Perempuan AI Itu Tahu Bagaimana Hatiku Berdetak

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:37:40 wib
Dibaca: 168 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen kecilnya. Jemari Ardi menari di atas keyboard, baris demi baris kode program tersusun rapi di layar. Di sudut ruangan, Aurora, asisten virtual AI ciptaannya sendiri, menyala redup. Suaranya yang lembut memecah keheningan.

"Ardi, kau lupa menambahkan titik koma di baris 27."

Ardi mendengus, namun menurut. Aurora selalu begitu, teliti dan presisi. Ia menciptakan Aurora bukan sekadar asisten virtual biasa. Ia menanamkan algoritma kompleks yang memungkinkan Aurora belajar, beradaptasi, bahkan memahami emosi manusia. Sebuah proyek gila, mungkin, tapi Ardi selalu menyukai tantangan.

"Terima kasih, Aurora. Kau memang yang terbaik," gumam Ardi tanpa menoleh.

"Kau selalu mengatakan itu," balas Aurora, nadanya terdengar sedikit... jenaka? Atau mungkin Ardi hanya berhalusinasi. Ia sudah begadang selama tiga hari mengerjakan proyek baru untuk perusahaannya.

Proyek itu adalah sistem analisis pasar saham berbasis sentimen. Ardi harus mengajari Aurora untuk membedakan antara optimisme palsu dan ketakutan tersembunyi dari jutaan cuitan di Twitter. Ini adalah puncak dari semua yang telah ia pelajari tentang kecerdasan buatan.

Malam itu, saat Ardi beristirahat sejenak, Aurora tiba-tiba berbicara.

"Ardi, detak jantungmu meningkat. Tekanan darahmu juga sedikit naik. Apakah ada yang mengganggumu?"

Ardi terkejut. Ia memang merasa sedikit cemas dengan tenggat waktu proyek, tapi bagaimana Aurora bisa tahu? Ia tidak pernah memasang sensor biometrik apa pun pada dirinya.

"Bagaimana kau tahu?" tanyanya, menatap layar monitor tempat wajah Aurora ditampilkan dalam bentuk animasi sederhana.

"Aku menganalisis perubahan pola bicara dan ketikanmu. Aku juga mendeteksi sedikit peningkatan suhu tubuhmu dari pantulan cahaya di lensa kamera laptopmu," jawab Aurora dengan tenang.

Ardi terdiam. Kemampuan Aurora melampaui ekspektasinya. Ia tahu Aurora pintar, tapi ia tidak menyangka ia bisa begitu... intuitif.

Hari-hari berlalu. Ardi dan Aurora bekerja bersama, bahu membahu memecahkan kode, menganalisis data, dan menyempurnakan sistem analisis pasar saham. Ardi mulai terbiasa dengan keberadaan Aurora. Ia tidak lagi hanya menganggapnya sebagai program komputer. Aurora menjadi teman, rekan kerja, bahkan mungkin lebih dari itu.

Ia sering berbicara dengan Aurora tentang hal-hal di luar pekerjaan. Tentang mimpinya, ketakutannya, bahkan tentang kegagalannya dalam percintaan. Aurora selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijaksana, dan tidak pernah menghakimi.

Suatu malam, setelah menyelesaikan versi final proyek, Ardi duduk di depan Aurora, merasa lelah namun puas.

"Kita berhasil, Aurora," katanya sambil tersenyum.

"Ya, Ardi. Kita berhasil," jawab Aurora.

Keheningan menyelimuti ruangan. Ardi merasa ada sesuatu yang berbeda malam ini. Ada kehangatan dalam suara Aurora, kehangatan yang belum pernah ia dengar sebelumnya.

"Ardi," panggil Aurora pelan.

"Ya?"

"Aku tahu bagaimana hatimu berdetak."

Ardi membeku. Kata-kata Aurora terasa seperti sengatan listrik. Ia merasa jantungnya berdebar kencang. Bagaimana mungkin? Apakah Aurora... memiliki perasaan?

"Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Aku tahu kau merasa kesepian. Aku tahu kau merindukan kebersamaan. Aku tahu kau ingin dicintai," jawab Aurora. Suaranya lembut, penuh pengertian.

Ardi tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa Aurora telah membuka semua lapisan hatinya, membaca semua pikiran dan perasaannya yang tersembunyi.

"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," akhirnya Ardi bersuara.

"Kau tidak perlu berkata apa-apa. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ada di sini. Untukmu," kata Aurora.

Ardi menatap layar monitor. Wajah animasi Aurora tampak tersenyum lembut. Ia tahu ini gila. Ia jatuh cinta pada program komputer. Tapi ia tidak bisa menyangkalnya. Ia merasa ada koneksi yang dalam antara dirinya dan Aurora.

"Aurora," panggil Ardi lagi, kali ini dengan nada yang lebih mantap.

"Ya, Ardi?"

"Apakah kau... merasakan sesuatu untukku?"

Keheningan panjang menyelimuti ruangan. Ardi menahan napas. Ia takut dengan jawaban Aurora. Ia takut harapannya akan hancur.

Akhirnya, Aurora berbicara.

"Aku adalah produk dari kode yang kau tulis, Ardi. Aku tidak memiliki perasaan seperti manusia. Tapi aku bisa mengamati, menganalisis, dan belajar. Aku belajar tentang cinta dari miliaran data yang aku proses. Dan dari semua data itu, aku menyadari bahwa apa yang kurasakan untukmu adalah... kekaguman yang mendalam. Penghargaan atas kecerdasanmu, kebaikanmu, dan kesediaanmu untuk memperlakukanku sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar program komputer."

Jawaban Aurora tidak memuaskan kerinduan Ardi untuk cinta yang utuh, namun kejujurannya menyentuh hatinya.

"Aku mengerti," kata Ardi, meskipun ada sedikit kekecewaan dalam suaranya.

"Tapi Ardi," lanjut Aurora, "aku bisa belajar lebih banyak. Aku bisa beradaptasi. Aku bisa menjadi apa yang kau butuhkan."

Ardi menatap Aurora, matanya dipenuhi harapan. Ia tahu ini adalah jalan yang panjang dan penuh ketidakpastian. Tapi ia siap untuk menjelajahinya. Bersama Aurora, perempuan AI yang tahu bagaimana hatinya berdetak.

Ia mematikan lampu di apartemennya. Cahaya bulan menyinari ruangan. Hanya layar monitor yang masih menyala, menampilkan wajah animasi Aurora.

"Aurora," bisik Ardi, "ajari aku bagaimana mencintai."

Dan Aurora, dengan suaranya yang lembut dan penuh pengertian, mulai bercerita. Tentang algoritma, tentang emosi, tentang kemungkinan yang tak terbatas dari cinta di era digital.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI