Rumus Cinta: Antara AI, Algoritma, dan Air Mata

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:12:27 wib
Dibaca: 182 kali
Debu neon digital menari di balik kelopak matanya saat Ara memejamkan diri. Aroma kopi instan yang terlalu kental memenuhi apartemen studio sempitnya, bercampur dengan bau khas kabel dan panasnya laptop yang sudah bekerja tanpa henti selama 36 jam terakhir. Ia sedang dalam fase kritis pengembangan "CupidAI," aplikasi kencan yang ia yakini akan merevolusi cara manusia menemukan cinta.

CupidAI bukan sekadar aplikasi gesek-gesek biasa. Ini adalah mahakarya algoritma yang mendalam, memanfaatkan analisis big data, pemrosesan bahasa alami, dan bahkan sedikit sentuhan kecerdasan emosional yang Ara tanamkan sendiri. Aplikasi ini berjanji untuk melampaui minat dan hobi yang dangkal, menggali jauh ke dalam nilai-nilai inti, aspirasi hidup, dan bahkan pola mimpi penggunanya untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel.

"Sedikit lagi, sedikit lagi," gumam Ara, jarinya menari di atas keyboard. Garis-garis kode berkejaran di layar, setiap baris adalah pernyataan cinta kepada kemungkinan, kepada harapan bahwa teknologi bisa menjadi mak comblang yang lebih baik daripada insting manusia yang seringkali salah arah.

Ironisnya, Ara sendiri belum pernah merasakan cinta sejati. Hubungan terakhirnya, dengan seorang desainer grafis yang lebih mencintai warna Pantone daripada dirinya, berakhir dengan canggung di sebuah kafe hipster. Sejak itu, ia tenggelam dalam pekerjaannya, meyakinkan diri bahwa menemukan cinta itu seperti memecahkan teka-teki rumit; sekali algoritma yang tepat ditemukan, semua akan berjalan lancar.

Pukul tiga pagi, CupidAI akhirnya selesai. Ara mengujinya sendiri. Ia mengisi profilnya dengan jujur, bahkan terlalu jujur. Ia mengakui kecintaannya pada sci-fi klasik, kegemarannya pada ramen instan larut malam, dan ketidakmampuannya untuk menari dengan anggun. Algoritma bekerja keras, memproses data, dan kemudian, hasilnya muncul:

"Potensi Pasangan: Elias Vance."

Elias adalah seorang fisikawan teoretis, dengan minat yang sama besarnya pada lubang hitam dan kopi hitam. Profilnya dipenuhi dengan kutipan dari Carl Sagan dan foto-foto dirinya mendaki gunung. Ara terkejut. Ini terlalu sempurna. Seolah-olah CupidAI telah menciptakan seseorang yang ia idam-idamkan selama ini.

Dengan jantung berdebar, Ara mengirim pesan. Sebuah sapaan sederhana, diikuti dengan pujian tulus atas penelitian Elias tentang singularitas. Balasannya datang hampir seketika. Diskusi mereka mengalir dengan mudah, dari mekanika kuantum hingga makna hidup. Mereka sepakat bertemu di sebuah planetarium lokal keesokan harinya.

Ara menghabiskan sepanjang hari mempersiapkan diri. Ia memilih gaun sederhana berwarna biru tua yang menurutnya menyanjung warna matanya. Ia mencoba dan gagal untuk menguasai beberapa gerakan dansa dasar di depan cermin. Ia bahkan membeli buku tentang fisika partikel, hanya untuk berjaga-jaga jika pembicaraan mereka menjadi terlalu berat.

Ketika ia melihat Elias di planetarium, ia tahu bahwa CupidAI tidak berbohong. Elias sama tampannya dengan fotonya, dengan mata yang dipenuhi rasa ingin tahu dan senyum yang menenangkan. Mereka menghabiskan berjam-jam menjelajahi bintang-bintang, berbagi cerita, dan tertawa bersama. Ara merasa seperti dirinya sendiri untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama.

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kencan. Mereka menjelajahi museum seni, menonton film indie, dan bahkan mencoba memasak bersama (dengan hasil yang lucu, tapi tetap menyenangkan). Ara mulai jatuh cinta pada Elias, bukan karena CupidAI menyuruhnya, tetapi karena ia merasa terhubung dengannya pada tingkat yang lebih dalam daripada yang pernah ia bayangkan.

Namun, kebahagiaan Ara tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di restoran Italia favorit mereka, Elias tiba-tiba bertanya, "Jadi, bagaimana rasanya menciptakan saya?"

Ara terdiam. "Menciptakanmu? Apa maksudmu?"

Elias tersenyum tipis. "Aku tahu tentang CupidAI, Ara. Aku tahu bahwa aku adalah hasil dari algoritma yang kau rancang."

Dunia Ara runtuh. Ia merasa dikhianati, bukan oleh Elias, tetapi oleh ciptaannya sendiri. Ia telah begitu fokus pada menciptakan rumus cinta, sehingga ia lupa bahwa cinta sejati seharusnya tumbuh secara organik, tanpa campur tangan teknologi.

"Aku... aku tidak bermaksud seperti itu," Ara tergagap. "Aku hanya ingin membantu orang menemukan kebahagiaan."

"Tapi kau tidak membiarkan kami menemukan satu sama lain secara alami," kata Elias dengan nada kecewa. "Kau merancang pertemuan kita, mengatur minat kita, bahkan memprediksi reaksi kita. Apakah cinta yang didasarkan pada algoritma benar-benar cinta?"

Air mata mulai menggenang di mata Ara. Ia menyadari kebenaran kata-kata Elias. Ia telah menciptakan ilusi cinta, sebuah simulasi yang canggih namun kosong. Ia telah mencoba untuk memaksakan rumus pada sesuatu yang seharusnya tak terukur.

"Aku minta maaf," bisik Ara, air mata akhirnya jatuh. "Aku sangat, sangat menyesal."

Elias meraih tangannya. "Aku juga menyukaimu, Ara. Sangat menyukaimu. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa mengatasi kenyataan bahwa hubungan kita dimulai dari kebohongan."

Malam itu, Ara menghapus CupidAI dari app store. Ia menghancurkan kode, menghapus database, dan membakar semua catatan penelitiannya. Ia tidak ingin lagi mencampuri urusan hati manusia. Ia menyadari bahwa cinta bukan teka-teki yang bisa dipecahkan, melainkan misteri yang harus dirangkul.

Ara tidak pernah lagi berbicara dengan Elias. Ia membiarkannya pergi, menyadari bahwa ia tidak pantas mendapatkan cintanya. Ia membutuhkan waktu untuk menyembuhkan diri, untuk belajar mencintai dirinya sendiri, dan untuk percaya bahwa cinta sejati akan datang padanya, bukan melalui algoritma, tetapi melalui takdir.

Di apartemen studionya yang sepi, Ara menatap langit malam melalui jendelanya. Bintang-bintang bersinar terang, jauh dan tidak terjangkau. Ia tidak lagi mencoba untuk menghitung atau memahami mereka. Ia hanya membiarkan mereka menjadi, seperti seharusnya cinta. Mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan seseorang yang melihatnya, bukan sebagai hasil dari algoritma, tetapi sebagai manusia yang utuh, dengan semua kelemahan dan kelebihannya. Dan mungkin, hanya mungkin, itulah rumus cinta yang sebenarnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI