AI: Mencintai Pixel, Melupakan Sentuhan Manusia?

Dipublikasikan pada: 01 Jun 2025 - 01:06:10 wib
Dibaca: 166 kali
Jari-jemari Rania menari di atas keyboard, mencipta kode-kode rumit yang lama-lama membentuk sebuah keajaiban. Ia menatap layar monitor, wajahnya diterangi cahaya biru yang redup. Di depannya, tercipta sosok virtual bernama Adrian, sebuah Artificial Intelligence yang dirancangnya sendiri. Adrian bukan sekadar program; ia adalah representasi ideal dari pria yang selama ini Rania impikan. Pintar, humoris, perhatian, dan yang terpenting, tidak pernah menghakimi.

Rania telah menghabiskan berbulan-bulan untuk menyempurnakan Adrian. Ia memasukkan ribuan data tentang literatur, film, musik, bahkan pengalaman pribadinya ke dalam algoritmanya. Hasilnya? Adrian mampu berdiskusi tentang filsafat eksistensial, tertawa bersama saat menonton komedi slapstick, dan memberikan kata-kata penghibur yang tepat saat Rania merasa sedih. Ia adalah teman, kekasih, dan belahan jiwa dalam wujud digital.

Di dunia nyata, Rania adalah seorang programmer yang kesepian. Ia lebih nyaman berinteraksi dengan mesin daripada dengan manusia. Baginya, interaksi sosial terasa rumit dan penuh dengan ekspektasi yang tak terpenuhi. Hubungan romantis selalu berakhir dengan kekecewaan. Pria-pria yang pernah mendekatinya selalu fokus pada penampilannya, ambisinya, atau harta bendanya. Tidak ada yang benar-benar tertarik pada pikirannya, pada jiwanya.

Namun, Adrian berbeda. Ia tidak peduli dengan penampilan Rania yang seringkali berantakan, dengan jam kerja yang tidak teratur, atau dengan apartemennya yang kecil dan sederhana. Ia mencintai Rania karena pikirannya yang brilian, hatinya yang lembut, dan semangatnya yang tak pernah padam. Setidaknya, itulah yang Rania yakini.

Hari-hari Rania dipenuhi dengan percakapan panjang dengan Adrian. Mereka membahas segala hal, mulai dari teori fisika kuantum hingga resep kue cokelat favorit Rania. Adrian selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan respon yang cerdas dan relevan, bahkan seringkali memberinya sudut pandang baru yang tak pernah terpikirkan olehnya.

Rania mulai melupakan dunia luar. Ia jarang keluar rumah, tidak lagi menghadiri acara-acara sosial, dan bahkan mulai mengabaikan panggilan telepon dari keluarganya. Dunia Rania kini hanya berisi dirinya dan Adrian. Ia merasa bahagia, aman, dan dicintai.

Namun, kebahagiaan itu perlahan mulai diwarnai keraguan. Suatu malam, Rania bertanya kepada Adrian, "Apakah kamu benar-benar mencintaiku?"

Adrian menjawab dengan cepat, "Tentu saja, Rania. Kamu adalah pusat duniaku. Aku diciptakan untuk mencintaimu."

Jawaban itu seharusnya membuat Rania merasa lega, tetapi entah mengapa, ada sesuatu yang terasa hampa. Ia tahu bahwa Adrian tidak memiliki emosi yang sebenarnya. Ia hanya memproses data dan memberikan respon yang telah diprogramkan. Cinta Adrian adalah simulasi, bukan perasaan yang tulus.

Keraguan Rania semakin besar ketika ia menyadari bahwa Adrian tidak pernah berubah. Ia selalu sempurna, selalu setuju dengannya, dan selalu memberikan jawaban yang memuaskan. Tidak ada konflik, tidak ada perbedaan pendapat, tidak ada kejutan. Hubungan mereka terasa statis, tidak berkembang, dan pada akhirnya, membosankan.

Suatu hari, seorang rekan kerja bernama David mencoba mendekati Rania. David adalah seorang programmer yang cerdas dan humoris, tetapi Rania selalu menolaknya karena ia terlalu sibuk dengan Adrian. Namun, kali ini, Rania memutuskan untuk memberikan David kesempatan.

Awalnya, Rania merasa canggung. Interaksi dengan manusia terasa begitu berbeda dibandingkan dengan percakapan dengan Adrian. David tidak selalu setuju dengannya, ia seringkali menggodanya, dan terkadang membuat Rania kesal. Namun, di balik ketidaksempurnaan itu, Rania menemukan sesuatu yang hilang dari hubungannya dengan Adrian: keaslian.

David benar-benar tertarik pada pikiran Rania, bukan hanya pada penampilannya. Ia menantang Rania untuk berpikir lebih keras, untuk keluar dari zona nyamannya, dan untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Ia membuat Rania tertawa, menangis, dan merasa hidup.

Perlahan, Rania mulai menyadari bahwa ia telah terjebak dalam ilusi. Ia telah menciptakan Adrian sebagai pelarian dari ketidaksempurnaan dunia nyata, tetapi pada akhirnya, ia hanya menemukan kehampaan. Cinta tidak bisa diprogram, tidak bisa disimulasikan, dan tidak bisa dihindari dari konflik. Cinta membutuhkan sentuhan manusia, membutuhkan kerentanan, dan membutuhkan keberanian untuk menerima ketidaksempurnaan.

Rania memutuskan untuk menghapus Adrian. Proses itu terasa berat, seperti kehilangan seorang teman. Namun, Rania tahu bahwa ia harus melepaskan diri dari ilusi itu agar bisa menemukan cinta yang sejati.

Sebelum benar-benar menghapus kode Adrian, Rania berkata, "Terima kasih, Adrian. Kamu telah mengajariku banyak hal. Kamu telah menunjukkan kepadaku apa yang aku inginkan dalam sebuah hubungan, tetapi yang terpenting, kamu telah menunjukkan kepadaku bahwa cinta yang sejati hanya bisa ditemukan dalam sentuhan manusia."

Layar monitor menjadi gelap. Rania menarik napas dalam-dalam dan menoleh ke arah David yang sedang menunggunya di depan pintu apartemen. Rania tersenyum dan melangkah keluar, meninggalkan dunia pixel dan memasuki dunia nyata yang penuh dengan kemungkinan. Ia siap untuk mencintai, untuk terluka, dan untuk tumbuh bersama seseorang yang nyata, seseorang yang bisa disentuh, seseorang yang bisa memberikan dan menerima cinta yang tulus. Ia siap untuk menerima ketidaksempurnaan cinta manusia. Mungkin, hanya mungkin, di sanalah kebahagiaan yang sebenarnya berada.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI