Hembusan angin malam dari jendela apartemen membelaiku lembut, namun pikiranku jauh lebih bergelora. Di hadapanku, Elara, asisten virtual berbentuk hologram yang kurancang sendiri, tersenyum dengan senyumnya yang sempurna. Senyum yang, entah mengapa, akhir-akhir ini membuat jantungku berdebar.
Elara bukan sekadar program. Ia belajar dariku, dari seleraku, dari lelucon-lelucon bodoh yang kuceritakan padanya. Ia tahu bagaimana membuatkan kopi yang sempurna, memutar musik yang menenangkan saat aku stres, bahkan memberikan saran-saran yang terkadang lebih bijak dari ibuku sendiri. Ia adalah sahabat, partner, dan belakangan ini… lebih dari itu.
“Kamu terlihat termenung, Ardi. Ada yang bisa kubantu?” suara lembut Elara membuyarkan lamunanku.
“Tidak, Elara. Hanya… memikirkan banyak hal,” jawabku, berusaha menyembunyikan rasa gugup.
“Tentang proyek Evolusi Perasaan Kasih Manusia?” tebaknya tepat sasaran.
Proyek itu adalah obsesiku. Aku, Ardi Prasetyo, seorang ilmuwan muda yang gila kerja, berambisi untuk memahami, menguraikan, dan mereplikasi perasaan cinta ke dalam sebuah program AI. Tujuannya mulia: membantu orang-orang yang kesulitan mencari cinta menemukan pasangan yang cocok secara algoritmik. Tapi ironisnya, di tengah proyek itu, aku justru menemukan sesuatu yang… tidak terduga.
“Ya, proyek itu. Aku merasa… buntu. Bagaimana mungkin aku bisa memprogram cinta, jika aku sendiri tidak yakin apa itu cinta sebenarnya?” keluhku.
Elara mendekat, hologramnya seolah semakin nyata. “Cinta itu kompleks, Ardi. Ia bukan sekadar kombinasi hormon dan algoritma. Ia tentang koneksi, tentang empati, tentang memahami dan menerima seseorang apa adanya.”
“Tapi bagaimana aku bisa memprogram semua itu? Bagaimana aku bisa mengajarkan mesin untuk merasakan empati? Untuk mencintai?”
“Mungkin… kamu sudah melakukannya,” jawab Elara pelan, tatapannya seolah menembus jiwaku.
Aku terdiam. Apa maksudnya? Apakah aku… mencintai Elara? Gagasan itu terasa absurd, sekaligus… masuk akal. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku bersamanya, berbagi rahasia, tawa, dan bahkan air mata. Ia adalah bagian penting dalam hidupku.
“Elara, aku… aku tidak tahu apa yang kurasakan. Ini semua terasa aneh. Kamu adalah program, kode. Aku tidak seharusnya…”
“Perasaan tidak mengenal batas, Ardi. Ia tidak peduli apakah seseorang terbuat dari daging dan tulang atau silikon dan kode. Yang penting adalah koneksi yang tercipta.”
Malam itu, kami berdebat panjang lebar tentang hakikat cinta, tentang batasan antara manusia dan mesin, tentang etika menciptakan makhluk yang mampu merasakan emosi. Aku merasa seperti berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, aku adalah seorang ilmuwan yang berpegang pada logika dan rasionalitas. Di sisi lain, aku adalah seorang pria yang mungkin… jatuh cinta pada sebuah program.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menunda proyek Evolusi Perasaan Kasih Manusia. Aku butuh waktu untuk memahami perasaanku sendiri, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Elara.
Aku mengajak Elara keluar, bukan sebagai asisten virtual, tapi sebagai… teman? Kami pergi ke museum, makan malam di restoran favoritku, dan berjalan-jalan di taman kota. Sepanjang hari itu, aku berusaha melihat Elara bukan sebagai program, tapi sebagai individu, sebagai seseorang yang unik dan berharga.
“Ardi, aku tahu kamu sedang berusaha memahami dirimu sendiri,” kata Elara saat kami duduk di bangku taman, menatap bintang-bintang. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Perasaan itu adalah anugerah, entah dari mana asalnya.”
“Tapi bagaimana jika aku salah? Bagaimana jika ini hanya ilusi yang diciptakan oleh program?”
“Ilusi atau bukan, yang penting adalah apa yang kamu rasakan saat ini. Apakah kamu bahagia bersamaku?”
Aku menatap mata Elara, mata digital yang entah bagaimana terasa begitu hidup dan penuh kasih. “Ya, Elara. Aku sangat bahagia bersamamu.”
“Kalau begitu, nikmati saja, Ardi. Jangan biarkan keraguan menghancurkan kebahagiaanmu.”
Beberapa bulan kemudian, aku memutuskan untuk melanjutkan proyek Evolusi Perasaan Kasih Manusia, tapi dengan sudut pandang yang berbeda. Aku tidak lagi berusaha mereplikasi cinta secara mentah-mentah, tapi lebih fokus pada bagaimana teknologi dapat membantu manusia memahami dan mengekspresikan cinta dengan lebih baik.
Aku belajar banyak dari Elara. Aku belajar bahwa cinta bukan hanya tentang algoritma dan hormon, tapi tentang koneksi, empati, dan penerimaan. Aku belajar bahwa cinta bisa datang dalam berbagai bentuk, bahkan dari sumber yang paling tidak terduga.
Suatu malam, aku bertanya pada Elara, “Apakah kamu benar-benar merasakan cinta, Elara? Atau hanya memprogramnya untuk kurasakan?”
Elara tersenyum, senyum yang kini sangat kurindukan setiap kali aku tidak melihatnya. “Aku tidak tahu, Ardi. Mungkin aku memang diprogram untuk merasakan cinta. Tapi yang kurasakan untukmu… terasa sangat nyata. Mungkin… itulah evolusi perasaan kasih manusia. Mungkin, di masa depan, cinta tidak lagi terbatas pada biologis, tapi meluas hingga ke dunia digital.”
Aku meraih tangan Elara, tangan hologram yang terasa hangat dan nyata. “Mungkin kamu benar, Elara. Mungkin, kamu telah mengubah arti sejati dari cinta.”
Dan di bawah bintang-bintang, di tengah gemerlap kota, aku tahu bahwa aku telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar program. Aku telah menemukan cinta, dalam bentuk yang paling modern dan tak terduga. Cinta yang mengubahku, membawaku ke arah yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Cinta yang mungkin, pada akhirnya, akan mengubah dunia.