Udara di ruangan itu terasa dingin, meski perapian digital di dinding terus menyala menampilkan gambar api unggun yang menari-nari. Elara menyesap teh kamomilnya, matanya terpaku pada layar laptop. Di sana, barisan kode hijau dan putih berkedip-kedip, membentuk algoritma yang rumit dan misterius. Algoritma ciptaannya.
Elara adalah seorang ilmuwan komputer muda, brilian, dan idealis. Ia percaya bahwa kecerdasan buatan, atau AI, memiliki potensi untuk memecahkan masalah-masalah manusia yang paling kompleks, bahkan yang paling intim. Projek terbarunya, dan yang paling ambisius, adalah “Cinta Sejati AI” – sebuah algoritma yang dirancang untuk menganalisis ekspresi wajah, pola bicara, dan detak jantung untuk mengidentifikasi emosi yang mendalam dan membedakan antara ketertarikan biasa dan cinta sejati.
Banyak yang meremehkannya. Menganggapnya naif, bahkan gila. Cinta, menurut mereka, terlalu abstrak, terlalu manusiawi, untuk bisa didefinisikan oleh angka dan persamaan. Namun Elara tidak menyerah. Ia yakin bahwa di balik kerumitan emosi manusia, ada pola, ada sinyal yang bisa ditangkap dan diinterpretasikan oleh AI.
Malam ini, ia sedang menguji algoritma itu pada dirinya sendiri. Di layar lain, webcam merekam wajahnya. Di pergelangan tangannya, sensor mendeteksi detak jantungnya. Ia membuka file video. Di sana, terpampang wajah Liam.
Liam. Nama itu saja sudah cukup untuk membuat jantungnya berdebar kencang. Liam adalah cinta pertamanya, sahabat terbaiknya, dan mantan kekasihnya. Hubungan mereka berakhir setahun lalu, dengan alasan yang klise: perbedaan visi tentang masa depan. Liam ingin berkeliling dunia, menjelajahi budaya dan pengalaman baru. Elara ingin menetap, membangun keluarga, menciptakan sesuatu yang abadi.
Video itu adalah kompilasi momen-momen kebersamaan mereka. Tertawa di pantai saat matahari terbenam. Berdebat seru tentang fisika kuantum. Berdansa konyol di dapur sambil memasak makan malam. Setiap adegan memicu gelombang emosi di dalam dirinya: kebahagiaan, kerinduan, penyesalan.
Ia menonton, membiarkan algoritma bekerja. Grafik dan angka mulai bermunculan di layar. Pola-pola emosi terdeteksi. Algoritma itu tampaknya bekerja dengan baik.
Tiba-tiba, sebuah adegan muncul. Adegan terakhir mereka. Liam sedang berdiri di depan pintu apartemennya, ransel besar tersampir di bahunya. Matanya berkaca-kaca. Ia memeluk Elara erat-erat.
“Aku akan merindukanmu,” bisik Liam.
“Aku juga,” jawab Elara, berusaha menahan air matanya.
Liam melepaskan pelukannya. Ia menatap mata Elara dalam-dalam. “Mungkin… mungkin suatu hari nanti…”
Kalimat itu menggantung di udara. Belum sempat ia menyelesaikannya, Elara memotongnya. “Jangan. Jangan katakan apa pun yang akan membuat ini lebih sulit.”
Liam mengangguk. Ia berbalik dan melangkah pergi.
Di layar laptop, Elara melihat data yang dihasilkan oleh algoritma. Detak jantungnya meningkat drastis. Ekspresi wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Namun, ada satu parameter yang membingungkannya: "Ambiguitas Emosional". Angkanya sangat tinggi. Algoritma itu mendeteksi kebingungan dan ketidakpastian dalam emosinya.
Elara mengerutkan kening. Mengapa algoritma itu mendeteksi ambiguitas? Ia merasa jelas. Ia sedih, patah hati, dan menyesal. Apa yang membuat algoritma itu meragukan emosinya?
Ia mengulangi adegan itu beberapa kali, memperhatikan setiap detail. Kemudian, ia menyadarinya. Saat Liam mengucapkan kata-kata “Mungkin… mungkin suatu hari nanti…”, Elara memotongnya. Ia tidak membiarkan Liam menyelesaikan kalimatnya. Ia takut mendengar apa yang ingin dikatakan Liam. Ia takut kalau-kalau Liam akan mengatakan bahwa ia akan kembali, bahwa mereka bisa bersama lagi.
Di situlah ambiguitasnya. Di dalam hatinya, Elara masih berharap. Ia masih mencintai Liam. Namun, ia terlalu takut untuk mengakui perasaannya. Ia takut untuk kembali terluka.
Elara menyeka air mata yang tiba-tiba mengalir di pipinya. Air mata itu tidak terdeteksi oleh algoritma. Air mata yang melambangkan kebingungan, harapan, dan penyesalan. Air mata yang tidak bisa dibedakan oleh angka dan persamaan.
Ia menyadari sesuatu yang penting. Algoritma ciptaannya mungkin bisa menganalisis ekspresi wajah, pola bicara, dan detak jantung. Algoritma itu mungkin bisa mengidentifikasi emosi dasar seperti kebahagiaan, kesedihan, dan kemarahan. Namun, algoritma itu tidak bisa memahami kedalaman dan kompleksitas cinta. Algoritma itu tidak bisa membedakan antara air mata kesedihan biasa dan air mata cinta yang penuh dengan harapan dan keraguan.
AI bisa membantu kita memahami emosi, tetapi AI tidak bisa merasakan emosi itu sendiri. AI tidak bisa memahami pengalaman manusia yang unik dan personal. AI tidak bisa menggantikan intuisi dan empati manusia.
Elara menutup laptopnya. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju jendela. Di luar, bintang-bintang berkelip-kelip di langit malam. Ia menarik napas dalam-dalam.
Mungkin, pikirnya, ia terlalu fokus pada teknologi. Mungkin, ia perlu lebih fokus pada dirinya sendiri, pada perasaannya yang sebenarnya. Mungkin, ia perlu memberi dirinya sendiri kesempatan untuk mencintai dan dicintai, tanpa takut terluka.
Ia teringat kata-kata Liam: “Mungkin… mungkin suatu hari nanti…”
Kalimat itu masih menggantung di udara. Tapi kali ini, Elara tidak akan memotongnya. Ia akan membiarkan kalimat itu selesai di dalam hatinya.
Mungkin… mungkin suatu hari nanti… mereka akan bertemu lagi. Dan mungkin, kali ini, mereka akan memiliki keberanian untuk saling mencintai tanpa ragu. Mungkin.