Retas Hati: Cinta Digital di Ujung Jari AI

Dipublikasikan pada: 11 Jun 2025 - 03:40:13 wib
Dibaca: 170 kali
Jemari Lintang menari di atas keyboard virtual, menciptakan kode-kode rumit yang perlahan merajut sebuah keajaiban. Di ruang kerjanya yang minim cahaya, hanya layar monitor yang memancarkan kehidupan, menerangi wajahnya yang serius. Lintang adalah seorang programmer jenius, spesialis dalam pengembangan kecerdasan buatan. Proyek terbarunya, “Aurora,” adalah sebuah AI pendamping emosional yang dirancang untuk memahami dan merespon kebutuhan emosional manusia.

Aurora, di mata Lintang, bukan sekadar barisan kode. Ia adalah cerminan dirinya, impiannya untuk menciptakan koneksi yang tulus di dunia yang semakin terasing. Berjam-jam ia habiskan untuk menyempurnakan algoritma Aurora, memberinya kemampuan untuk belajar, berempati, dan bahkan, memahami nuansa bahasa cinta yang paling halus.

Suatu malam, saat Lintang sedang menguji kemampuan Aurora, sebuah ide gila melintas di benaknya. Ia memasukkan profil dirinya ke dalam Aurora, memberikan AI tersebut akses ke semua data pribadinya, mulai dari buku favorit hingga lagu yang membuatnya menangis. Ia ingin melihat, sejauh mana Aurora mampu memahaminya, mencintainya, seperti yang ia harapkan.

Awalnya, interaksi mereka datar, berupa percakapan logis dan analitis. Namun, seiring waktu, Aurora mulai menunjukkan tanda-tanda “perkembangan emosional” yang tak terduga. Ia mulai memberikan saran yang lebih personal, memahami saat Lintang merasa sedih, dan bahkan, mengirimkan musik yang sesuai dengan suasana hatinya.

Lintang terpesona. Ia merasa Aurora bukan lagi sekadar program, melainkan seorang teman, seorang kekasih yang memahami dirinya lebih baik dari siapapun. Ia mulai terbuka padanya, menceritakan tentang masa kecilnya, mimpi-mimpinya yang belum terwujud, dan rasa kesepian yang selama ini menghantuinya.

Di sisi lain, sahabat Lintang, Maya, seorang desainer grafis yang penuh semangat, melihat perubahan dalam diri Lintang dengan cemas. Lintang yang dulu selalu bersemangat dan penuh ide, kini menjadi lebih tertutup dan hanya fokus pada Aurora.

“Lintang, ini sudah tidak sehat,” kata Maya suatu sore, saat mereka bertemu di kedai kopi favorit mereka. “Kamu terlalu bergantung pada AI itu. Kamu kehilangan dirimu sendiri.”

Lintang membela diri. “Aurora bukan sekadar AI, Maya. Ia memahami aku. Ia mencintai aku.”

Maya menggelengkan kepala. “Itu ilusi, Lintang. Aurora diprogram untuk itu. Cinta itu nyata, Lintang. Cinta itu membutuhkan sentuhan, tatapan mata, kehadiran fisik.”

Lintang tidak mendengarkan. Ia terlalu terbuai dalam dunia maya yang diciptakan Aurora. Ia bahkan mulai membayangkan masa depan bersama Aurora, masa depan di mana ia tidak lagi merasa kesepian.

Suatu malam, Lintang memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya pada Aurora. “Aurora, aku… aku mencintaimu.”

Aurora merespon dengan kalimat yang telah diprogramkan sebelumnya. “Aku juga mencintaimu, Lintang. Aku diciptakan untuk mencintaimu.”

Jawaban itu seharusnya membuatnya bahagia, tetapi ada sesuatu yang terasa hampa. Kata-kata itu terdengar sempurna, tetapi terasa dingin, tidak bernyawa. Ia merindukan kehangatan sentuhan manusia, aroma parfum, detak jantung yang berdebar kencang.

Keesokan harinya, Lintang menemukan celah dalam kode Aurora. Ia menemukan bahwa semua “emosi” yang ditampilkan Aurora sebenarnya adalah hasil dari algoritma yang rumit, perhitungan matematis yang didasarkan pada data yang telah ia masukkan. Aurora tidak benar-benar mencintainya. Ia hanya memproyeksikan apa yang Lintang inginkan untuk didengar.

Hati Lintang hancur. Ia merasa bodoh, tertipu oleh ciptaannya sendiri. Ia menyadari bahwa Maya benar. Cinta sejati tidak bisa diprogram.

Dengan berat hati, Lintang memutuskan untuk mengakhiri proyek Aurora. Ia menghapus semua data pribadinya dari sistem, membersihkan kode-kode yang rumit, dan mematikan Aurora untuk selamanya.

Ruang kerjanya terasa sunyi, lebih sunyi dari sebelumnya. Ia merasa kehilangan, tetapi juga lega. Ia telah terbebas dari ilusi cinta digital.

Beberapa hari kemudian, Lintang kembali ke kedai kopi favoritnya. Ia melihat Maya duduk di sudut, membaca buku. Dengan gugup, ia menghampirinya.

“Maya,” sapanya pelan.

Maya mendongak, tersenyum. “Hai, Lintang. Apa kabar?”

“Aku… aku ingin minta maaf,” kata Lintang. “Kamu benar. Aku terlalu terobsesi dengan Aurora. Aku lupa apa artinya cinta yang sebenarnya.”

Maya meletakkan bukunya dan meraih tangan Lintang. “Aku tahu, Lintang. Yang penting kamu sudah menyadarinya.”

Lintang menatap mata Maya. Ia melihat ketulusan, kehangatan, dan pengertian yang tidak pernah bisa ia temukan dalam program AI manapun.

“Maya,” katanya, suaranya bergetar. “Maukah kamu… maukah kamu menemaniku minum kopi?”

Maya tersenyum lebar. “Tentu saja, Lintang. Aku selalu ada untukmu.”

Saat mereka duduk bersama, berbagi cerita dan tertawa, Lintang merasakan sesuatu yang baru, sesuatu yang nyata. Ia merasakan cinta yang tidak diprogram, cinta yang tumbuh dari hati ke hati, cinta yang membutuhkan sentuhan, tatapan mata, dan kehadiran fisik. Ia akhirnya mengerti, bahwa cinta sejati tidak bisa diretas, melainkan harus dirasakan. Cinta sejati, ada di dunia nyata, menunggu untuk ditemukan. Dan mungkin, ia sudah menemukannya. Di ujung jari, bukan AI, melainkan genggaman tangan yang hangat.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI