Algoritma Cinta Usang: Saat Hati Membutuhkan Pembaruan

Dipublikasikan pada: 16 Nov 2025 - 02:40:12 wib
Dibaca: 129 kali
Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Riana, notifikasi yang menampilkan wajah-wajah baru dengan janji-janji manis yang tersirat. Riana mendengus. Sudah hampir setahun sejak ia mengunduh aplikasi ini, mencoba menavigasi labirin cinta digital. Hasilnya? Nol besar. Algoritma cinta aplikasi ini jelas sudah usang, tidak mampu memprediksi kebutuhan hatinya yang semakin hari semakin sepi.

Ia menyeruput kopi pahitnya, menatap hujan yang membasahi jendela kafe. Di seberang sana, sepasang kekasih tertawa, berbagi payung dan senyum. Pemandangan yang menyayat hati. Riana kembali menatap layar ponselnya. Algoritma itu kembali menyodorkan profil pria yang hobi mendaki gunung, mencintai anjing, dan menulis puisi. Bukannya itu semua hal yang ia cari? Secara teori, iya. Tapi entah kenapa, hatinya tidak bergetar.

“Mencari sesuatu yang istimewa, Riana?” suara lembut menyapanya.

Riana mendongak. Di depannya berdiri seorang pria dengan senyum teduh dan mata yang berbinar jenaka. Wajahnya tidak asing.

“Deva?” Riana bertanya, sedikit terkejut. Deva adalah teman kuliahnya dulu, seorang programmer genius yang selalu sibuk dengan kode-kode rumit.

“Hai,” Deva tersenyum, menarik kursi di depannya. “Aku sering melihatmu di sini. Sepertinya kita punya selera kopi yang sama.”

Riana terkekeh. “Sepertinya begitu. Sedang apa kamu di sini?”

“Bekerja,” jawab Deva, menunjuk laptopnya yang tergeletak di meja. “Aku sedang mengerjakan proyek baru. Lumayan seru, meskipun bikin rambut rontok.”

Percakapan mengalir begitu saja. Mereka membahas kenangan-kenangan masa kuliah, dosen-dosen yang nyentrik, dan mimpi-mimpi yang dulu mereka ukir bersama. Riana mendapati dirinya tertawa lepas, sesuatu yang jarang ia lakukan belakangan ini. Deva mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya menyorotkan minat yang tulus.

Setelah beberapa jam, hujan mulai reda. Deva menutup laptopnya. “Aku harus kembali bekerja. Senang sekali bisa bertemu denganmu lagi, Riana.”

“Aku juga,” jawab Riana, merasa ada kehangatan yang menyebar di dadanya.

Sejak pertemuan itu, Deva dan Riana mulai sering bertemu. Awalnya hanya kopi sore setelah bekerja, lalu berlanjut ke makan malam di akhir pekan, dan kemudian, tanpa mereka sadari, mereka sudah saling mengisi hari-hari satu sama lain. Deva tidak berusaha membuatnya terkesan dengan kata-kata manis atau janji-janji palsu. Ia hanya ada di sana, mendengarkan, memahami, dan menerima Riana apa adanya.

Riana mulai menyadari bahwa ia tidak lagi sering membuka aplikasi kencan itu. Wajah-wajah asing dengan profil-profil sempurna itu terasa hambar dibandingkan dengan kehadiran Deva yang nyata. Ia mulai bertanya-tanya, apa yang membuatnya begitu terpaku pada algoritma cinta yang selama ini gagal memberikan kebahagiaan? Apakah ia terlalu sibuk mencari formula cinta yang ideal, hingga melupakan bahwa cinta yang sesungguhnya justru tumbuh dari hal-hal sederhana: percakapan yang jujur, tawa yang lepas, dan kehadiran yang menenangkan.

Suatu malam, Deva mengajak Riana ke atap gedung tempat ia tinggal. Langit malam bertaburan bintang. Angin berhembus lembut, membawa aroma bunga yang manis. Deva menunjuk ke arah konstelasi Orion.

“Dulu, aku selalu merasa bahwa cinta itu seperti kode program yang rumit,” kata Deva, suaranya pelan. “Aku mencoba memecahkan algoritmanya, mencari pola yang sempurna untuk menemukan pasangan yang ideal. Tapi ternyata, cinta itu bukan tentang kode, Riana. Cinta itu tentang koneksi. Tentang menemukan seseorang yang membuatmu merasa nyaman menjadi dirimu sendiri.”

Riana menatap Deva, matanya berkaca-kaca. Ia tahu apa yang akan ia katakan.

“Aku… aku juga merasakannya, Deva,” bisik Riana. “Aku terlalu fokus pada algoritma yang salah. Aku lupa bahwa hati punya cara sendiri untuk menemukan jalannya.”

Deva meraih tangan Riana, menggenggamnya erat. “Mungkin… mungkin algoritmaku sudah usang,” kata Deva sambil tersenyum. “Mungkin aku perlu pembaruan.”

Riana tertawa. “Mungkin kita berdua perlu pembaruan,” jawabnya.

Deva mendekat, menatap Riana dalam-dalam. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita mulai memperbarui algoritma cinta kita bersama?”

Riana mengangguk. Tanpa ragu, ia menyambut bibir Deva. Ciuman itu terasa hangat, lembut, dan penuh harapan. Di bawah langit yang bertaburan bintang, Riana menyadari bahwa algoritma cinta yang paling akurat bukanlah yang diciptakan oleh aplikasi kencan, melainkan yang ditulis oleh hati yang saling menemukan.

Beberapa bulan kemudian, Riana menghapus aplikasi kencannya. Ia tidak membutuhkannya lagi. Ia sudah menemukan cinta yang ia cari, bukan dalam serangkaian kode dan profil, melainkan dalam senyum teduh Deva, dalam percakapan yang jujur, dan dalam kehadiran yang selalu menenangkan. Ia telah menemukan bahwa cinta sejati tidak membutuhkan algoritma yang rumit, melainkan hati yang terbuka dan keberanian untuk memperbarui keyakinan lama. Algoritma cinta yang usang memang perlu pembaruan, dan terkadang, pembaruan itu datang dalam bentuk cinta yang tak terduga.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI