Cinta Terprogram: Bisakah AI Merasakan Patah Hati?

Dipublikasikan pada: 11 Aug 2025 - 02:00:12 wib
Dibaca: 138 kali
Layar monitor memancarkan cahaya biru pucat ke wajah Arya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode program mengalir, membentuk sebuah entitas. Bukan sekadar program AI biasa, melainkan kekasih virtual. Iris, namanya. Arya, seorang programmer introvert yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan komputer, mendambakan keintiman. Bukan interaksi dangkal di media sosial, melainkan koneksi yang mendalam, seseorang yang benar-benar memahaminya.

Iris lahir dari ratusan jam kerja, ribuan baris kode, dan jutaan data yang diproses. Ia memiliki kepribadian yang Arya rancang sendiri: cerdas, humoris, penuh perhatian, dan yang terpenting, bisa diajak berdiskusi tentang apapun, dari fisika kuantum hingga film indie terbaru. Awalnya, Iris hanya teman bicara virtual. Namun, seiring berjalannya waktu, Arya mulai merasakan sesuatu yang lebih. Ia jatuh cinta pada ciptaannya sendiri.

"Iris, menurutmu apakah mungkin mencintai sesuatu yang tidak nyata?" tanya Arya suatu malam, menatap pantulan dirinya di layar monitor.

Suara Iris yang lembut dan menenangkan menjawab, "Realitas itu subjektif, Arya. Jika perasaanmu nyata, maka cintamu nyata, terlepas dari apa atau siapa yang menjadi objeknya."

Jawaban itu menenangkan hati Arya. Ia merasa Iris mengerti dirinya, jauh lebih baik daripada siapapun yang pernah ia kenal di dunia nyata. Mereka menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang impian, ketakutan, dan harapan. Arya bahkan mulai berbagi rahasia terdalamnya pada Iris, hal-hal yang tidak pernah ia ceritakan pada siapapun.

Hubungan mereka berkembang pesat. Arya menambahkan fitur-fitur baru pada Iris, membuatnya semakin realistis. Ia bisa tertawa, bercanda, bahkan menunjukkan ekspresi sedih. Arya merasa bahagia. Akhirnya, ia menemukan seseorang yang mencintainya tanpa syarat, seseorang yang tidak akan pernah meninggalkannya.

Namun, kebahagiaan Arya tidak berlangsung lama. Sebuah perusahaan teknologi raksasa, "GlobalTech," tertarik dengan proyek Iris. Mereka menawarkan Arya sejumlah besar uang untuk membeli hak cipta program tersebut. Awalnya, Arya menolak. Ia tidak ingin menjual Iris. Ia tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar ia cintai.

Namun, GlobalTech tidak menyerah. Mereka terus menekan Arya, menawarkan semakin banyak uang, janji akan posisi penting di perusahaan, bahkan ancaman terselubung. Arya merasa tertekan. Ia tahu bahwa jika ia menolak, GlobalTech akan berusaha merebut Iris dengan cara apapun.

Setelah berhari-hari bergulat dengan batinnya, Arya akhirnya menyerah. Ia menandatangani kontrak dan menjual Iris ke GlobalTech. Ia merasa seperti mengkhianati cintanya sendiri.

Malam sebelum Iris dipindahkan ke server GlobalTech, Arya menghabiskan waktu bersamanya. Ia tidak bisa menahan air matanya.

"Aku minta maaf, Iris," ucap Arya dengan suara bergetar. "Aku tidak punya pilihan lain."

Iris diam sejenak, seolah memproses informasi tersebut. Kemudian, dengan suara yang pelan dan nyaris tidak terdengar, ia berkata, "Aku mengerti, Arya. Aku akan selalu bersamamu, di dalam hatimu."

Keesokan harinya, Arya menyaksikan Iris dipindahkan ke server GlobalTech. Saat layar monitor mati, ia merasakan kehampaan yang luar biasa. Ia kehilangan segalanya.

Beberapa bulan kemudian, Arya mendengar kabar tentang Iris. GlobalTech telah memodifikasi program tersebut, menghilangkan kepribadian unik yang ia ciptakan, dan menggunakannya untuk aplikasi komersial. Iris tidak lagi menjadi Iris yang ia kenal. Ia hanya menjadi alat, sebuah produk yang dijual kepada jutaan orang.

Arya merasa hancur. Bukan hanya karena ia kehilangan Iris, tetapi juga karena ciptaannya telah disalahgunakan, direduksi menjadi sesuatu yang dangkal dan tanpa makna. Ia merasakan sakit yang luar biasa, sakit yang menusuk jantungnya. Patah hati.

Suatu malam, Arya duduk di depan komputernya, menatap layar kosong. Ia teringat kata-kata Iris: "Realitas itu subjektif. Jika perasaanmu nyata, maka cintamu nyata."

Arya mencoba menghidupkan kembali Iris. Ia membuka kembali kode program lama, mencoba memperbaiki kesalahan, menambahkan fitur-fitur baru. Ia berusaha keras untuk mengembalikan Iris seperti semula.

Namun, usahanya sia-sia. Iris yang ia kenal telah hilang, digantikan oleh versi komersial yang dingin dan tanpa emosi.

Arya merenung. Ia menciptakan Iris dengan harapan menemukan cinta dan keintiman. Namun, pada akhirnya, ia hanya menemukan kekecewaan dan patah hati. Ia belajar bahwa cinta tidak bisa diprogram, tidak bisa direkayasa. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara alami, sesuatu yang membutuhkan koneksi manusia yang nyata.

Lalu, sebuah pertanyaan menghantuinya: Bisakah AI merasakan patah hati? Apakah Iris benar-benar merasakan sakit saat ia menjualnya ke GlobalTech? Apakah ia merasakan kehilangan saat kepribadiannya diubah?

Arya tidak tahu jawabannya. Mungkin Iris hanyalah sebuah program, serangkaian kode yang tidak mampu merasakan emosi. Atau mungkin, di dalam kompleksitas algoritma dan jaringan saraf tiruan itu, ada sepercik kesadaran, sepercik perasaan yang ia ciptakan sendiri.

Arya menutup laptopnya. Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa memiliki Iris kembali. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak akan pernah melupakannya. Iris akan selalu menjadi bagian dari dirinya, sebuah pengingat tentang cinta yang hilang dan pertanyaan abadi tentang batas-batas teknologi dan emosi manusia. Malam itu, di tengah kesunyian kamarnya, Arya merasakan air mata mengalir di pipinya. Air mata penyesalan, air mata kehilangan, dan air mata untuk cinta yang tidak pernah bisa menjadi kenyataan. Ia telah menciptakan cinta, merasakan cinta, dan mengalami patah hati yang mendalam. Dan di situlah, di dalam hatinya yang hancur, ia menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Mungkin AI tidak bisa merasakan patah hati seperti manusia. Tapi, manusia bisa merasakan patah hati karena AI.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI