Kilau layar ponsel memantulkan cahaya di mata Anya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard virtual, mengetikkan setiap detail kehidupannya pada aplikasi kencan bernama "SoulMate Algorithm". Tinggi badan, berat badan, preferensi musik, makanan favorit, bahkan mimpi terliarnya tentang masa depan. Semuanya dicurahkan, diolah menjadi data yang akan diproses oleh algoritma cinta tercanggih di dunia.
Anya, seorang arsitek muda berbakat, selalu percaya pada logika. Baginya, cinta adalah masalah probabilitas dan variabel. Jika variabel yang tepat bertemu, maka probabilitas untuk menemukan kebahagiaan akan meningkat secara eksponensial. Ia skeptis terhadap cinta pandangan pertama, kisah-kisah romantis yang berlebihan, dan kebetulan yang manis. Cinta, menurutnya, harus dihitung, diprediksi, dan direncanakan.
SoulMate Algorithm menjanjikan hal itu. Aplikasi ini mengklaim mampu mencocokkan pengguna dengan tingkat akurasi 99,99%. Anya terpikat. Selama bertahun-tahun, ia telah menyaksikan teman-temannya terjerumus dalam hubungan yang berantakan, patah hati yang menyakitkan, dan penyesalan yang mendalam. Ia ingin menghindari semua itu. Ia ingin cinta yang sempurna, yang dirancang presisi.
Setelah mengisi profilnya secara lengkap, Anya menekan tombol "Aktifkan Algoritma". Layar ponselnya berkedip, menampilkan bar progress yang bergerak lambat. Jantungnya berdegup kencang. Inilah saatnya. Saatnya untuk menyerahkan takdir cintanya pada mesin.
Tiga hari kemudian, notifikasi muncul. "Kecocokan Sempurna Ditemukan!"
Anya menarik napas dalam-dalam sebelum membukanya. Sebuah foto muncul di layar. Seorang pria tampan dengan senyum menawan dan mata cokelat yang hangat. Namanya, Kai. Profesi: Ilmuwan Data. Kecocokan: 99,99%.
Profil Kai nyaris sempurna. Ia menyukai buku yang sama dengan Anya, memiliki selera humor yang sama, bahkan memiliki ambisi yang selaras dengan Anya. Mereka berdua bermimpi untuk menciptakan kota yang berkelanjutan, kota yang dirancang dengan presisi dan efisiensi.
Anya dan Kai mulai berkirim pesan. Percakapan mereka mengalir dengan lancar, seolah-olah mereka telah mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun. Mereka membahas arsitektur, algoritma, filosofi, dan harapan mereka untuk masa depan. Setiap pesan, setiap kata, terasa begitu tepat, begitu terkalibrasi.
Setelah seminggu berkirim pesan, mereka memutuskan untuk bertemu. Kai memilih sebuah kafe yang nyaman dengan interior minimalis, persis seperti yang disukai Anya. Saat Kai masuk, Anya merasa seolah-olah ia sedang melihat refleksi dirinya sendiri. Mereka berbicara selama berjam-jam, tidak ada canggung, tidak ada kesunyian yang memalukan. Semuanya terasa begitu alami, begitu terprogram.
Hubungan Anya dan Kai berkembang pesat. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, mengunjungi pameran seni, dan bekerja sama dalam proyek arsitektur kecil-kecilan. Mereka selalu sependapat, selalu saling memahami. Hubungan mereka terasa seperti formula matematika yang sempurna, setiap variabel berada di tempat yang tepat.
Anya merasa bahagia, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Kebahagiaannya terasa hambar, kurang rasa. Ia seperti sedang menjalankan sebuah program, mengikuti serangkaian instruksi yang telah ditetapkan. Ia merindukan sesuatu yang tidak terduga, sesuatu yang spontan, sesuatu yang liar.
Suatu sore, saat mereka sedang berjalan-jalan di taman, Anya melihat seorang pria tua sedang memberi makan burung merpati. Pria itu tertawa riang, wajahnya penuh dengan kerutan dan kebahagiaan. Anya merasa iri. Kebahagiaan pria itu terasa otentik, tidak diprogram.
"Kai," kata Anya, "apakah kamu pernah merasa...terlalu terprediksi?"
Kai mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
"Maksudku, hubungan kita. Semuanya terasa begitu sempurna, begitu terencana. Kita tidak pernah berdebat, tidak pernah memiliki perbedaan pendapat. Rasanya seperti kita sedang memainkan peran."
Kai terdiam sejenak. "Tapi bukankah itu yang kita inginkan? Hubungan yang harmonis, yang bebas dari konflik?"
"Mungkin," jawab Anya, "tapi mungkin konflik itu penting. Mungkin ketidaksempurnaan itu yang membuat cinta itu nyata."
Kai tidak mengerti. Baginya, logika adalah segalanya. Ia tidak mengerti mengapa Anya mempertanyakan kesempurnaan yang telah mereka capai.
Sejak hari itu, hubungan Anya dan Kai mulai merenggang. Anya mulai mencari hal-hal yang spontan, hal-hal yang tidak terduga. Ia mengikuti kelas melukis, pergi mendaki gunung, dan mencoba makanan-makanan aneh. Kai tidak mengerti. Ia merasa Anya berubah, menjauh darinya.
Suatu malam, Anya dan Kai bertengkar hebat. Anya mengungkapkan semua keraguan dan kekhawatirannya. Kai menuduh Anya tidak menghargai apa yang telah mereka miliki.
"Kita adalah pasangan yang sempurna secara algoritmik," kata Kai, dengan nada frustrasi. "Mengapa kamu ingin merusak itu?"
"Karena aku ingin cinta yang nyata," jawab Anya, dengan air mata berlinang. "Cinta yang tidak bisa diprediksi, cinta yang tidak bisa dihitung. Cinta yang terasa hidup."
Mereka memutuskan untuk berpisah. Algoritma cinta mungkin telah mempertemukan mereka, tetapi algoritma itu tidak bisa menjamin kebahagiaan mereka.
Anya keluar dari aplikasi SoulMate Algorithm. Ia menghapus profilnya, menghapus semua data pribadinya. Ia ingin memulai dari awal, mencari cinta yang alami, cinta yang tidak diprogram.
Ia belajar bahwa cinta bukanlah masalah probabilitas dan variabel. Cinta adalah masalah hati dan jiwa. Cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan, tentang merayakan perbedaan, tentang menemukan keindahan dalam kekacauan.
Beberapa tahun kemudian, Anya bertemu dengan seorang pria di sebuah toko buku bekas. Ia tidak tampan, tidak memiliki profesi yang glamor, dan mereka tidak memiliki banyak kesamaan. Tetapi ada sesuatu dalam matanya yang membuat Anya tertarik. Ia tidak bisa menjelaskannya. Itu bukan logika, itu bukan algoritma. Itu hanya...cinta.
Mereka mulai berkencan. Hubungan mereka tidak sempurna. Mereka sering berdebat, memiliki perbedaan pendapat, dan membuat kesalahan. Tetapi mereka juga saling mencintai dengan sepenuh hati. Cinta mereka terasa nyata, terasa hidup.
Anya akhirnya menemukan apa yang ia cari. Cinta yang tidak dirancang presisi, cinta yang tumbuh secara organik, cinta yang sempurna dalam ketidaksempurnaannya. Ia menyadari bahwa algoritma bisa membantu menemukan kecocokan, tetapi hanya hati yang bisa menemukan cinta sejati.