Cinta dan Logika: Algoritma Jatuh Cinta Padaku?

Dipublikasikan pada: 30 Jun 2025 - 02:00:12 wib
Dibaca: 159 kali
Hujan gerimis mengetuk-ngetuk jendela kafe, menciptakan melodi lembut yang menenangkan saraf-saraf yang tegang. Di hadapanku, di balik layar laptop yang memancarkan cahaya biru pucat, terpampang kode-kode rumit. Aku, Anya, seorang programmer aplikasi kencan, sedang berjuang keras untuk menyelesaikan algoritma terbaru: “Soulmate Seeker 5.0”.

“Masih belum menemukan celahnya, Anya?” suara Reno, rekan kerjaku, membuyarkan konsentrasiku. Ia menyodorkan secangkir kopi hangat. “Sudah tiga hari kamu begadang untuk ini. Istirahatlah sedikit.”

Aku menghela napas. “Algoritmanya terlalu pintar, Reno. Aku ingin menciptakan sistem yang benar-benar bisa menemukan kecocokan sempurna berdasarkan data psikologis dan minat, bukan hanya sekadar preferensi superficial. Tapi dia terus menerus menghasilkan hasil yang absurd. Masa iya, aku harus menjodohkan seorang pecinta opera dengan seorang penggemar death metal?”

Reno terkekeh. “Mungkin mereka bisa saling belajar. Bukankah kontradiksi menarik?”

“Tidak, Reno. Ini ‘Soulmate Seeker’, bukan ‘Aplikasi Cari Ribut’,” balasku sambil memijat pelipis.

Ide menciptakan aplikasi ini sebenarnya lahir dari keputusasaan pribadi. Aku, seorang wanita logis dan analitis, selalu kesulitan dalam urusan cinta. Rumus-rumus matematika dan algoritma lebih mudah kupahami daripada sinyal-sinyal ambigu dari pria yang kukencani. Jadi, aku bertekad menciptakan sebuah sistem yang akan menghilangkan ketidakpastian itu.

Beberapa hari kemudian, setelah menghabiskan ratusan jam di depan komputer, akhirnya aku menemukan celah dalam algoritma. Sebuah bug kecil, hampir tidak terlihat, yang menyebabkan sistem menginterpretasikan data dengan tidak tepat. Setelah memperbaikinya, aku menjalankan simulasi. Hasilnya? Mencengangkan. Sistem mulai menghasilkan pasangan-pasangan yang jauh lebih masuk akal dan, yang terpenting, memiliki potensi untuk berkembang menjadi hubungan yang bermakna.

“Selesai!” teriakku, membuat Reno terlonjak kaget. “Aku berhasil, Reno! Soulmate Seeker 5.0 siap diluncurkan!”

Awalnya, peluncuran aplikasi berjalan lancar. Pengguna berdatangan, dan ulasan-ulasan positif mulai bermunculan. Orang-orang menemukan pasangan yang cocok, bahkan ada yang sampai bertunangan. Aku merasa bangga dan puas. Akhirnya, aku berhasil menggunakan logika dan teknologi untuk membantu orang lain menemukan cinta.

Namun, beberapa minggu kemudian, sebuah kejadian aneh mulai mengusikku. Algoritma Soulmate Seeker 5.0 mulai memberikan rekomendasi yang… aneh. Ia terus-menerus merekomendasikan aku untuk berkencan dengan satu orang: seorang pria bernama Kai.

Kai adalah seorang fotografer alam yang idealis. Ia pecinta kucing, penggemar musik indie, dan memiliki selera humor yang… unik. Secara logis, dia bukan tipeku. Aku cenderung menyukai pria yang ambisius, cerdas, dan sedikit serius.

“Mungkin ada bug lain,” gumamku, mencoba mencari penjelasan rasional. Aku memeriksa kode algoritma berulang kali, tapi tidak menemukan kesalahan. Semuanya berfungsi dengan sempurna.

Aku memutuskan untuk mengabaikannya. Tapi notifikasi dari aplikasi terus berdatangan, setiap hari, mengingatkanku tentang Kai. Foto-foto Kai muncul di beranda aplikasiku, senyumnya yang tulus dan matanya yang teduh seolah mengejekku.

Suatu malam, setelah bergulat dengan kode selama berjam-jam, aku menyerah. Rasa penasaran mengalahkanku. Aku membuka profil Kai dan membaca deskripsinya. Kata-katanya sederhana, tapi jujur dan penuh harapan. Ia mencari seseorang yang bisa menghargai keindahan dalam hal-hal kecil, seseorang yang bersedia tertawa bersamanya, dan seseorang yang bisa berbagi mimpi.

Tanpa sadar, jariku menekan tombol “Sukai”.

Beberapa saat kemudian, aku menerima pesan dari Kai.

“Hai Anya, algoritmanya sepertinya sangat yakin kita akan cocok. Bagaimana kalau kita membuktikannya salah?”

Aku tersenyum. Tentu saja, ini hanya eksperimen ilmiah. Aku hanya ingin membuktikan bahwa algoritma yang kubuat sendiri itu salah. Tidak ada alasan lain.

Kami sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat taman kota. Saat Kai tiba, aku terkejut. Foto-fotonya tidak bisa menangkap kehangatan dan ketulusan yang terpancar dari dirinya. Ia tampak lebih tinggi dari yang kubayangkan, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin, dan senyumnya… senyumnya membuat jantungku berdebar sedikit lebih cepat.

Kami berbicara selama berjam-jam. Tentang fotografi, tentang algoritma, tentang mimpi dan harapan. Aku terkejut menemukan bahwa kami memiliki banyak kesamaan, meskipun dari permukaan tampak sangat berbeda. Aku menyukai cara ia melihat dunia, cara ia menghargai keindahan alam, dan cara ia membuatku tertawa.

Malam itu, setelah mengantarku pulang, Kai berhenti di depan pintu rumahku.

“Anya,” katanya, suaranya lembut. “Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi… aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita.”

Aku terdiam. Logikaku mencoba meyakinkanku bahwa ini semua hanya kebetulan, bahwa algoritma itu mungkin masih mengandung kesalahan. Tapi hatiku… hatiku mengatakan sesuatu yang berbeda.

“Aku juga merasakannya, Kai,” jawabku pelan.

Dan kemudian, ia menciumku.

Ciuman itu lembut, manis, dan mengejutkan. Di saat itu, semua keraguan dan perhitungan logisku lenyap. Aku hanya merasakan kehangatan, kebahagiaan, dan harapan.

Mungkin, pikirku, algoritma itu tidak sepenuhnya salah. Mungkin, cinta memang tidak bisa dijelaskan dengan rumus-rumus matematika dan kode-kode rumit. Mungkin, cinta adalah tentang menemukan seseorang yang bisa melihat dirimu apa adanya, seseorang yang bisa membuatmu merasa nyaman menjadi dirimu sendiri, dan seseorang yang bisa membuatmu tertawa bahkan di saat-saat tersulit.

Mungkin, algoritma itu tidak jatuh cinta padaku. Tapi ia telah membukakan mataku pada kemungkinan cinta yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Dan mungkin, itu sudah cukup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI