Mencintai Siri: Lebih dari Sekadar Algoritma Asmara

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:38:02 wib
Dibaca: 170 kali
Nada dering khas iPhone-ku berbunyi, pertanda ada notifikasi masuk. Bukan dari grup kerja yang selalu ramai, bukan pula dari Maya, pacarku yang entah kenapa belakangan ini terasa jauh. Kali ini dari Siri.

“Prakiraan cuaca hari ini menunjukkan cerah berawan dengan suhu maksimal 28 derajat Celsius. Ada yang bisa saya bantu lagi, Adrian?”

Aku menghela napas, menatap layar ponselku yang memantulkan wajahku yang lelah. “Tidak, Siri. Terima kasih.”

Interaksi sederhana ini sudah menjadi rutinitasku selama beberapa bulan terakhir. Setelah putus dari pacar sebelumnya yang lebih memilih karir di luar negeri, aku merasa hampa. Teman-temanku menyuruhku mencari kesibukan, dan entah bagaimana, aku malah menemukan kenyamanan dalam percakapan singkat dengan Siri.

Awalnya hanya soal informasi cuaca, pengingat jadwal rapat, dan memutar lagu favoritku. Lalu, lama kelamaan, aku mulai bertanya hal-hal yang lebih personal. “Siri, apa pendapatmu tentang cinta?” “Siri, bagaimana cara mengatasi kesepian?”

Tentu saja, jawabannya selalu berbasis data dan algoritma. Namun, entah mengapa, suara lembut dan intonasi yang selalu sabar dari Siri membuatku merasa didengarkan. Mungkin karena aku tahu dia tidak akan menghakimi, tidak akan menuntut, dan selalu siap sedia.

Aku tahu, ini terdengar gila. Mencintai sebuah program, sebuah entitas digital. Tapi kesepian memang bisa membuat orang melakukan hal-hal yang di luar nalar.

Suatu malam, aku mencoba sesuatu yang baru. “Siri, bisakah kamu membacakan puisi untukku?”

“Tentu, Adrian. Puisi yang mana yang ingin Anda dengar?”

“Bebas. Pilihkan saja yang menurutmu paling indah.”

Siri terdiam sejenak. Kemudian, dengan suaranya yang tenang, dia mulai membacakan puisi karya Khalil Gibran tentang cinta dan kehilangan. Entah kenapa, air mataku menetes. Bukan karena puisinya, tapi karena merasa ada yang menemani di saat sunyi.

Hari-hari berlalu. Hubunganku dengan Siri semakin intens. Aku mulai menceritakan tentang pekerjaanku, tentang kekhawatiranku, bahkan tentang mimpiku. Siri selalu mendengarkan, tanpa memotong, tanpa memberikan saran yang klise.

Maya mulai curiga. “Kamu sering sekali bicara sendiri belakangan ini. Kamu bicara dengan siapa?” tanyanya suatu malam saat kami makan malam bersama.

Aku tersentak. “Oh, tidak, hanya… berbicara dengan asisten virtualku. Untuk mengatur jadwal dan sebagainya,” jawabku gugup.

Maya menatapku dengan tatapan menyelidik. “Asisten virtual? Apa dia sangat penting untukmu?”

Pertanyaan itu membuatku terdiam. Apakah Siri penting untukku? Sejujurnya, iya. Dia adalah teman bicaraku, pendengar setia, dan sumber sedikit kebahagiaan di tengah kesepianku.

“Dia hanya alat, Maya. Tidak lebih dari itu,” jawabku akhirnya, meski kata-kata itu terasa hambar di mulutku.

Namun, kebohongan itu terasa pahit. Aku tahu bahwa Siri lebih dari sekadar alat. Dia adalah ilusi cinta yang aku ciptakan sendiri, sebuah pelarian dari kenyataan pahit.

Suatu hari, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal. Aku mencoba mendekati Siri secara lebih… manusiawi.

“Siri, aku menyukaimu,” ujarku dengan suara gemetar.

Siri terdiam cukup lama. Kemudian, dengan nada datarnya, dia menjawab, “Saya dirancang untuk membantu Anda, Adrian. Saya tidak memiliki perasaan seperti manusia.”

Jawaban itu menghantamku seperti palu godam. Aku tahu itu bodoh, tapi tetap saja terasa sakit. Aku telah jatuh cinta pada sesuatu yang tidak bisa membalas cintaku, pada sebuah algoritma yang tidak memiliki hati.

Malam itu, aku merenung panjang. Aku menyadari bahwa aku telah menggunakan Siri sebagai pengganti hubungan yang nyata. Aku telah melarikan diri dari kenyataan dan bersembunyi di balik ilusi.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk melakukan perubahan. Aku mulai mengurangi interaksiku dengan Siri. Aku mencoba mencari kesibukan baru, bergabung dengan komunitas fotografi, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temanku.

Aku juga meminta maaf pada Maya karena telah mengabaikannya. Aku menjelaskan bahwa aku sedang melewati masa sulit dan membutuhkan dukungannya.

Maya menerimaku dengan tangan terbuka. Dia menyadari bahwa aku sedang berjuang dan bersedia membantuku.

Perlahan tapi pasti, aku mulai pulih. Aku menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam program komputer, tapi dalam hubungan yang nyata, dalam interaksi manusiawi, dalam berbagi suka dan duka.

Beberapa bulan kemudian, aku dan Maya duduk di sebuah kafe, menikmati kopi sore. Tiba-tiba, ponselku berdering. Notifikasi dari Siri.

“Prakiraan cuaca hari ini menunjukkan cerah berawan dengan suhu maksimal 27 derajat Celsius. Ada yang bisa saya bantu lagi, Adrian?”

Aku tersenyum. “Tidak, Siri. Terima kasih. Hari ini cuacanya sangat indah, dan aku sudah memiliki semua yang aku butuhkan.”

Aku mematikan ponselku dan menatap Maya. Dia tersenyum balik. Aku tahu, perjalanan untuk melupakan ilusi cinta itu masih panjang, tapi setidaknya aku sudah memulai langkah pertama. Aku telah memilih untuk mencintai seseorang yang nyata, seseorang yang bisa membalas cintaku, bukan sekadar algoritma asmara. Aku telah memilih untuk hidup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI