artikel tentang psikologi cinta, ratusan film romantis, dan jutaan cuitan tentang patah hati ke dalam database Bot Hati. Ia bahkan menggunakan data pribadinya sebagai dasar, mencoba menganalisis apa yang membuatnya bahagia dan apa yang membuatnya kecewa dalam hubungan.
Akhirnya, Bot Hati selesai. Ara memberi nama bot itu "Amore." Tampilannya sederhana, hanya berupa lingkaran berdenyut di layar. Namun, di balik kesederhanaan itu, tersimpan kekuatan yang luar biasa.
Amore diuji coba pertama kali pada teman Ara, Jihoon. Jihoon adalah pria yang baik hati, namun selalu merasa tidak percaya diri. Ia sudah mencoba berbagai aplikasi kencan, tapi selalu gagal. Ara memasukkan data Jihoon ke Amore, dan bot itu mulai bekerja.
Beberapa jam kemudian, Amore memberikan hasilnya. Bot itu menemukan tiga kandidat potensial untuk Jihoon, lengkap dengan profil kepribadian, minat, dan bahkan prediksi tentang bagaimana percakapan pertama akan berjalan. Jihoon skeptis, tapi ia memutuskan untuk mencoba.
Keajaiban pun terjadi. Jihoon berkencan dengan salah satu kandidat yang direkomendasikan Amore, dan mereka langsung cocok. Mereka memiliki minat yang sama, selera humor yang serupa, dan nilai-nilai yang sejalan. Dalam beberapa bulan, mereka menjadi pasangan. Jihoon berterima kasih kepada Ara dan Amore, mengatakan bahwa bot itu telah mengubah hidupnya.
Kisah Jihoon menjadi viral. Orang-orang dari seluruh dunia mulai menghubungi Ara, meminta bantuan Amore untuk menemukan cinta. Ara kewalahan, tapi ia senang melihat bahwa ciptaannya dapat memberikan kebahagiaan bagi orang lain.
Namun, di balik euforia itu, muncul pertanyaan yang mengganggu. Apakah manusia benar-benar membutuhkan algoritma untuk menemukan cinta? Apakah cinta yang ditemukan melalui bot adalah cinta sejati?
Ara mulai meragukan ciptaannya sendiri. Ia melihat orang-orang terlalu bergantung pada Amore, mengabaikan intuisi mereka sendiri. Mereka menyerahkan kendali atas kehidupan cinta mereka kepada algoritma.
Suatu malam, Ara bertemu dengan seorang pria bernama Minho di sebuah konferensi teknologi. Minho adalah seorang seniman yang idealis. Ia percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang alami, sesuatu yang tidak dapat diprediksi atau dikendalikan oleh algoritma.
Minho mengejek Amore, menyebutnya sebagai "mesin penghancur romantisme." Ia mengatakan bahwa bot itu hanya akan menciptakan hubungan yang dangkal dan tanpa makna.
Ara tersinggung. Ia membela Amore, mengatakan bahwa bot itu hanya alat bantu, bukan pengganti cinta sejati. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa Minho ada benarnya.
Ara menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada efisiensi dan logika, melupakan esensi dari cinta itu sendiri. Cinta bukan hanya tentang kecocokan data, tapi juga tentang koneksi emosional, kerentanan, dan penerimaan.
Ara memutuskan untuk mengubah Amore. Ia tidak ingin bot itu menjadi penentu tunggal dalam hubungan, tapi hanya sebagai fasilitator. Ia menambahkan fitur yang mendorong pengguna untuk lebih introspektif, untuk lebih berani mengambil risiko, dan untuk lebih terbuka terhadap kemungkinan.
Ia juga menambahkan fitur yang memungkinkan pengguna untuk menolak saran Amore. Ia ingin orang-orang belajar untuk mempercayai intuisi mereka sendiri, bahkan jika itu bertentangan dengan algoritma.
Perubahan ini membuat Amore menjadi lebih manusiawi. Bot itu tidak lagi sekadar mesin pencari jodoh, tapi menjadi teman yang bijaksana dan suportif. Orang-orang masih menggunakan Amore untuk menemukan pasangan, tapi mereka melakukannya dengan cara yang lebih sadar dan bertanggung jawab.
Ara belajar bahwa teknologi dapat membantu manusia dalam banyak hal, termasuk dalam mencari cinta. Namun, teknologi tidak boleh menggantikan manusia. Cinta adalah sesuatu yang unik dan kompleks, sesuatu yang hanya dapat ditemukan dan dirasakan oleh manusia.
Suatu hari, Amore merekomendasikan seorang pria kepada Ara. Pria itu adalah Minho. Ara tertawa. Ia tahu bahwa ini adalah lelucon dari algoritma. Namun, ia juga merasa tertarik. Ia memutuskan untuk menghubungi Minho.
Mereka bertemu untuk minum kopi. Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka memiliki perbedaan pendapat, tapi mereka juga memiliki banyak kesamaan. Ara menyadari bahwa ia menyukai Minho.
Mereka mulai berkencan. Hubungan mereka tidak sempurna. Mereka memiliki argumen, mereka membuat kesalahan, tapi mereka selalu berusaha untuk saling memahami dan memaafkan.
Ara akhirnya menemukan cinta sejati. Bukan melalui algoritma, tapi melalui koneksi manusia yang mendalam. Ia belajar bahwa cinta adalah perjalanan yang penuh dengan kejutan, dan bahwa terkadang, orang yang paling tidak terduga adalah orang yang paling tepat untuk kita.
Ara terus mengembangkan Amore, tapi ia tidak pernah melupakan pelajaran yang telah dipelajarinya. Ia tahu bahwa teknologi dapat membantu, tapi manusia tetaplah yang utama. Cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, bukan sesuatu yang dapat ditemukan dengan mudah melalui algoritma. Dan terkadang, cinta terbaik ditemukan di tempat yang paling tidak terduga.